Kopi TIMES

Optimisme Global dan Pesimisme Lokal Indonesia dalam COP26

Jumat, 05 November 2021 - 12:00 | 84.51k
Abdul Kodir, Faculty of Social Science, Universitas Negeri Malang
Abdul Kodir, Faculty of Social Science, Universitas Negeri Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Menjelang pertemuan COP26, Indonesia boleh berbesar hati karena Presiden COP26, Alok Sharma, menyebut negara kita sebagai Indonesia Climate Super Power. 

COP26 atau Conference of Parties merupakan ajang pertemuan pemimpin global untuk mencari jalan keluar dalam upaya memitigasi terjadinya perubahan iklim global dan mendorong pembangunan rendah karbon. COP merupakan agenda tahunan yang saat ini diselenggarakan di Glasgow, Skotlandia. Seharusnya agenda ini diadakan pada tahun 2020, namun karena kondisi pandemi Covid-19 maka terpaksa diselenggarakan di akhir tahun ini. 

Agenda COP26 saat ini merupakan agenda lanjutan dari COP25 yang sebelumnya diselenggarakan di Paris dimana pada pada saat itu Antonio Guteres sebagai Sekretaris Jenderal UN menilai bahwa para pemimpin dunia, terutama dari negara maju tidak menunjukkan ambisi dan komitmen yang serius terkait upaya mitigasi perubahan iklim. Selain itu, mereka juga tidak menunjukkan kepedulian dalam aspek pendanaan bagi negara-negera berkembang dalam rangka pengurangan emisi global dan pengurangan dampak perubahan iklim global. 

Berbeda dengan sebelumnya, COP26 sepertinya menunjukan hasil yang optimis dalam mengatasi perubahan iklim dimana semua negara memiliki komitmen bersama untuk menyepakati bahwa batas panas bumi meningkat sebesar 1.5 Celcius. Tidak hanya itu, para pemimpin dunia mengalokasikan dana cukup besar dalam pengendalian iklim dan para pengusaha akan semaksimal mungkin berinovasi dalam penggunaan energi terbarukan sebagai komitmen mengurangi zero net carbon pada tahun 2030. 

Indonesia saat ini, menjadi satu dari sekian negara yang aktif dalam upaya pengendalian iklim di dunia. Setidaknya ada 4 agenda yang diusung Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim dunia. Pertama, menetapkan peta jalan adaptasi perubahan iklim 2030. Kedua, meningkatkan ambisi mengurangi emisi karbon dan sektor hutan dan lahan 2030. Ketiga, kolaborasi dalam menyelesaikan komitmen Perjanjian Paris 2015, dan yang terakhir meminta negara maju berperan lebih besar dalam mencapai zero net carbon.   

Dari keempat agenda itu, salah satunya termanifestasi melalui keseriusan pemerintah Indonesia dalam mengalokasikan dana anggaran mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (climate budget tagging). Pendanaan tersebut dilakukan sejak tahun 2016 hingga 2020 dengan total belanja mencapai Rp. 256,7 triliun untuk mitigasi sedangkan Rp. 75,9 triliun teralokasikan untuk adaptasi. Tidak hanya itu, secara resmi, pemerintah menetapkan perubahan lingkungan menjadi salah satu program dalam RPJMN 2020-2024 dengan menyusun 3 program prioritas, yakni peningkatan kualitas lingkungan, ketahanan bencana dan perubahan iklim, serta Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon (PRRK). 

Bahkan dalam pidatonya di forum COP 26, Presiden Jokowi menyampakan keberhasilan Indonesia dalam mengatasi laju kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sebanyak 82% dan melakukan rehabilitasi 3 juta lahan kritis selama kepemimpinannya. Tidak hanya itu, bahwa pemerintah Indonesia saat ini akan mengembangkan energi terbarukan melalui rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga surya terbesar di Asia Tenggara, membangun ekosistem mobil listrik, hingga pemanfaatan bio-fuel. Pidato tersebut seolah membawa pesan bahwa Indonesia sangat optimis menjadi bagian dalam mengatasi persoalan perubahan iklim di tingkat global. Bahkan dalam pidatonya, Presiden Jokowi menantang pemimpin-pemimpin negara maju untuk melakukan transfer teknologi dalam mengatasi persoalan krisis iklim.

Optimisme Indonesia yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam mengatasi krisis lingkungan sebenarnya bertentangan dengan ancaman degradasi lingkungan yang dihadapi oleh masyarakat adat atau komunitas lokal. Percepatan pembangunan infrastruktur saat ini dikejar oleh rezim pemerintahan Jokowi secara langsung berkontribusi terhadap hilangnya ruang hidup masyarakat akibat deforestitasi dan proyek pembangunan infrastuktur lainnya. Munculnya gerakan lingkungan dan konflik pembangunan seperti yang terjadi dalam proyek pembangunan reklamasi di Jakarta dan Tanjung Benoa Bali, Pendirian Pabrik Semen di Rembang dan Pati, Penolakan pembangunan Bandara di Kulonprogo dan Kertajati, dll menjadi negasi bahwa sebenarnya dalam pemerintahan Jokowi saat ini tidak memiliki komitmen kuat untuk menjaga keberlanjutan lingkungan.

Persoalan lain yang semakin membuat kita pesimis terhadap komitemen pemerintah dalam pengendalian krisis lingkungan ialah ketergantungannya terhadap komoditas sawit dan batu bara. Kedua komoditas ini, dari hasil penelitian, telah berkontribusi terhadap terhadap krisis lingkungan seperti deforestisasi, tercemarnya sumber air, punahnya keanekaragaman hayati, dan penurunan kualitas udara. Namun mengapa kedua komoditas ini tetap bertahan dan menjadi primadona? Tentu saja, bukan hanya karena kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Akan tetapi karena komoditas tersebut dikuasai para elit politik dan pengusaha yang mengakumulasikan kekayaan mereka dari bisnis tersebut. 

Ketidakseriusan komitmen pemerintah dalam menjaga keberlanjutan lingkungan sebetulnya sudah sangat jelas tercermin dari cuitan Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar di Twitter menjelang konferensi COP26, di mana ia menyatakan bahwa “Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau deforestisasi”. Menghentikan pembangunan atas nama zero deforestisation sama dengan melawan mandat UUD 1945”. Pernyataan ini seakan menjadi penguat bahwa yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam forum COP 26 berkontradiksi dengan yang terjadi di tingkat lokal.   

***

*) Oleh: Abdul Kodir, Faculty of Social Science, Universitas Negeri Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ferry Agusta Satrio
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES