Kopi TIMES

Sampai Kapan Banjir Akan Kembali Berulang?

Rabu, 10 November 2021 - 16:00 | 39.64k
Muthiah Raihana S.TP, M.P., Pengajar Kewirausahaan di Al-Izzah, Batu.
Muthiah Raihana S.TP, M.P., Pengajar Kewirausahaan di Al-Izzah, Batu.

TIMESINDONESIA, BATU – Banjir oh banjir. Bagaikan tamu langganan engkau mendatangi kota kami di Batu maupun di Malang, Jawa Timur. Saat hujan deras di awal tahun engkau sudah mengunjungi, dan di akhir tahun ini engkau merendam kembali.  Hujan yang merupakan qada dan rahmat dari Allah, menjadi petaka tatkala kerusakan alam kerap terjadi akibat ulah tangan manusia.

Pada hari kamis (4/11/2021) setelah dua jam hujan dari aliran sungai (DAS) Brantas di lereng Gunung  Arjuno  mengguyur, ada lima titik lokasi yang terdampak banjir bandang yaitu Bulu Kerto, Padang Rejo, Tulung Rejo, Sidomulyo dan Sumber Brantas (Kompas.com/05/11/2021). Hujan yang mengangkut material kayu, batu, tanah dan lainnya mengalir deras ke rumah penduduk dan masuk ke Sungai Brantas dengan kecepatan 430 meter kubik perdetik memasuki kondisi siaga.

Berbicara tentang kota Batu dan Malang, secara geografis didominasi oleh dataran tinggi berbukit. Bukan seperti Jakarta yang menyerupai cekungan mangkuk atau Surabaya yang datar wilayahnya yang lebih bisa dimaklumi jika terjadi banjir. Tapi mengapa banjir kerap terjadi berulang?

Dikutip timesindonesia.co.id (05/11/21), Raymond Valiant (Direktur Utama Perum Jasa Tirta I) menyatakan bahwa banjir bandang yang terjadi di Batu disebabkan iklim global La Nina yang membuat intensitas hujan 80 persen lebih banyak dari normal. Fenomena La Nina ini akan berlangsung setidaknya hingga bulan Februari 2022. 

Seakan tak menjadi pelajaran, hujan yang secara periodik datang menyebabkan banjir  dan terus kembali berulang. Bahkan di nilai para ahli kejadian ini semakin parah dan meluas. Padahal deteksi dini sudah diberikan oleh Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) mengenai Informasi akan cuaca ekstrem. 

Selain faktor alam, Rosek Nursahid (pendiri Profauna Indonesia) menyatakan Beralihnya fungsi lahan di lereng Gunung Arjuna yang mencapai 90% menjadikan berkurangnya resapan air. Hutan lindung yang ada semakin kriris statusnya. Diperparah dengan tata ruang dan tata wilayah yang buruk menjadikan turunnya permukaan tanah, daerah aliran sungai yang makin dangkal, masifnya betonisasi di Kawasan perkotaan dan sumbatan sampah memperburuk keadaan. 

Sebagaimana yang dinyatakan olah Cak Ndan dari Gerakan kesaadaran alamku (malangpagi.com, 07/01/2021) banyak bangunan yang tetap berdiri di daerah terlarang.  Kondisi ini bertentangan dengan prinsip lingkungan yang seharusnya menjadi ruang terbuka hijau (RTH). Mirisnya ruang terbuka hijau Kota Batu dan Malang masih jauh dari ketentuan minimal undang-undang UU nomor 26 Tahun 2007, tamanpun hanya sebagai pemanis mata. Selain itu, banyak yang mengkritik soalan perda yang  terbit tahun 2011 yaitu perda No 04 Tahun 2021 tentang tata ruang yang akan berlaku terus sampai tahun 2030.

Tidak hanya di Malang, deforestasi (alih fungsi hutan pada selain hutan juga terjadi di ujung Barat Aceh hingga timur di papua. Bahkan, Indonesia dinobatkan menjadi negarayang mengalami deforestasi tercepat dan menjadi urutan kelima negara yang kehilangan hutan primer tertinggi di tahun 2020.  Ada  sebanyak 9,75 juta hektare hutan primer antara tahun 2002 dan 2020 (data global Forest Wtch) yang rusak. 

Dampaknya ada sebanyak 891 bencana banjir dari 2.203 bencana alam yang telah dilaporkan sepanjang tahun 2021 sampai bulan oktober (BNPN, 31/10/21). Banyak korban dan kerugian yang dialami atas bencana alam yang terjadi, sebagaimana laporan BNPT bahwa ada 6.63 juta orang terdampak, 13.031 menderita luka, 549 meninggal dunia, sebanyak 134.587 rumah rusak, ada 3.597 fasilitas publik rusak. Pencegahan yang tidak sigap ditambah gagapnya melakukan penanggulangan mencana, menjadikan rakyat semakin merana. 

Maka menjadi pertanyaan besar, sampai kapan banjir akan kembali berulang? Sungguh, tidak kurang para peneliti dan diskusi yang bersuara membahas tentang masalah kehutanan, hidrologi, tata ruang wilayah dan pentingnya konservasi. Bahwa pembangunan mutlak harus mengindahkan prinsip lingkungan, keseimbangan alam, kelestarian hutan. Namun, pada sistem kapitalisme hari ini tidak memberikan ruang pada kebenaran ilmu pengetahuan terlebih pada wahyu tuhan. Kecuali ada cuan berlimpah untuk penguasa dan pengusaha yang didapat, barulah diperjuangkan. 

Lihat saja, analisis dampak lingkungan sebagai pengendali, demi izin lingkungan bisa diperjual belikan dan begitu mudah dimanipulasi demi mendongkrak pertubuhan ekonomi dan energi penggerak industrialisasi.  Lahirnya UU Cipta kerja yang memuluskan investasi dan pernyataan kontroversi menteri LHK yang mengatakan pembangunan tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau deforestasi menjadi obat pahit kebijakan negeri ini. 

Tak boleh hanya menyalahkan hujan, atau sekedar mengintimidasi pembuang sampah sembarangan, atau ikhtiar merekayasa teknologi pengendalian hujan dan membuat bendungan. Apabila sistem rakus kapitalisme masih diterapkan, solusi tuntas atasi banjir mustahil diwujudkan.

***

*)Oleh: Muthiah Raihana S.TP, M.P., Pengajar Kewirausahaan di Al-Izzah, Batu.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES