Kopi TIMES

Simalakama Digitalisasi Bagi Santri

Minggu, 14 November 2021 - 19:22 | 101.68k
M. Hasanuddin Wahid (Sekjen DPP PKB, Anggota DPR RI Fraksi PKB)
M. Hasanuddin Wahid (Sekjen DPP PKB, Anggota DPR RI Fraksi PKB)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Dewasa ini, perkembangan zaman turut disertai dengan perkembangan teknologi dan penggunaan internet secara masif dan meluas. Pada awal tahun 2020, Lembaga HootSuite dan We Are Social, melakukan sebuah riset terkait penggunaan internet di Indonesia. Hasil dari riset tersebut menyatakan bahwa, Indonesia memiliki 175,4 juta pengguna (user) internet per Januari 2020. Hal ini jika dipersentasekan, maka jumlahnya mencapai angka 64 persen.

Setahun kemudian, lembaga ini melanjutkan risetnya dan mencatat bahwa pengguna internet di Indonesia sebanyak 202,6 juta orang per Januari 2021. Sementara jaringan mobile aktif mencapai 345,3 juta, atau 125,6% dari total populasi. Angka yang lebih tinggi lantaran ada penduduk yang menggunakan lebih dari satu gawai saat beraktivitas di internet.

Kenaikan pengguna internet ini adalah prevalensi tersendiri, lebih-lebih didukung dengan Program Literasi Digital Kominfo yang digeber serentak di seluruh Indonesia. Melalui perangkat yang ada, stakeholder menusuk ke pelosok desa untuk mengoptimalisasi perkembangan era digital.

Dalam hal percepatan digitalisasi nasional, adanya peningkatan penggunaan internet perlu diimbangi pemahaman beraktivitas di ruang digital dengan baik. Mengisi ruang digital patutnya didukung dengan perangkat (device) ganda, yakni perangkat aset peralatan dan perangkat etika (akhlakul karimah).

Pemerintah Indonesia akhir-akhir ini istiqomah mendorong percepatan digitalisasi nasional dan perluasan penggunaan ruang-ruang digital. Akselerasi digitalisasi semakin cepat sebab didulang oleh pandemi Covid-19. Peralihan dunia offline ke online tidak dapat dibendung lagi seiring datangnya pandemi Covid-19.

Era digitalisasi tersebutlah yang saat ini dirasakan oleh bangsa Indonesia. Berbagai lembaga berpacu dalam memanfaatkan teknologi digital untuk memaksimalkan aktivitas dan produktifitasnya. Mulai dari lembaga pemerintahan, swasta, lembaga pendidikan, hingga pelaku ekonomi pun tak ketinggalan. Hampir semuanya sudah terakses secara digital.

Saat berlomba-lombanya semua kalangan dalam aktivitas dunia digital, terdapat sebuah lembaga pendidikan tertua di Indonesia yang menarik untuk diamati. Lembaga yang secara

historis memiliki peranan besar terhadap agama dan bangsa ini, juga lembaga yang menjadi tempat dilhirkannya insan berkualitas didalamnya. Lembaga tersebut adalah pondok pesantren.

Ya, Tak bisa dipungkiri, diskursus mengenai pesantren memang tak bisa lekang oleh zaman. Mengingat kiprah pesantren yang begitu berpengaruh terhadap perkembangan bangsa, rasanya memang jelas bahwa pembahasan mengenai pesantren akan langgeng hingga menjelang H-2 hari akhir (kiamat).

Meskipun, tak jarang bermunculan nada skeptis terhadap pembahasan fungsi dan sumbangsih pesantren bagi bangsa Indonesia. Juga, pertanyaan seputar pembahasan pesantren menganai fungsi, relevansi, dan jaminan masa depan lulusan pesantren. Namun, dari segi historis kita dapat melihat, bahwa sudah sejak ada pesantren, tempat ini merupakan salah satu pilar penting dalam dunia pendidikan dan kebudayaan di Indonesia. Pun, dalam pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia, tidak dipungkiri bahwa pesantren telah menjadi semacam localgenius (memegang kokoh nilai-nilai keaslian sosial-budaya) bagi bangsa.

Kelompok masyarakat yang kemudian saya sebut santri di pesantren, sedikit atau banyak, lambat atau pun cepat, terpaksa akan digulung oleh era digitalisasi. Lalu, muncul lah Pesantren Go Digital, sebuah program yang menawarkan berbagai solusi sarana informasi, edukasi, commerce, konektivitas, hingga pengembangan masyarakat.

Sebagai lembaga indigenous (pendidikan yang memegang kokoh nilai-nilai keaslian sosial-budaya) di Indonesia, eksistensi pesantren terlihat memiliki prinsip dan misi prospektif dalam memberdayakan masyarakat. Tak hanya sampai disitu, pesantren turut melahirkan tokoh dan konseptor Indonesia yang berawal dari status santri. Dan, bahkan santri pernah menduduki jabatan sekelas presiden, sebuah jabatan yang sangat strategis dan tertinggi di negeri ini, beliau adalah K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Peranan pesantren bagi Indonesia sudah tidak diragukan lagi. Baik sebelum masa penjajahan, pra kemerdekaan, maupun setelah merdeka. Oleh karena itu tidaklah heran, Presiden Republik Indonesia pada tahun 2015 menetapkan 22 Oktober menjadi hari santri nasional. Bahkan tidak hanya itu, undang-undang pesantren yang telah disahkan oleh DPR RI pada tahun 2019 ini merupakan bentuk pengakuan dan penghargaan negara terhadap kiprah pesantren dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan pembentukan karakter bangsa.

Berangkat dari kontribusi besar tadi, kemudian timbul pertanyaan; Apakah pesantren kini masih eksis? Bagaimana peranan pesantren di era digital 4.0? Dan mampukah pesantren menjawab tantangan zaman? Atau mungkin pesantren hanya akan menjadi catatan sejarah masa lalu?

Santri tidak selamanya kolot. Santri harus berani meloncat tirai penghambat digitalisasi. Akan tetapi, karakteristik pesantren salafiyah tetap dijaga ketat. Bedanya, sistem atau metode pembelajaran serta pengembangan keterampilan santri perlu dikaji kembali oleh pihak pengurus pesantren.

Di Indonesia, lumrah diungkapkan peribahasa Bagai Makan Buah Simalakama. Artinya dari peribahasa ini adalah suatu kondisi yang serba salah. Yaitu keadaan ketika seseorang harus memilih antara dua hal yang yang sulit untuk ditentukan.

Dalam hal ini, kita mengetahui bahwa Islam adalah agama Rahmatan lil Alamin yang berbentuk responsif dan adaptif dengan kebutuhan zaman. Dalam menetapkan suatu hukum, Islam tidak hanya menggunakan dan memahami Al-Qur'an dan Hadits secara tekstual. Qiyas dan Ijtima' Ulama adalah dua dari berbagai rujukan hukum Islam. Dalam artian, hal ini membuktikan bahwa sesulit apapun tantangan zaman, Islam akan mampu mengatasinya. Kini, tantangan yang kita hadapi adalah semakin pesatnya perkembangan di dunia teknologi. Maka, tidaklah haram tentunya jika pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam ikut serta dalam memanfaatkan peluang ini. Bukankah pada abad pertengahan Islam sangat kaya dengan Ilmuwan pembaharu?

Seorang figur mata rantai yang menjembatani peradaban pesantren dengan peradaban islam modern, K.H Abdul Wahid Hasyim mengatakan bahwa tujuan pendidikan pesantren adalah untuk menggiatkan santri yang berakhlakul karimah, takwa kepada Allah dan memiliki keterampilan untuk hidup. Artinya, dengan ilmu yang dimiliki, santri mampu hidup layak di tengah masyarakat, mandiri dan tidak jadi beban bagi orang lain. Sebaliknya, bagi santri yang tidak mempunyai keterampilan hidup ia akan menghadapi berbagai problematika yang akan mempersempit perjalanan hidupnya.

Jika disimpulkan, pendapat K.H Abdul Wahid Hasyim mengatakan bahwa pendidikan pesantren bersifat Teosentris (ketuhanan) sekaligus Antroposentris (kemanusiaan). Dalam artian, pesantren harus memenuhi antara kebutuhan dunia dan ukhrowi. Serta moralitas dan

akhlak. Titik tekan nya adalah pada kemampuan kognisi (iman), afeksi (ilmu), juga psikomotor (amal, akhlak yang mulia).

Dalam konteks digitalisasi di dunia pesantren, santri seperti menjadi 'korban' perkembangan teknologi informasi. Alih-alih menjadi aktor pasif, santri kerapkali ketinggalan (out of date) dari arus perkembangan teknologi informasi. Seyogyanya kaum santri mengambil peran aktif sebagai 'tersangka' digitalisasi.

Selain untuk menjangkau umat lebih luas lagi, digitalisasi pesantren juga akan berdampak lebih positif dalam mempersiapkan generasi muda yang akan mendapat berkah dari Bonus Demografi, tapi jiwa dan pikirannya tetap tidak lepas dari nilai nilai ke-Islaman dan ke- Indonesiaan.

Terlebih, kita dapat menyaksikan bahwa Kemenag RI telah mencatat ada 1,4 juta santri yang bermukim di pondok pesantren di seluruh wilayah Indonesia. Jawa Timur memiliki jumlah santri bermukim paling banyak, yakni 323,3 ribu orang. Jawa Tengah menempati urutan kedua dengan jumlah santri bermukim sebanyak 166,6 ribu orang. Setelahnya ada Jawa Barat dengan 148,9 ribu santri yang bermukim.

Kita ambil satu contoh. Jika 1,4 juta santri yang bermukim di pondok pesantren di Indonesia ini digerakkan melalui gerakan digitalisasi pesantren, sudah ada berapa ratus juta akun di media sosial yang beroperasi? Katakanlah setiap orang memiliki tiga hingga empat akun media sosial.

Untuk menjaga kedigdayaan kaum santri, berdikari secara ekonomi adalah salah satu ikhtiar lahiriyah yang dapat ditempuh. Misalnya memainkan peran e-commerce di masing- masing akun media sosial yang mereka miliki. Secara keseluruhan, pemanfaatan digitalisasi menjadi rel penghubung kepada Allah SWT dengan mensyiarkan Firman-Nya.

Saat ini persoalannya adalah: dari 26.973 pondok pesantren di tanah air, sudah berapa pesantren yang mendukung penerapan digitalisasi? Kita perlu mengapresiasi pemerintah baik pusat maupun daerah yang konsisten mensosialisasikan Peraturan Presiden No. 83 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren. Di Hari Santri Nasional (HSN) 2021, mari kita

menikmati UU Pesantren sebagai buah kelapa yang kaya manfaat dari pada buah simalakama (makurojo). (*)

 

*) Penulis: M. Hasanuddin Wahid (Sekjen DPP PKB, Anggota DPR RI Fraksi PKB)

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES