Kopi TIMES

Menakar Problematika Pencatatan Status Perkawinan Siri di Kartu Keluarga 

Rabu, 03 November 2021 - 14:30 | 67.38k
Agung Cahyono,S.H; Konsultan Hukum.
Agung Cahyono,S.H; Konsultan Hukum.

TIMESINDONESIA, BLITAR – Tujuan Negara Indonesia yang menjadi cita-cita luhur para pendiri bangsa salah satunya, yaitu “…melindungi segenap bangsa Inonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…”. Dalam mewujudkan suatu kehendak yang sangat mulia tersebut, perlu meneguhkan sikap Nasionalisme yang kuat dalam diri pribadi, agar terdapat jiwa yang manunggal antara cita-cita dan perbuatan yang akan dilakukan.

Perkembangan sosial yang terjadi dalam masyarakat terkadang menimbulkan berbagai gejala sosial yang memicu suatu konflik hukum. Konflik tersebut tidak hanya dalam lingkup masyarakat luas, tetapi juga telah masuk ke persoalan rumah tangga. Fenomena pernikahan dibawah tangan atau dalam perspektif hukum islam disebut “Perkawinan Siri”, telah menjadi bagian dari persoalan yang ada dalam kehidupan masyarakat saat ini. Persetujuan dari pihak istri seringkali menjadi permasalahan utama dalam melakukan poligami, jika seorang suami melakukan perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih tanpa seizin dari istri yang pertama (terdahulu) inilah problematika awal ketika suatu perbuatan yang dilakukan tanpa adanya persetujuan dari istri yang sah sebelumnya.

Perkawinan yang dilakukan secara agama atau dilakukan menurut kepercayaannya tetap sah, akan tetapi tidak memiliki kekuatan hukum secara administrasi jika dilihat dari sudut hukum administrasi negara (hukum positif). Persoalan akan muncul ketika perkawinan yang telah sah (memenuhi rukun dan syarat perkawinan menurut agama islam), tetapi tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan negara, biasanya akan timbul banyak masalah setelah perkawinan.

Pada dasarnya, suatu perkawinan yang dikehendaki ialah perkawinan yang dilakukan untuk waktu selama-lamanya sampai meninggalnya salah seorang suami atau istri. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang bahagia, berarti dalam rumah tangga itu seharusnya tercipta adanya hubungan yang harmonis antara suami dengan istri dan anggota keluarganya berdasarkan adanya prinsip saling menghormati (menghargai) dengan baik, tenang, tenteram dan saling mencintai dengan tumbuhnya rasa kasih sayang.

Pada sisi lain perkawinan siri memunculkan berbagai persoalan antara lain pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada pegawai pencatat nikah sebagaimana yang dimaksud Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974, sehingga perkawinannya tidak dapat dibuktikan secara hukum. Hal ini berimplikasi pada tidak diakuinya peristiwa perkawinan dan berikut dampaknya oleh hukum nasional. Menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Kompilasi Hukum Islam, perkawinan sah sepanjang dilaksanakan menurut agama dan kepercayaan masing-masing, serta perkawinan yang dilakukan tersebut harus dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah.

Pencatatan nikah bagi umat Islam dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan bagi non Islam dilakukan di Kantor Catatan Sipil. Peristiwa perkawinan yang dilakukan secara siri tersebut memiliki makna bahwa suatu perkawinan tersebut dianggap tidak ada secara hukum administrasi sehingga tidak dapat diproses secara administrasi.

Beberapa minggu yang lalu kita mendengar adanya kebijakan administrasi ketika “Perkawinan Siri” atas pencatatan status perkawinannya bisa dimasukkan dalam Kartu Keluarga dengan status “Kawin Belum Tercatat”, dalam pasal Pasal 34 huruf b Perpres Nomor 96 Tahun 2018 bahwa “Penduduk dapat membuat surat pernyataan tanggung jawab mutlak atas kebenaran data dengan diketahui oleh 2 (dua) orang saksi dalam hal: tidak memiliki buku nikah/kutipan akta perkawinan atau bukti lain yang sah tetapi status hubungan dalam KK menunjukan sebagai suami istri.

Interprestasi atas pasal tersebut jika ditafsirkan ketika perkawinan siri bisa dicatat status perkawinannya dalam Kartu Keluarga, dan hanya didasarkan atas Surat Pertanggungjawaban Mutlak (SPTJM) akan sangat rawan disalahgunakan oleh para pihak, dan tentunya akan menimbulkan ketidakpastian hukum, pertama akan melanggar ketentuan pasal 2 ayat (2) Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dimana ayat (2) menyebutkan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, artinya secara hukum, bahwa pencatatan yang dimaksud ialah apabila pasangan suami istri beragama islam dicatat oleh pegawai pencatat KUA, dan apabila non muslim dicatat oleh catatan sipil, bukan yang termasuk perkawinan siri. 

***

*) Oleh: Agung Cahyono,S.H; Konsultan Hukum.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Bambang H Irwanto
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES