Kopi TIMES

Banjir Batu: Bencana atau Residu Wisata?

Jumat, 05 November 2021 - 07:32 | 154.19k
Mangku Purnomo, Staff pengajar Fakultas Pertanian UB.
Mangku Purnomo, Staff pengajar Fakultas Pertanian UB.

TIMESINDONESIA, MALANG – Saya terpaksa menulis. Tidak berarti tidak empati, tetapi terpaksa harus ada yang bersuara. Agar kita bisa terus belajar dari bencana. Karena bencana selalu terkait dengan dua hal. Satu karena peringatan dari Tuhan. Dua, akibat kelalaian manusia. 

Mari kita runut satu persatu. Tahun ini praktis tidak ada musim kemarau yang tegas. Bulan September sempat kering satu bulan di daerah Malang. Saat masuk bulan Oktober hujan cukup rapat. Hampir tiap hari.

Berkah. Demikian kata petani pinggir hutan yang mengandalkan air hujan untuk menanam.

Tanda alam yang baik itu tentu disambut dengan gembira. Tahun 2020 musim hujan mulai di bulan Oktober. Berbekal data itu mereka langsung mengolah lahan. Terutama di lereng-lereng yang tidak terjangkau irigrasi. Di lereng-lereng di kawasan hutan negara sisa pembukaan lahan residu reformasi tahun 1998. 

Saat hujan tiba, tanah terolah tersebut sangat mudah erosi. Erosi memperhebat aliran air. Tanaman juga bukan pohon. Tapi berupa kentang, kubis, bawang daun dan berbagai tanaman sayuran lainnya.

Tanah tererosi inilah yang ikut terhanyut menambah daya rusak air. Apalagi model hujan akhir-akhir ini tertumpah sangat deras dalam waktu singkat. Sementara hampir tidak ada pohon besar di lahan tersebut. 

Air saat jatuh akan langsung turun tanpa tertunda. Tidak ada tajuk yang menghambat. Juga tak ada akar yang menahan tanah. Tak perlu hujan lebat dan lama akan menjadi banjir bandang. Berapa yang turun segitu pulalah yang dialirkan.

Beberapa grup WA yang saya ikuti berpendapat sama. Penggundulan hutan di tanah-tanah hutan negara itu. Masyarakat yang tidak mau mengkonservasi. Bla...bla..bla. Orang Mbatu memang sudah sangat komersil dan "rakus" dengan lahan. 

Apakah demikian? Benar! Tapi tidak benar juga menurut saya. Benar jika kita melihat cara mereka mengekploitasi lahan. Dibanding daerah-daerah lain dengan tipologi yang sama seperti Kabupaten Lembang atau Pengalengan, Kota Batu jauh lebih intensif pertaniannya. 

Yang biasa naik mobil dari Njunggo hingga Cangar, di lereng Gunung Arjuno seolah pertanian terus menaik mendekati puncak. Meski tidak memiliki data, saya merasa lahan-lahan sayur itu terus merangkak naik.

Kenapa itu terjadi? Harga tanah. Wisata berkah. Tapi mengerek harga tanah.

Investor besar kecil masuk pasar tanah. Sulit bagi petani kecil menahan tanah mereka. Apalagi jika udah diwariskan. Dijual, lalu mereka naik. Mencari lahan baru di atas, karena di bawah dikuasai investor. 

Jadi banjir bandang Batu hari ini harus kita lihat dari berbagai dimensi. Memang benar tingkat ekploitasi lahan di Batu sudah terlalu dalam. Itu fakta. Tetapi ketimpangan struktur ekonomilah sebenarnya sebab utamanya. 

Sektor wisata mengerek harga lahan terlalu cepat. Mereka yang tidak siap tentu akan naik karena tidak sanggup bersaing di bawah. Terutama di timur laut Batu. Di lereng Arjuno dan Welirang.

Kawasan yang sekarang menjadi maqnitud banjir. Lahan-lahan hutan di lereng miring dan berharga murah menjadi alternatif. Masuk wisata tidak mudah, sementara keahlian mereka hanya menanam sayur.

Apa yang bisa kita simpulkan? Curah hujan tinggi dengan pola mengumpul menjadi sebab utama. Apakah terkait perubahan iklim? Sangat mungkin. Ini harus diwaspadai. 

Kedua adalah pola pertanian masyarakat. Kasat mata sangat rentan erosi. Hampir tidak tanaman/pohon penguat di kawasan tersebut. Musti ada pergeseran komoditi.

Ketiga, ketimpangan pembangunan. Bisnis wisata seolah milik investor besar. Desa wisata dan inisiasi lokal lainnya belum mampu memberi benefit ekonomi. Sayur tetap memiliki hasil lebih bagus. Karena itu musti menyelaraskan pembangunan wusata dengan pertanian. Ada perlindungan terhadap lahan pertanian di kawasan bawah.

Keempat, kemudahan membuka lahan hutan di lereng-lereng yang tidak layak. Kenapa ini terjadi? Dibiarkan untuk memberi akses atau telah menjadi komoditi pula? Tanah penghutanan sosial yang seharusnya sulit beralih hak pengelolaanya bisa beralih seolah ada pasarnya.

Peluang inilah yang menyebabkan petani-petani Batu terus naik. Mustinya segera dihentikan praktek transfer hak ini dengan segera.

Jadi menguraikan fenomena banjir ini harus selalu menggunakan dua dimensi analisis. Dimensi teknis dan dimensi struktural. Keduanya bertautan melahirkan bencana.

Akhirnya, monggo berdoa untuk sahabat-sahabat kita yang tertimpa bencana. Semoga yang meninggal husnul khotimah dan yang selamat bersabar. (*)

***

*) Oleh: Mangku Purnomo, Staff pengajar Fakultas Pertanian UB.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES