Kopi TIMES Muktamar NU 2021

Jangan Salah Pahami Khittah

Senin, 08 November 2021 - 13:36 | 59.40k
Idham Cholid, Mantan Ketua Cabang PMII Jombang 1994-1996 dan Kader NU (Grafis : TIMES Indonesia)
Idham Cholid, Mantan Ketua Cabang PMII Jombang 1994-1996 dan Kader NU (Grafis : TIMES Indonesia)
FOKUS

Muktamar NU 2021

TIMESINDONESIA, JOMBANGSETELAH 37 tahun NU berada pada posisi Khittah-nya, sayup-sayup kini mulai terdengar ada yang minta ditinjau kembali. Bahkan, karena dianggap sudah tak relevan, sebaiknya Khittah ditinggalkan.

Bayangkan, tokoh sekaliber Mahbub Djunaidi saja hanya berani menyampaikan gagasan "Khittah Plus" saat Munas Alim Ulama di Cilacap pada 1987. Padahal dia juga perumus konsep Kembali ke Khittah 1926 yang ditetapkan Muktamar Situbondo 1984. Kalau sekarang dengan penuh keberanian meminta Khittah ditanggalkan, justru hal itu malah dinilai guyonan.

Memang tak mungkin NU dijauhkan, apalagi dipisahkan, dari politik. Memisahkannya sama saja bunuh diri. Harus realistik. Politisi yang kader NU juga berjibun. Mana mungkin mereka ditelantarkan?

Yang terpenting, bagaimana NU lebih fokus pada program sosial ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, namun tetap menyediakan ruang politik. Bukan melarang, apalagi mengharamkannya. Demikian saya memahami gagasan Khittah Plus.

"Berarti bukan karena berpartai politik itu barang 'haram' melainkan karena saat berpartai politik itu NU kurang memperhatikan tugas pokoknya. Kalau tugas pokok itu diperhatikan, apakah berpartai politik itu tidak boleh juga?" Demikian tulis Mahbub Djunaidi (1987), menjelaskan gagasan Khittah Plus-nya itu.

Benar saja, ruang politik NU selalu terbuka. Pada Pemilu pertama pasca Khittah memang diwarnai aksi "penggembosan" kepada PPP yang telah dianggap banyak mengecewakan. Tak sedikit pula yang kemudian "eksodus" ke Golkar seperti Slamet Efendi Yusuf dkk. Namun setelah berganti era reformasi, atas nama desakan warga, PKB juga berdiri.

KH Ma'ruf Amin, juga KH Cholil Bisri, di antara pejuang politik lahirnya partai berbasis nahdliyin itu, sering memberikan alasan bahwa berpolitik merupakan bagian dari tanggungjawab NU. Para kiai tak mungkin membiarkan perpolitikan berjalan sendiri. Reformasi harus tetap terkendali. NU mempunyai tanggungjawab menjaga kehidupan berbangsa dan bernegara, selaras dengan nilai-nilai agama yang dianutnya.

Lebih penting lagi, jalan politik memang dinilai paling efektif mewujudkan kemaslahatan. Apalagi jika kekuasaan sudah dalam genggaman. Dulu, "berkuasa" di Departeman Agama saja sudah dianggap segalanya. Itulah jatah wajib NU yang selama orde baru (seakan) telah dihilangkan.

Kini, tak hanya Menteri Agama. Wapres NU, sekian pos kementerian, bahkan menjadi Presiden pun sudah dirasakan. Tak hanya di situ, sampai ke bawah, yang menjadi Kepala Daerah, juga sangat banyak. Zuhairi Misrawi, intelektual muda NU yang kini menjadi Dubes di Tunisia itu, pernah menyampaikan, ada 130an Kepala Daerah berlatar belakang NU hasil Pilkada 2020 yang berangkat dari PDI Perjuangan.

Belum lagi yang dari partai lain. Wabil khusus PKB, yang memang dilahirkan dari "rahim" NU. Kalau anggota legislatif, dari atas sampai ke bawah, tentu sudah sangat berlimpah.

Dengan mobilitas vertikal itu, demikian banyak kader NU yang berhasil menduduki jabatan di pemerintahan, sebenarnya tak ada alasan untuk tidak lagi fokus pada program-program kemaslahatan. Sekadar mendirikan sekolah dan Perguruan Tinggi, Rumah Sakit, atau membuka lapangan usaha, apa susahnya? Ini yang menjadi tugas pokok NU.

Di situlah aktualisasi Khittah sesungguhnya. Mempersempit makna hanya dalam kaitan politik kepartaian, justru mengerdilkan kiprah politik NU itu sendiri. Era multi partai saat ini jelas sudah beda dibanding Pemilu 1955 yang paling demokratis dulu. NU yang saat itu tampil solid dan "ideologis" saja hanya meraih 18 persen.

Sekarang Pemilu sangat terbuka. Presiden dipilih langsung, demikian pula Kepala Daerah, dan Anggota Legislatif. Mereka berjibaku mencari suara sendiri. Rakyat juga "merdeka" menentukan pilihan. Masih efektifkah, misalnya, jika NU membuat fatwa?

Realistis saja. Menganggap rakyat masih bisa dimobilisasi, untuk saat ini, hanyalah ilusi. Warga NU khususnya sudah sangat cerdas. Apalagi dalam urusan politik, berseberangan dengan kiai panutan sekalipun sudah bukan lagi dianggap pelanggaran.

Jadi, NU ya tetap Khittah. Ini garis jam'iyah, menjadi panduan warga dalam segala peran, tanpa kecuali bagi para politisi. Peran mewujudkan kemaslahatan harus diprioritaskan, bukan sekadar mengutamakan kepentingan pribadi. Jangan salah memahami. Kalau yang dianggap tak menguntungkan, dan dinilai menghalangi, harus ditinggalkan, berarti "nawaitu" harus ditata kembali. (*)

* Oleh: Idham Cholid, Mantan Ketua Cabang PMII Jombang 1994-1996 dan Kader NU

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES