Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Memperbanyak Produsen ”Surga Sosial”

Kamis, 04 November 2021 - 15:24 | 47.86k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universtas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku hukum dan agama.
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universtas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku hukum dan agama.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Dalam perjalanan hidup di tengah pergulatan keragaman manusia, terkadang seseorang keslitan mengendalikan atau mencerdaskan emosinya akibat tantangan yang dihadapinya tergolong besar, sehingga secara psikologis, ketika seseorang itu merasa dirinya tidak bersalah, tidak berbuat jahat, dan tidak melanggar hak asasi manusia lain, atau tidak melakukan perbuatan yang merugikan sesamanya, sementara seseorang ini terus menerus diserang oleh berbagai intrik, fitnah, dan praktik-praktik kekejian seperti pembunuhan karakter (character assassination), maka sebenarnya secara manusiawi, seseorang ini berhak mereaksi dan melampiaskan kemarahannya. Tetapi, karena kemampuannya untuk memenangkan nalar dan sikap sabar di atas sifat marah, maka kemungkinan terjadinya tragedi berdarah, berlaku serpa dalam ketidakadaban,  atau “main bunuh” bisa dicegahnya, dan digantikan dengan model perilaku yang mengunggulkan kesantunan dan toleransi.

Ada teladan historis, ketika Nabi Muhammad SAW menuju Thaif untuk melakukan dakwah, beliau  diserang oleh masyarakat Thaif dengan cara dilempari batu hingga berdarah. Menyaksikan kenyataan ini, Malaikat Jibril menawarkan kepada Nabi untuk menghukum masyarakat Thaif dengan cara dibalas dihujani batu gunung yang lebih besar dan mematikan.

Tawaran Jibril itu ditolak oleh Nabi dengan jawaban: kita lebih baik sabar dan mendoakan masyarakat Thaif yang belum tahu kebenaran ini. Siapa tahu kelak, mereka justru menjadi manusia-manusia yang berdiri di barisan depan untuk membela dan memperjuangkan agama yang ramah manusia lain, dan bukan agama yang ditorehkan  untuk memperbanyak banyak darah tercecer, kebencian dan konflik dimana-mana, atau menggiatkan diri dan mengajak banyak pihak menjadi produsen  surga-surga sosial.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Belajar dari kearifan dan kesabaran beliau dalam beragama, jelas sekali, bahwa kemampuan beliau meninggikan makna sabar dan mengalahkan sifat marah merupakan pintu gerbang yang menentukan keharmonisan hidup dalam beragama, berbangsa, dan mewujudkan harmoni sosial universal. Sikap beragama ini mestinya bisa diadopai dan ditransformasi di era ”kemerdekaan’ ini atau nanti.

Perilaku ketidakadaban masyarakat Thaif bisa dicegah oleh sifat Nabi yang penyabar dari banjir darah atau kemusnahan suatu kaum akibat batu-batu gunung yang hendak diterbangkan Malaikat Jibril. Watak beliau inilah yang mampu mencegah kehancuran dan sebaliknya berhasil mendatangkan kesatuan dan kejayaan. Kesabaran keluar sebagai pemenangnya karena Nabi kokoh mewujudkannya sebagai perisai kepribadiannya saat berelasi lintas kemanusiaan.

Godaan di era ”kemerdekaan” ini diantaranya adalah meledaknya semangat atau aktifitas subyek sosial yang sebelumnya merasa hilang, sehingga jika tidak disadarkannya sendiri, ditakutkan justru memproduksi virus-virus sosial yang saling menghadirkan petaka satu dengan lainnya. Dalam ranah demikian, jelas etika keagamaan setiap subyek sosial wajib digunakan sebagai perisainya.

Khalifah Abdul Malik Marwan pernah mengingatkan juga, bahwa semulia-mulia manusia ialah orang yang mempunyai adab yang merendah diri ketika berkedudukan tinggi, memaaf ketika berdaya membalas dan bersikap adil ketika kuat

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kalau setiap orang mau mengikuti jejak Nabi dan nasihat Marwan itu, betapa nikmat dan damainya kehidupan kebermasyarakatan, berkebangsaan,   dan berkenegaraan di masa “kemerdekaan” atau masa-masa mendatang. Kita tentu tidak akan sampai menyaksikan tayangan media elektronik yang berkali-kali mengekspose aksi kekerasan di berbagai wilayah bumi pertiwi ini, jika saja setiap pihak mampu membumikan kesantunan.

Selain itu. di tengah masyarakat yang sudah demikian sering diwarnai oleh aksi-aksi banjir darah akibat kekerasan individual dan kelompok ini sudah seharusnya merestorasi dirinya dengan cara mengembalikan supremasi etika pada ranah utamanya, pasalnya dengan etika yang baik ini, masyarakat dan bangsa akan hidup damai dan sejahtera.

Restorasi diri merupakan tuntutan bagi setiap pemeluk agama guna mewujudkan khittah ke pemahaman dan praktik keagamaan yang menempatkan sesama sebagai “proyek unggulan”. Jika bisa seperti ini, setiap elemen masyarakat tidak perlu takut kehilangan hak menikmati hidup harmoni dalam kebinnekaan. Di tengah keragaman social dan agama apapun, disharminisasi tidak akan dijumpai jika masing-masing subyek bangsa ini lebih  memilih dan memenangkan hak social untuk dilindungi sebagai bagian dari kewajiban bersama.

Itulah yang selayaknya harus terus menerus dikembangkan di tengah kehidupan bermasyarakat dan berbangsa ini. Perwujudan atau pembumian akan memberikan warna di masa kini dan masa depan bagi negara ini. Warna ynag tidak baik selama ini adalah kita sendiri yang membuatnya, sehingga kita punya kewajiban juga untuk mengubahnya secara tepat, progresif, dan berkelanjutan

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universtas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku hukum dan agama.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES