Kopi TIMES

Resolusi Jihad, Hari Pahlawan dan Jihad Intelektual

Rabu, 10 November 2021 - 17:02 | 55.30k
Moh. Nur Fauzi, Dosen mata kuliah Pengantar Studi Islam; Prodi Manajemen Pendidikan Islam; Fakultas Tarbiyah dan Keguruan; IAI Darussalam Blokagung Banyuwangi dan Dewan Penasihat ISNU Bangorejo Banyuwangi.
Moh. Nur Fauzi, Dosen mata kuliah Pengantar Studi Islam; Prodi Manajemen Pendidikan Islam; Fakultas Tarbiyah dan Keguruan; IAI Darussalam Blokagung Banyuwangi dan Dewan Penasihat ISNU Bangorejo Banyuwangi.

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Telah jamak diketahui 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan. Momen Hari Pahlawan dirayakan untuk mengenang jasa para pahlawan yang gugur dalam membela dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selain itu, peristiwa bersejarah ini juga merupakan energi pengingat dan pemantik bagi setiap warga negara untuk selalu rela berkorban dan berjuang demi kejayaan, kemakmuran, dan eksistensi NKRI tercinta.

Hari Pahlawan pada 10 November 2021 kali ini mengambil tema 'Pahlawanku Inspirasiku'. Pilihan pada tema ini tentu tidak berangkat dari ruang dan situasi sosial yang hampa dan tanpa makna. Setiap kita, sebagai warga negara, pastinya memiliki pandangan tersendiri tentang makna dari tema tersebut. Tetapi, satu yang tidak bisa dimungkiri adalah bahwa para pahlawan telah menorehkan tinta emas di atas pergolakan sejarah keindonesiaan kita. Mereka telah mengangkat eksistensi NKRI hingga sejajar dengan negara-negara merdeka lainnya di berbagai belahan di dunia ini.

Secara kronologis, berdasarkan fakta dan referensi kesejarahan, peristiwa bersejarah pada 10 November 1945 tersebut tidak bisa dilepaskan dari rentetan perjuangan rakyat Indonesia pada masa-masa sebelumnya. Menurut Abdul Latif Bustami (2015), dalam buku 'Resolusi Jihad, Perjuangan Ulama dari Menegakkan Agama Hingga Negara' yang diterbitkan Pustaka Tebuireng, pasca pasukan sekutu mendarat di Jakarta pada September 1945, Presiden Soekarno mengirim utusan untuk menemui K.H. Hasyim Asy’ari sembari membawa pertanyaan penting. 'Apakah hukumnya membela tanah air, bukan membela Allah, membela Islam, atau membela Al-Quran. Sekali lagi membela tanah air?'

Menjawab pertanyaan itu, K.H. Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa bahwa membela Indonesa adalah kewajiban agama. Fatwa jihad itu disampaikan pada pertemuan terbatas para ulama di Pesantren Tebuireng. Sebagai tindak lanjut dari pertemuan terbatas tersebut pada 21-22 Oktober    K.H. Hasyim Asy’ari bersama para ulama NU se-Jawa dan Madura mengadakan rapat konsul-konsul yang bertempat di Bubutan, Surabaya. Rapat inilah yang akhirnya menghasilkan 'Resolusi Jihad' yang berisi kewajiban jihad bagi muslim untuk mempertahankan bangsa dan negara serta mengusir kolonialisme dari bumi Nusantara.

Pada 25 Oktober 1945 Inggris yang merupakan bagian dari kelompok sekutu atau Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) mendarat di Surabaya. Pihak Netherlands Indies Civil Administration (NICA) juga ikut membonceng dan tiba di Surabaya. Tujuan mereka jelas, ingin merongrong dan menguasai kembali Indonesia yang telah diproklamasikan dan merdeka pada 17 Agustus 1945

Melihat kedatangan tentara sekutu tersebut berbagai elemen masyarakat di Surabaya, terutama para santri tidak tinggal diam dan mengangkat senjata untuk mengusir penjajah dari bumi Nusantara yang telah merdeka. Semangat para santri dan masyarakat Surabaya ini tentu tidak bisa dilepaskan dari seruan dan fatwa Resolusi Jihad K.H. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945, tiga hari sebelum Inggris dan sekutu mendarat di Surabaya. 

Resolusi Jihad tersebut menjadi pemantik bagi masyarakat Surabaya dan sekitarnya dalam radius 90 km untuk bersatu melawan sekutu, Inggris, dan NICA. Meski pada 29 Oktober 1945 terjadi gencatan senjata, tetapi bentrokan di hotel Yamato Surabaya tetap tak bisa dihindarkan. Akibat tingginya tensi perlawanan dari arek-arek Surabaya terjadilah bentrokan pada 30 Oktober 1945 yang menyebabkan Jenderal Mallaby pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur terbunuh. Peristiwa ini menyulut kemarahan di pihak Inggris dan Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh pun mengeluarkan ultimatum pada 10 November 1945. 

Isi ultimatum tersebut adalah pertama, Indonesia menyerahkan senjata serta berhenti melawan tentara AFNEI dan administrasi NICA; kedua, jika tidak dipatuhi maka Kota Surabaya akan digempur dari darat, laut, dan udara; ketiga, seluruh pimpinan bangsa dan para pemuda Surabaya harus menyerahkan diri paling lambat 10 November 1945 pada jam 06.00 pagi.

Ultimatum itu tidak dihiraukan oleh masyarakat Surabaya dan para santri yang telah terlecut dengan dimaklumatkannya fatwa Resolusi Jihad. Dengan pekik takbir 'Allahu Akbar' Bung Tomo membakar semangat para santri dan arek-arek Surabaya melawan tentara sekutu, Inggris, dan NICA yang mendarat di Surabaya. Hingga pada akhirnya meletuslah peristiwa bersejarah pertempuran 10 November 1945 yang kemudian dikenal sebagai Hari Pahlawan. 

Aksi bela negara atau jihad fisik (al-jihad bi al-qital) yang dilakukan oleh para pahlawan tersebut menjadi cermin bagi kita sebagai anak bangsa untuk meneladaninya. Pengorbanan mereka—melalui jihad fisik—melawan kolonialisme haruslah menjadi pemantik bagi kita, untuk mengisi kemerdekaan dengan hal-hal positif dan kreasi inovatif demi eksistensi NKRI di era society 5.0 saat ini. 

Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 kini telah menjadi sebuah ‘teks’ dan ‘konteks’ tersendiri bagi masyarakat kita. Konteks sosial yang berbeda ini bukan menjadi alasan untuk berdiam diri dan sepi dari kreasi serta inovasi. Jika mereka menginisiasi perang fisik (al-jihad bi al-qital), maka kita sebagai generasi milenial haruslah memodifikasi dan mengaktualisasikannya menjadi jihad intelektual. 

Di era society 5.0 tantangan yang dihadapi oleh bangsa ini, dan terutama para santri tidak kecil, bahkan sebaliknya mereka dituntut untuk mampu menguasai keilmuan di ranah ilmu pengetahuan dan teknologi (IT). Medan jihad para santri kini berkutat di seputar seberapa luasnya mereka akrab dan mahir di bidang ini. 

Ranah jihad di era society 5.0 kini terbuka lebar dan luas dari sisi makna dan aplikasinya bagi para santri. Dalam konteks ini jihad intelektual dapat dimanifestasikan dalam bentuk kerja-kerja intelektual (intellectual working) dan membentuk jaringan intelektual (intellectual networking) dengan menebar konten-konten positif dan konstruktif bagi perkembangan kedewasaan berpikir masyarakat dan umat. 

Pengarusutamaan wacana moderasi beragama menurut Masdar Hilmy (2019) bisa menjadi medan jihad yang konstruktif dan progresif dalam perspektif Indonesia yang plural dan multikultural. Upaya ini dapat diwujudkan secara nyata dengan mengunggah pesan-pesan keagamaan (religious messages) yang menyejukkan dan jauh dari kesan penghakiman dan saling sesat menyesatkan.

Upaya ini menjadi penting mengingat akhir-akhir ini di berbagai media sosial ujaran kebencian (hate speech), berita bohong (hoaks) dan narasi kedengkian serta caci maki semakin dipopulerkan. Tak hanya narasi oral atau lisan saja yang viral, narasi aksi sekali 'klik' pun di medsos juga sangat marak dan menyebabkan petaka dan bencana bagi sesama anak bangsa. 

Dalam hal ini masyarakat dituntut untuk bijak dalam bermedsos. Media sosial, dalam konteks ini bisa menjadi ajang dalam jihad baik dari sisi lisan (jihad bi al-lisan) maupun aksi sosial/ tindakan nyata (jihad bi al-hal).  Teladan bijak dalam bermedsos menjadi barang yang mahal dan langka saat ini. Hal ini terbukti misalnya dari narasi kebencian, hoaks, dan memecah belah persatuan umat dan warga bangsa yang memungkiri peran besar K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam perjuangan, pemberdayaan, dan kontribusi besar mereka bagi bangsa ini. 

Krisis keteladanan menjadi salah satu pekerjaan rumah (PR) besar di negara ini. Mengapa demikian? Keteladanan merupakan aksi nyata dari jihad intelektual yang harus dikedepankan, tidak hanya dengan kepandaian bersilat lidah dan main kata-kata. Hal ini sejalan dengan pepatah bijak Arab 'lisan al-hal afdlalu min lisan al-maqal', teladan atau aksi nyata lebih utama dari sekedar hanya bermain kata-kata. 

Seperti didedahkan oleh Jamal Banna dalam bukunya Al-Jihad, bahwa jihad saat ini yang relevan dikedepankan bukanlah menyetor kematian dengan bom, kekerasan, dan narasi kebencian. Tetapi sebaliknya, jihad yang sebenarnya adalah berjihad untuk berani hidup menebar kasih sayang dan keteladanan di jalan-Nya (anna al-jihad al-yaum laisa al-namuta fi sabilillah wa lakin al-nahya fi sabilillah).

Sekali lagi, bangsa ini membutuhkan sosok pahlawan yang mampu memberi keteladanan dalam berbangsa dan bernegara. Umat ini membutuhkan sosok pemimpin agama yang bisa memandang dan membimbing mereka dengan pandangan kasih sayang dan welas asih (yandzuru ila al-ummah bi ‘aini al-rahmah). 

Hari Pahlawan merupakan momentum untuk bangkit dengan mengusung jihad kemanusiaan. Hari Pahlawan menjadi cermin bagi kita untuk bersatu di tengah keberagaman seperti yang diteladankan oleh para pahlawan di negeri ini.   

***

*)Oleh: Moh. Nur Fauzi, Dosen mata kuliah Pengantar Studi Islam; Prodi Manajemen Pendidikan Islam; Fakultas Tarbiyah dan Keguruan; IAI Darussalam Blokagung Banyuwangi dan Dewan Penasihat ISNU Bangorejo Banyuwangi.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES