Politik

Soal Permendikbud 30, GMNI Nilai Pasal Persetujuan Tidak Perlu Diperdebatkan

Jumat, 12 November 2021 - 19:21 | 50.50k
Wakil Ketua DPP GMNI Bidang Pergerakan Sarinah, Fanda Puspitasari. (FOTO: DPP GMNI)
Wakil Ketua DPP GMNI Bidang Pergerakan Sarinah, Fanda Puspitasari. (FOTO: DPP GMNI)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Wakil Ketua DPP Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Bidang Pergerakan Sarinah, Fanda Puspitasari mengungkapkan bahwa Permendikbud 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual merupakan terobosan progresif sebagai upaya memerangi kekerasan seksual terutama di lingkup pendidikan tinggi. 

Fanda menambahkan, Permendikbud 30 dapat memberikan harapan bagi korban kekerasan seksual dalam mendapatkan hak-haknya di tengah maraknya kekerasan seksual dan belum disahkannya RUU PKS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual).

"Permen (Peraturan Menteri) ini sangat penting mengingat kita sedang mengalami darurat kekerasan seksual," kata Fanda dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (12/11/2021).

Berdasarkan survei Kemendikbud tahun 2020, tercatat 77 persen dosen mengakui tindak kekerasan seksual terjadi di lingkup Perguruan Tinggi. Dan 63 persen di antaranya memilih untuk tidak melaporkan tindakan kekerasan seksual yang mereka ketahui. 

"Apalagi baru-baru ini terjadi kekerasan seksual di Universitas Riau," ucap alumni Universitas Muhammadiyah Malang ini.

Maka, menurut Fanda, Permendikbud 30 sebagai sebuah sikap tegas dari pemerintah dalam upaya mengurai persoalan-persoalan pelik mengenai kekerasan seksual tersebut. Namun demikian, RUU PKS harus tetap menjadi prioritas untuk disahkan. Karena Permendikbud 30 ini akan dapat berjalan optimal jika berdampingan dengan RUU PKS.

Fanda menyayangkan perihal pasal 5 ayat (2), dimana terdapat frasa “tanpa persetujuan korban” yang dianggap masalah oleh PP Muhammadiyah, sesungguhnya bukanlah hal substansial yang perlu diperdebatkan. 

"Kita tidak bisa memaknai frasa “tanpa persetujuan korban” dengan pengertian legalisasi terhadap perbuatan asusila ataupun seks bebas," kata Fanda.

Ia berpandangan, logika berfikir dalam Permendikbud 30 adalah upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Artinya segala perbuatan yang merendahkan martabat dan merenggut kemerdekaan seseorang maka itu adalah kekerasan, termasuk makna dari frasa tanpa persetujuan korban, itu adalah bentuk kekerasan. 

Dan perumusan Permendikbud 30 adalah upaya untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, sudah sesuai dengan tujuan permen itu dibuat. 

"Maka pasal 5 ayat 2 sebenarnya tidak ada muatan makna seperti yang disangkakan oleh PP Muhammadiyah," ujarnya. 

Perihal perbuatan asusila, menurut Fanda, hal itu telah diatur dalam produk hukum yg lain yaitu termaktub dalam KUHP. Jadi, kata dia, sebenarnya tidak perlu memperdebatkan hal yang tidak substansial dan salah sasaran. 

"Jadi mari kita bersama-sama fokus memerangi masalah dan memerangi musuh bersama, yaitu kekerasan seksual," kata Fanda dari DPP GMNI terkait Permendikbud 30/2021. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ferry Agusta Satrio
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES