Kopi TIMES

Sebagai Alat Bukti, Rekam Medis Harusnya Diatur dalam Undang-Undang

Jumat, 12 November 2021 - 12:46 | 103.45k
Dr. Hasrul Buamona,S.H.,M.H.; Advokat & Pakar Hukum Kesehatan Universitas Widya Mataram Yogyakarta.
Dr. Hasrul Buamona,S.H.,M.H.; Advokat & Pakar Hukum Kesehatan Universitas Widya Mataram Yogyakarta.

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Rekam medis bagian yang tidak terpisahkan dari hak atas informasi yang merupakan elemen penting dari Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, berbunyi “Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan”.

Dalam rekam medis ada tindakan dokter mulai dari diagnosis, anamnesis sampai pada tindakan medis yg lain. Tindakan medis dokter yang mana sebagai subjek hukum, tak bisa lepas dari kesalahan disiplin keilmuan kedokteran, tentu juga tidak bisa lepas juga dari jeratan hukum pidana.
 Penulisan  ini sebagai kelanjutan kajian yang tidak terpisahkan dari buku Medical Record dan Informed Consent Sebagai Alat Bukti dalam Hukum Pembuktian yang diterbitkan penulis pada tahun 2016. Selain itu, penulisan ini juga merupakan kelanjutan dari pembahasan perkuliahan yang penulis sampaikan dalam Pendidikan Khusus Profesi Advokat Fakultas Hukum UGM Yogyakarta tertanggal 4 November 2021.  

 Pengertian rekam medis ditemukan dalam Pasal 1 ayat (1) PERMENKES No 269/MENKES/PER/III/2008 Tentang Rekam Medis, mengatur bahwa “Rekam Medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien”.   Sebagaimana Pasal 46 ayat (1) UU Nomor 29 tahun 2009 Tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) berbunyi “setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam medis” dan Pasal 29 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit (UU Rumah Sakit) berbunyi “Setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban menyelenggarakan rekam medis”. Menurut Pasal 13 ayat (1) PERMENKES No 269/MENKES/PER/III/2008 Tentang Rekam Medis berbunyi “pemanfaatan rekam medis dapat dipakai sebagai : b) alat bukti dalam proses penegakkan hukum,disiplin kedokteran,dan kedokteran gigi dan penegakkan etika kedokteran dan etika kedokteran gigi”.

Dari pasal-pasal di atas, jelas bahwa rekam medis melekat sifat wajib yang harus dilaksanakan baik oleh dokter dan rumahh sakit itu sendiri, dan rekam medis juga mempunyai fungsi sebagai alat bukti dalam proses penegakan hukum. Alat bukti khusus dalam pidana, maka wajib berpedoman pada Pasal 184 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam Pasal 184 ayat (1)disebutkan alat bukti terdiri dari: a) keterangan saksi; b) keterangan ahli; c) surat; d) petunjuk; d) keterangan terdakwa.

Kerangka dasar pembuktian atau alat-alat bukti dalam hukum acara pidana di Indonesia, menggunakan teori negatife wettelijk bewisjtheorie yang menyatakan bahwa pembuktian harus didasarkan pada ketentuan undang-undang dan dasar keyakinan hakim, yang dimaksud ketentuan berdasarkan undang-undang adalah terpenuhi sekurang-kurangnya adanya dua alat bukti yang sah atau alat bukti yang ditentukan undang-undang,yang mendukung dakwaan. 

Menjadi persoalan hari ini dalam lapangan hukum kesehatan, kedudukan rekam medis dalam fungsi sebagai alat bukti seringkali dikesampingkan oleh penegak hukum lainnya misalnya Polisi, Jaksa dan Hakim. Hal ini disebabkan, rekam medis dalam fungsi sebagai alat bukti, hanya diatur melalui peraturan teknis yang dibuat oleh Menteri Kesehatan yakni PERMENKES No 269/MENKES/PER/III/2008. Menurut penulis, maka dari itu sangat penting kedepan politik hukum rekam medis sebagai alat bukti harus didorong untuk diatur dalam produk hukum undang-undang. Secara lex generalis bisa diatur dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Acara Pidana ataupun secara lex specialis bisa diatur dalam Rancangan Undang-Undang Rumah Sakit atau Rancangan Undang-Undang Praktik Kedokteran.

Dalam pandangan penulis, alat bukti adalah elemen dasar dan penting dalam memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana seseorang. Dikarenakan dalam rekam medis, terdapat elemen sebagai alat bukti keterangan ahli dan alat bukti surat, maka secara  mutatis mutandis ini merupakan bagian dari  hukum pidana formil yang tujuannya menegakkan hukum pidana materil. Telah diketahui bahwa alat-alat bukti menjadi dasar pembuktian untuk memberikan sanksi pidana terhadap dokter, baik yang terdapat dalam KUHPidana, UU Rumah Sakit, UU Tenaga Kesehatan dan UU Praktik Kedokteran. Artinya ketika alat-alat bukti menjadi dasar  pemenuhan unsur dalam pemidanaan, maka kedepan seharusnya rekam medis sebagai alat bukti tidak diatur melalui peraturan teknis Menteri Kesehatan yakni PERMENKES No 269/MENKES/PER/III/2008, dikarenakan tidak sesuai dengan politik hukum pemidanaan dan prinsip negara hukum (rule of law) serta HAM.

***

*) Oleh : Dr. Hasrul Buamona,S.H.,M.H.; Advokat & Pakar Hukum Kesehatan Universitas Widya Mataram Yogyakarta.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES