Kopi TIMES

Saleh Ritual dan Saleh Sosial, Memaknai Filosofi Shalat

Jumat, 05 November 2021 - 08:16 | 51.41k
Munawir Aziz, Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom
Munawir Aziz, Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Sudahkah kita merenungkan betapa ibadah kita berdampak pada perilaku individu dan berdampak sosial di lingkungan kita? Sudahkah kita menggali lebih dalam inti dari ritual-ritual ibadah yang kita lakukan dengan menyesap lapis demi lapis makna dari perintah Allah? Melalui karya ‘Filosofi Shalat’ karya Irfan L Sarhindi (2021), kita diajak untuk menelusuri lika-liku ibadah kita, tidak hanya sebagai ritual tapi benar-benar sebagai kenikmatan dan kebutuhan. 

Saya mengenal Irfan L Sarhindi dalam beberapa tahun terakhir. Ia merupakan lulusan master dari sebuah kampus ternama di London, United Kingdom. Irfan merupakan profil santri—dan sekarang pengasuh pesantren—yang menekuni jihad digital, untuk mencerahkan publik melalui media sosial. 

Pada awalnya, Irfan melakukan perjalanan panjang, sebuah petualangan keilmuan ketika belajar di London. Sebagai santri yang terbiasa menekuni teks-teks turots, tentu belajar di kampus modern di Inggris menjadi petualangan tersendiri. Tentu saja, ada banyak adaptasi yang dilakukan, serta penyesuaian-penyesuaian dalam interaksi sosial, akademik, hingga bagaimana memandang dunia sebagai laboratorium kehidupan. 

Belajar tingkat master di Inggris seperti laiknya sepakbola di negeri itu: hit and run. Harus kerja cepat, efektif, fokus dan berenergi besar. Ini karena studi master di Inggris rata-rata hanya satu tahun, atau dua semester. Waktu yang pendek dijejali dengan beragam mata kuliah, kursus, juga beberapa tugas menulis paper atau riset yang bejibun. Belum lagi pada beberapa terakhir, harus berjibaku dengan thesis yang membutuhkan konsentrasi tinggi. 

Pada petualangan itulah, Irfan menemukan pencerahan dalam memaknai Islam yang ia pahami. Ketika sedang bertungkus lumus menuntaskan tugas kuliah, Irfan mengambil jeda waktu istirahat makan siang untuk shalat. Ia merasa beban untuk menulis tugas kuliah menjadi reda, pikirannya kembali segar. Shalat tidak lagi hanya menjadi ritual, tapi lebih sublim dan menjadi oase. Irfan menikmati lapis demi lapis ibadah shalat sebagai kenikmatan, sebagai meditasi.

Dari pengalaman inilah, Irfan kemudian merefleksikan gagasanya menjadi sebuah karya berisi gagasan-gagasan penting yang mempertanyakan makna Shalat secara hakiki. Irfan mengungkapkan, “shalat seringkali diajarkan hanya sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan, tanpa dilengkapi dengan pemahaman yang baik soal apa itu shalat dan untuk apa shalat dilaksanakan.” 

Ada beberapa hal yang menarik direnungi dari gagasan-gagasan reflektif Irfan L Sarhindi. Ia, misalnya menarik garis yang jauh dalam konteks shalat sebagai gerakan. Shalat sekali lagi tidak hanya menjadi ritual, tapi selayaknya harus dimanifestasi menjadi action, sebagai gerakan sosial. Misalnya: shalat menanamkan loyalitas paripurna, berdasar bacaan ‘inna shalati wa nusuki wamahyaya, yang terangkum dalam doa iftitah. Kemudian, hal ini diinternalisasi menjadi: “penghayatan saat membaca doa iftitah dan alfatihah, terutama pada bagian ekspresi komitmen loyalitas (kesetiaan)”. Dari penghayatan ini, kemudian shalat menjadi call to action untuk: menerapkan loyalitas pada aspek-aspek lain di dalam kehidupan, dengan Subyek yang disetiai adalah Allah. 

Ada refleksi lain yang menurut saya menjadi penting, bagaimana shalat mendidik muslim menjadi seorang yang pantang menyerah, punya resiliensi tinggi. Irfan menulis: penghayatan atas qiyam sebagai integritas tegak lurus yang tidak mudah. Sehingga butuh upaya sungguh-sungguh yang berkesinambungan (istiqomah). Bagaimana hal ini menjadi aksi? Irfan mengajak untuk setiap kita, menyempurnakan setiap upaya secara sungguh-sungguh dan pantang menyerah. 

Lalu, bagaimana shalat menjadi media untuk menghadirkan kesalehan sosial? Irfan mengajak lebih jauh, agar shalat tidak hanya menjadi ritual semata, namun diinternalisasi dan diproyeksikan agar bermakna dalam kehidupan sosial kita. Misalnya, jika dihayati dengan benar, shalat sejatinya mengajak muslim untuk menjaga ukhuwwah. Bagaimana bisa? Irfan menegaskan: shalat berjamaah lebih utama dari shalat munfarid. Lalu, dari pemaknaan ini, ditarik refleksi yang lebih jauh, bahwa: penghayatan atas shalat berjamaah sebagai shared language dan upaya membangun kesadaran kolektif satu tubuh. 

Nah, bagaimana sejatinya panggilan aksi, bahwa shalat sebagai media menjadi ukhuwwah? Menurut Irfan—dan ini point yang menarik—bahwa ‘mengupayakan persatuan dan persaudaraan lintas level seperti Islamiyyah (keagamaan), wathaniyyah (kenegaraan), hingga basyariyyah (kemanusiaan)’.

Refleksi ini sebenarnya menampar kita, sebagai muslim, sebagai mukmin: jika shalat sejatinya menjadi media untuk menguatkan ukhuwwah, mengapa banyak sekali terjadi perdebatan, pertentangan dan bahkan konflik yang sejatinya tidak perlu? 

Lagi-lagi, Irfan L Sarhini hendak mengajak kita semua untuk memaknai ulang, meresapi satu demi satu ibadah kita, dan sekaligus pemaknaan kita atas Islam. Bukankah muslim seharunya menjadi penggerak dan pejuang utama dari ukhuwwah Islamiyyah, dan sekaligus persatuan kebangsaan dan kemanusiaan? Bukankah sebagai muslim, jika shalat kita memang benar-benar terhayati dan berpendar menjadi cahaya dalam aksi sosial, betapa seharusnya menginspirasi umat manusia untuk terus berbuat kebaikan dan membangun peradaban? 

Nyatanya, kita masih melihat pertengkaran, konflik dan ribuan perkelahian serta perbuatan-perbuatan keji lainnya, yang dilakukan oleh orang-orang yang mengaku muslim. Atau bahkan, masih orang-orang yang dengan jubah agama, justru mengkafirkan yang lain? Maka benar, kita perlu melihat kembali shalat kita. Kita perlu menghayati shalat tidak hanya sebagai ritual, tapi juga media memperbaiki diri. Shalat menjadi media untuk benar-benar menghadirkan kemaslahatan, menghadirkan cinta. (*)

***

*) Oleh: Munawir Aziz, Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES