Kopi TIMES

Suku Dayak dalam Sejarah Kepahlawanan Indonesia

Rabu, 10 November 2021 - 19:37 | 194.59k
Kristoforus Bagas Romualdi, Mahasiswa Program Magister Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta. Pegiat Gerakan Digital Jangkar Nusantara.
Kristoforus Bagas Romualdi, Mahasiswa Program Magister Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta. Pegiat Gerakan Digital Jangkar Nusantara.

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – 10 November menjadi momentum bagi seluruh rakyat Indonesia untuk mengenang kembali jasa para pahlawan yang mengorbankan jiwa dan raganya demi bangsa agar bisa merdeka dari belenggu penjajahan dan kemudian mempertahankan kemerdekaan itu sendiri. Bukan perjuangan yang mudah memang, terlebih mengingat para pejuang Indonesia yang memiliki keterbatasan terutama di sektor persenjataan, namun tetap gigih melawan hingga titik darah penghabisan.

Tak kalah penting untuk diketahui, bahwa perjuangan melawan penjajah dilakukan oleh seluruh rakyat yang memiliki latar belakang berbeda. Sehingga, tidak tepat apabila ada kelompok yang mengklaim bahwa perjuangan melawan penjajah hanya dilakukan oleh golongan tertentu saja.

Setiap orang dari agama dan suku yang ada di Indonesia melakukan perjuangan yang sama dan salah satunya adalah rakyat Indonesia dari kalangan suku Dayak. Kepingan-kepingan perjalanan perjuangan suku Dayak turut tercatat dengan baik dalam berbagai literatur meski jarang diungkap dalam buku sejarah di sekolah-sekolah. Padahal, masyarakat Dayak pada masa perjuangan menghadapi penjajah, ikut serta dalam upaya mempertahankan daerah mereka dari serangan bangsa asing. 

Kisah perjuangan mereka di antaranya adalah Tjilik Riwut, tokoh Dayak asal Kalimantan Tengah. Tak hanya aktif dalam bidang kemiliteran sebagai seorang tentara, ia juga ikut berperan dalam pemerintahan sebagai Gubernur Kalimantan Tengah di tahun 1958. Sebelumnya, ia berjasa dalam aksi penerjunan pertama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AURI) pada 17 Oktober 1947 di desa Sambi, Kotawaringin, Kalimantan Tengah.

Dalam tugas tersebut, Tjilik Riwut bertanggung jawab menjadi penunjuk jalan bagi tim yang berjumlah 13 orang. Untuk mengenang peristiwa penting dalam sejarah AURI ini, tanggal 17 Oktober pun resmi ditetapkan sebagai Hari Pasukan Khas TNI-AU. Selain itu, ia juga berjasa dalam mewakili sumpah setia suku Dayak yang terdiri dari 142 suku Dayak, 145 kepala kampung, 12 kepala adat, 3 panglima, 10 patih dan 2 tumenggung kepada Republik Indonesia secara adat di Gedung Agung, Yogyakarta.

Ada pula Temenggung Suropati yang merupakan kepala suku Dayak Bakumpai. Ia  terlibat dalam perang Barito untuk menghancurkan kekuasaan kolonialisme Belanda di daerah itu. Ia sendiri menjadi salah satu tokoh pejuang yang menggerakkan rakyat Barito melawan Belanda dalam Perang Barito dari tahun 1865 hingga 1905. 

Di Kalimantan Barat, ada tokoh Dayak seperti Ali Anyang yang memimpin Laskar Republik menyerbu tangsi militer Belanda di Bengkayang. Daerah tersebut pun berhasil direbut dan Ali beserta laskar yang ia pimpin mengibarkan bendera merah putih sembari mengumandangkan lagu Indonesia Raya di sana. Tidak hanya di Bengkayang, pada 10 Januari 1949, tangsi militer milik NICA di Sambas pun turut menjadi target penyerangan kelompok Ali.

Delapan hari berselang, terjadi bentrokan lagi di Kampung Acan, dekat dengan perbatasan Serawak, disusul sejumlah kontak senjata di mana Ali terlibat di dalamnya. Selain Ali Anyang, ada sosok lain bernama Pang Suma, tokoh Dayak yang berasal dari Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Ia menjadi sosok penting dalam perang melawan penjajahan Jepang di Kalimantan Barat.

Meskipun Pang Suma harus gugur di medan juang, namun kegigihan dan keberaniannya, ia berhasil membangkitkan semangat masyarakat Kalimantan Barat untuk mengusir tentara Jepang. 

Masih banyak tokoh dari suku Dayak di Kalimantan yang ikut berjasa dalam momen perlawanan terhadap penjajahan asing. Namun, satu hal yang pasti bahwa dedikasi yang diberikan oleh kalangan suku Dayak demi kemerdekaan Indonesia pada dasarnya tidak boleh dipandang sebelah mata. Mereka secara nyata bersama elemen masyarakat dari kalangan etnis lain turut memberikan yang terbaik untuk bangsa Indonesia.

Jadi, sudah saatnya kita memandang sejarah perjuangan bangsa sebagai milik bersama sehingga itu bisa menjadi modalitas penting untuk membangun Indonesia sebagai negara yang kuat dalam persatuan tanpa membeda-membedakan dan saling klaim paling berjasa. 

***

*)Oleh: Kristoforus Bagas Romualdi, Mahasiswa Program Magister Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta. Pegiat Gerakan Digital Jangkar Nusantara.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES