Kopi TIMES

Nikmat Mana yang Belum Kita Syukuri?

Jumat, 12 November 2021 - 13:37 | 51.06k
H. Soenarwoto, Pimpinan Ladima Tour & Travel Madiun.
H. Soenarwoto, Pimpinan Ladima Tour & Travel Madiun.

TIMESINDONESIA, MADIUNBERJUTA jiwa melayang sudah akibat direnggut virus corona atau Covid-19. Indonesia hingga kini tercatat sekitar 143.592 jiwa yang meninggal dunia. Mereka yang meninggal itu umumnya akibat kekurangan oksigen. Tidak bisa bernafas. Fenomena tersebut mengingatkan saya akan rutinitas manasik. 

Mahfum, sudah hampir dua tahun kami tidak menjalankan manasik. Baik itu manasik haji maupun umrah. Pasalnya, dalam dua tahun 
musim haji (2020 dan 2021) telah terjadi pandemi Covid-19. Gegara pandemi Covid-19 masih merajalela itu pemberangkatan haji Indonesia "ditiadakan" (baca ditunda). Begitu pula umrah. 

Adapun materi manasik yang kerap saya bawakan adalah tentang rasa syukur. Filosofi haji memang di antaranya sebagai ungkapan rasa syukur. Manasik itu sesungguhnya pertama-tama dan utamanya untuk diri saya pribadi. Mengingat diri ini banyak kekurangannya. Dhaif. Justru jamaah peserta manasik yang berilmu dan lebih alim. 

"Alhamdulillah, jamaah telah diberi hidayah untuk mengerjakan ibadah haji. Tidak semua muslim diberi hidayah ini. Banyak muslim kaya dan mampu, tapi tak digerakkan hatinya untuk menjalankan ibadah haji. Untuk itu jamaah ini wajib bersyukur," pinta saya kepada jamaah peserta manasik haji. 

Mendengar ini jamaah dengan serentak menjawab, "Alhamdulillah." Kemudian, saya pun sedikit mendedah makna syukur. Apa syukur itu? Begitu tanya saya singkat kepada peserta manasik. Pertanyaan itu sekadar agar manasik ada gregetnya. Tidak monoton. 

Sementara itu peserta manasik pun menjawab dengan masing-masing pemahamannya. Tapi, hampir semua jawaban perserta manasik serupa; bersyukur itu berterima kasih dan memuji terhadap keagungan Allah. Betul. Dan, saya kemudian berusaha menebalkan. 

Syukur itu dari bahasa Arab, yaitu syukrun. Artinya dzakara ni'matahuu, wa atsnaa alaihi bihaa (ingat atau menyebut nikmat-Nya dan menyebut-Nya). "Jadi, bersyukur itu berarti menyebut nikmat Allah atas pemberian untuk kita dan mengagungkan-Nya," jelas saya mengutip ibrah agama. 

Bersyukur itu setidak-tidaknya mengucap," Alhamdulillah." Ini cara bersyukur paling ringan. Ungkapan syukur dengan lisan atau lidah. Lalu, bersyukur dengan badan atau tubuh. Wujudnya, dengan kita rajin melakukan perintah Allah. Seperti kita kian rajin salat lima waktu, mau bergotong royong, dan bersedia membantu lain dengan tenaga kita. 

Kemudian, bersyukur dengan harta benda. Bentuknya menggunakan harta kita untuk kepentingan-kepentingan di jalan Allah. Di antaranya mencukupi kebutuhan keluarga, bersedekah, membangun masjid, madrasah, panti yatim, dan membangun jembatan atau semacamnya yang bermanfaat bagi umat. Puncaknya berani pergi haji atau umrah. 

"Orang berani haji atau umrah itu rasa syukurnya peng-pengan. Tinggi. Apalagi, haji plus itu bayarnya mahal. Jika tidak memiliki rasa syukur yang tinggi, mana mungkin rela melepaskan uang tabungannya ratusan juta hingga miliaran rupiah. Mending buat bangun rumah megah, beli mobil mewah, buat memfasilitasi atau memanjakan anak-cucunya, dan buat investasi yang menjanjikan daripada untuk ongkos haji," ungkap saya menirukan ceramah para ustad dan kiai. 

Jamaah peserta mananasik pun mesam-mesem. Dan, saya pun kian menebalkan filosofi rasa syukur itu. Betapa telah banyak Allah memberikan rejeki dan nikmat kepada kita. Namun, selama ini kita kurang pandai mensyukurinya. Kata hikmah; rezeki itu bukan semata uang. Rejeki itu bisa dalam bentuk lain. 

Bisa badan sehat. Bisa memiliki suami-istri dan anak soleh-solehah, pintar, patuh dan hormat pada orang tua. Anak-anak tidak terlibat miras dan narkoba. Itu rejeki. Itu karunia. "Betapa susahnya hati orang tua mendapati anaknya terlibat narkoba dan tindakan kriminal atau kenakalan remaja lainnya. Betul atau benar," tanya saya. Jamaah pun serentak menjawab, "Betul dan benar, Cak." 

Juga, betapa susahnya jika diantara kita jatuh sakit. Suami, isteri, anak-anak, orang tua atau saudara dekat kita. Juga bagaimana jika kecelakaan, musibah, dan keluarga kita terpapar corona (Covid-19). Di antara kita menjadi sakit. Susah kan? Oh, ternyata, kita dan keluarga sehat itu merupakan rejeki yang tiada tara nilainya. 

Betapa tidak. Dengan mata kita sehat bisa melihat, kita bisa menikmati semua keindahan dan keelokan dunia. Dengan telinga kita sehat, kita bisa mendengar merdu semua suara dan dawai kehidupan. Mulut sehat, kita bisa menikmati lezatnya aneka makanan dan minuman. Dengan badan sehat kita bisa berkumpul keluarga tercinta dengan penuh bahagia. 

Bahkan, dengan bisa menghirup udara pun itu karunia Allah yang luar biasa nilainya.

"Banyak orang sakit di rumah sakit sulit bernafas. Untuk bisa bernafas, mereka harus pasang oksigen. Pasang oksigen itu di rumah sakit tidak gratis. Harus bayar. Lha, sampean sejak lahir hingga kini menghirup udara dengan gratis kok nggak ada syukur-syukurnya," kata saya dalam setiap manasik. Sungguh, nikmat mana lagi yang belum kita syukuri?.

***

*)Oleh: H. Soenarwoto, Pimpinan Ladima Tour & Travel Madiun.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Bambang H Irwanto
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES