Kopi TIMES

Ospek sebagai Ajang Balas Dendam

Kamis, 11 November 2021 - 14:40 | 83.82k
Paramitha Putri Hidayat, Mahasiswi Universitas Mulawarman.
Paramitha Putri Hidayat, Mahasiswi Universitas Mulawarman.

TIMESINDONESIA, SAMARINDA – Sudah hampir setiap tahunnya kita mendengar adanya kasus senioritas. Mulai dari media online hingga lingkungan sekitar. Padahal sudah seharusnya orang yang lebih tua dapat lebih merangkul yang lain. Namun faktanya, mereka tidak benar-benar merangkul untuk mengarahkan seseorang menjadi lebih baik. Melainkan melakukan sesuatu yang dapat meninggalkan trauma tersendiri bagi korbannya. Dari sini, kita dapat melihat kejadian nyata pada kegiatan pengenalan yang dilakukan saat memasuki suatu lingkungan baru, misalnya saja ospek.

Ospek yang awalnya menjadi pintu ilmu bagi peserta baru untuk mereka kenali dan perdalam, malah justru membuat mereka ketakutan. Bahkan, hanya mendengar kata ospek saja sudah membuat mereka bergidik ngeri. Bagaimana tidak, ospek yang harusnya untuk memperkenalkan lingkungan baru itu malah dijadikan ajang balas dendam bagi seniornya. Dengan alasan membuat mental peserta baru menjadi lebih kuat, para senior melakukan banyak kegiatan nyeleneh yang dianggap biasa. Terlebih, kegiatan nyeleneh tersebut terus dilakukan hingga akhirnya menjadi sebuah kultur. 

Salah satu contoh yang juga pernah saya alami adalah ketika disuruh meminum satu botol air mineral secara bergantian dengan kelompok yang dibagikan secara acak. Ditambah dengan catatan, giliran akhir harus mendapat bagian dan juga bibir harus menyentuh bagian tutup botol air tersebut. Secara tidak langsung kita akan saling bertukar ludah. Tentunya hal ini dapat berisiko pada penularan penyakit. Kita bahkan tidak saling mengetahui nama satu sama lainnya, apalagi riwayat kehidupan dari masing-masing peserta. Berbagai jenis virus penyebab penyakit menular hidup dalam saliva. Karena itu, ketika meminum satu botol air mineral secara bergantian pada saat itu dapat membuat penularan penyakit meningkat.

Ketika kegiatan sedang berlangsung, kita tidak diperbolehkan mengkritik apalagi mengeluh. Apabila itu terjadi, para senior akan membandingkan kehidupannya dengan apa yang ia lakukan saat itu, “ini nggak seberapa, dulu kita lebih parah!”. Jika sudah terlampau kesal, mereka melampiaskan emosinya kepada kami dengan kekerasan. Mereka merasa lebih berkuasa di lingkungan itu sehingga mereka berhak untuk melakukan apapun kepada kita.

Pada kasus lainnya, aksi yang dilakukan juga seringkali tidak berhubungan dengan tujuan dari lingkungan baru yang akan dimasuki. Seperti yang dikatakan @nadinedvsr pada cuitannya di Twitter, ia mengatakan bahwa ketika ia memasuki organisasi PMR, ia disuruh tiarap di lumpur. Padahal saat anggota PMR bertugas mereka hanya membawa tikar dan kotak P3K. Tidak akan ada kegiatan seorang anggota PMR yang menyelamatkan temannya di sekolah sambil bertiarap di lumpur. Senior juga hanya memberi perintah yang membuat isi kepala kebingungan daripada memberikan penjelasan materi mengenai kesehatan seperti yang diharapkan.

Lebih lanjut, pengenalan ini kemudian dimasuki aksi kekerasan yang lebih mengerikan dengan diselubungi gaya militeristik. Seperti kasus Menwa yang saat ini tengah membuat masyarakat geram. Salah satu akun Twitter @putri_yudianti membagikan pengalamannya selama mengikuti kegiatan tersebut. Ada hukuman yang dinamakan extra joss, yaitu semacam hukuman yang dilakukan dengan menendang dan meninju, termasuk di bagian muka. Hukuman tersebut dapat dilakukan lebih ekstrim jika diberikan kepada peserta laki-laki. Karena hal ini, wajah teman-temannya menjadi bengkak bahkan ada yang membuat sudut bibir menjadi sobek dan tidak pulih karena sering dipukuli di bagian yang sama.

Dalam hal ini, sudah seharusnya kita menghilangkan senioritas dalam kehidupan kita. Jangan melestarikan kultur buruk yang berkembang di masyarakat. Berpikirlah ke depan, bukan mengingat-ingat masa lalu yang buruk hingga dapat membuat perasaan dendam selalu naik ke permukaan. Perlu diketahui juga mendidik dengan pendekatan militeristik tidak layak digunakan dan sudah seharusnya dihentikan. Hukuman fisik tidak terbukti membentuk pribadi yang disiplin. Lalu jangan menghilangkan esensi dari ospek itu sendiri.

Kepada pihak yang berwenang, harus menguatkan mengenai pendidikan tanpa kekerasan. Buatlah aturan yang tegas untuk mencegah tindakan kekerasan. Kirim seorang pengawas untuk memantau seluruh jalannya kegiatan yang ada.  Jangan sampai hal ini terus terjadi hingga pada akhirnya dapat memakan banyak korban di kemudian hari. (*)

***

*)Oleh: Paramitha Putri Hidayat, Mahasiswi Universitas Mulawarman.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES