Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Kita Masih “Mengamini” Korupsi

Kamis, 04 November 2021 - 11:26 | 40.90k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universtas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku hukum dan agama.
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universtas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku hukum dan agama.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Salah satu jenis kejahatan yangdibenci namun disukai banyak orang di negeri ini adalah korupsi. Kejahatan ini distatuskan hukumnya haram dan sebagai kejahatan yang sangat serius, namun diantara kita, faktanya banyak yang “mengamini”, yang dibuktikan dengan keterlibatannya seccara personal maupun jamaah.

Ada diantara kita yang gencar dan menggelorakan semangat dan khutbah anti korupsi, yang kesemuua ini sangat manis disampaikan di hadapan rakyat, padahal dibaliknya ikut bermain-main dengan banyak uang hasil korupsi. Dirinya bukan pemain di depan yang memasarkan dan menggasak sejumlah uangnya secara langsung, tapi mereka sambal senyum mendapatkannya sangat banyak.

Peneliti Juwita W dalam Fenomena korupsi berjamaah di Indonesia (2012) pernah menyebutkan, bahwa modus korupsi berjamaah di Indonesia sebenarnya persis seperti sistem Multi Level Marketing (MLM). Seringkali karyawan bawah di suatu instansi dijadikan prajurit terdepan dalam aksi. Uang yang diperoleh oleh karyawan level bawah akan diteruskan ke atasannya, begitu terus sampai ke pucuk pimpinan. Karyawan level bawah di suatu instansi menghadapi resiko terbesar, sedangkan hasil yang diperoleh adalah hasil terkecil dalam aksi tersebut. Jika terjadi sesuatu hal, maka karyawan level bawahlah yang terlebih dahulu dikorbankan untuk masuk bui.

Para oknum pimpinan dengan koneksi politik dan uang rampasan yang banyak memiliki modal untuk selamat dari bui. Ada yang diuntungkan atau “berlaba besar dan special”, namun ada pula yang menanggung resiko yang tidak ringan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Pemimpin dalam korupsi berjamaah tidak perlu memberikan instruksi. Ia hanya cukup menunggu uang masuk ke rekeningnya secara teratur. Hal itu karena mereka telah memiliki persentase masing-masing bagi setiap level dalam aksinya. Persis seperti sistem MLM, bukan? Para tersangka kasus korupsi berjamaah yang kini tengah populer di media sebenarnya hanyalah pion. Jika semua pelaku korupsi berjamaah diseret ke pengadilan, negara ini mungkin bisa bubar karena jumlahnya yang terlalu banyak. Butuh beberapa  generasi hingga Indonesia bisa bebas dari korupsi berjamaah karena akarnya telah menancap terlalu dalam.

Paradigma korupsi yang diajukan peneliti itu atau periset lainnya seperti itu barangkali tak berbeda dengan yang terjadi di atau dengan pola korupsi di sejumlah departemen, kantor pemerintahanm dan korporasi yang melibatkan pejabat aktif, bahwa kekuatan jamaah  atau terorganisir tetap berada di tangan pemilik “tangan-tangan gaib”. Sang pemilik tangan-tangan gaib seperti pihak yang menawarkan anggaran atau mengatur transaksi dalam jumlah besar atau secara diam-diam memproduksi kriminalisasi sistemik, merupakan elemen strategis yang mendapatkan keuntungan besar, yang bisa jadi di akhir “hikayat” proses hukum, nantinya menjadi pihak yang diuntungkan dan dimenangkan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Selain masih mendapatkan keuntungan uang dalam jumlah besar yang berhasil disembunyikan atau damankannya dari radar pelacakan penyidik, mereka itu juga mendapatkan keuntungan berupa minimalisasi sanksi hukuman atau bahkan pembebasan. Sudah menjadi cerita umum, bahwa sanksi hukuman penjara bagi koruptor selama ini, bersifat sumir. Bahkan ada kasus yang korupsi yang hukumannya berjnis percobaan.

Memprihatinkannya sanksi hukuman tersebut tak lepas dari supremasi para  pemain yang “berjasa besar” dalam merusak atau mengacaukan penyidikan, penuntuttan, hingga alur pemimikiran (penafsira) hakim sebelum menjatuhkan putusan. 

Para pilar “kekuatan dibalik layar” berusaha seperti merancang dan memberi jalan keluar yang menunjukkan peran liicinnya sebagai pengendali yang bisa menciptakan situasi tertentu, yang membuat elemen penegak hukum atau publik mempercayainya, bahwa para koruptor “hanya” salah alamat dalam menyalurkan dana atau uang negara sebenarnya sudah tersalur dengan tepat, hanya  “kurang  benar” dalam menyusun pelaporannya.

Membaca pola seperti itu, seharusnya setiap aparat penegak hukum, khususnya penyidik KPK merasa ditantang atau dieksaminasi profesionalismenya oleh “kekuatan dibalik layar”. KPK tidak boleh hanya berhenti di ranah satu dua orang pimpinann kelembagaan yang diduga terlibat, tetapi juga siapapun orangnya yang memanfaatkannya, disamping tidak kehilangan konsistensinya dalam menyidik kasus besar lainnya secara transparan dan egaliter.

Penyidik KPK berkewajiban terus menerus dalam memperbarui strategi berperangnya terhadap koruptor. Kalau koruptor saja terus berusaha membaca dan membelokkan arah kinerja penyidikannya, maka KPK wajib mempelajari pola-pola politik penyimpangan dan pengalihan wacana pertanggungjawaban korupsi yang “diamandemen” oleh koruptor. KPK tidak boleh Lelah atau penat menghadapi virus laten ini, karena dirinya sudah didaulat oleh negara untuk mendekonstruksi siapapun yang “mengamini” merajalelanya virus ganas ini.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universtas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku hukum dan agama.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES