Kopi TIMES

Sinetron Indonesia dan Obsesinya Terhadap Dongeng Cinderella

Rabu, 03 November 2021 - 11:12 | 53.36k
Jeni Ananda Nur Islam, Mahasiswi Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman.
Jeni Ananda Nur Islam, Mahasiswi Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman.

TIMESINDONESIA, SAMARINDA – Cinderella yang baik hati harus hidup menderita akibat perlakuan ibu dan saudari tirinya. Takdir Cinderella yang malang kemudian berubah ketika Ia bertemu pangeran yang rupawan. Kisah romansa dengan akhir bahagia ini masih sering kita dengar hingga sekarang. Entah memang terinspirasi dari Cinderella atau tidak, sinetron negara kita sepertinya masih tergila-gila dengan protagonis “tanpa cela” seperti Cinderella.

Sinetron masih menjadi sumber hiburan yang disukai masyarakat kita. Dengan kemampuan televisi dalam menjangkau masyarakat dari berbagai daerah dan kelas sosial, sinetron memegang dominasi sebagai tayangan favorit yang ditayangkan di jam tayang utama televisi.  Dikutip dari akun twitter resmi RCTI, rating sinetron bergenre drama romansa yang ditayangkan di kanal mereka bahkan menembus angka 54.3%.

Tidak banyak yang berubah dari tokoh protagonis perempuan di sinetron drama saat ini dengan yang saya tonton di televisi tetangga dulu. Seperti Cinderella, mayoritas tokoh-tokoh dengan hati suci ini lemah dan tertindas. Istri yang dianiaya mertuanya, wanita yang ditindas mantan pacar pasangannya, atau anak sekolah menengah miskin yang dirisak anak-anak ibu kota. 

Tokoh protagonis perempuan dalam sinetron tidak memiliki batasan antara dirinya dengan orang lain. Mereka tidak mampu membela diri pun melangkah pergi dari lingkungan toxic yang mereka tinggali. Seburuk apapun perlakuan yang diterima perempuan-perempuan ini, mereka hanya akan menangis di tengah hujan deras sembari meminta pertolongan kepada Tuhan.

Lantas, apa yang salah dari tokoh perempuan yang baik hati? Tentu saja tidak ada. Yang saya sayangkan adalah karakter mereka yang dangkal dan stagnan. Cantik, baik hati, dan tertidas menjadi keseluruhan karakter mereka. Mereka digambarkan seperti dewi dua dimensi tanpa ambisi. Hidup mereka hanya berputar pada penderitaan dan kisah cinta saja. Penonton tidak mengenal mereka lebih jauh. Siapa mereka? Apa mimpi dan cita-cita yang mereka miliki?

Selain Cinderella, ada pula tokoh yang hadir sebagai penindas. Mirip seperti ibu dan saudari tiri di dongeng tersebut, tokoh perempuan jahat ini punya perilaku yang buruk. Biasanya, mereka terobsesi dengan pemain utama laki-laki dan akan melakukan apapun untuk mendapatkan hatinya, bahkan hingga mengancam nyawa orang lain. Lagi-lagi, sifat tersebut menjadi keseluruhan karakter mereka. Dalam sinetron, karakter perempuan dibagi menjadi dua kategori, baik atau jahat, itu saja.
 
Tokoh-tokoh perempuan ini menjadi representasi bagaimana ekspektasi terhadap perempuan di masyarakat. Perempuan dituntut untuk memenuhi standar sempurna yang ada, lemah dan baik hati seperti tokoh-tokoh protagonis tersebut. Tumbuh besar, saya sering mendengar kalimat-kalimat seperti “perempuan kok seperti itu”, atau “anak perempuan seharusnya begini”. Ekspektasi dan tuntutan ini menempatkan perempuan dalam kardus kecil yang menghambat perempuan untuk menjadi diri mereka sendiri, untuk berkembang dan menggali potensi yang mereka miliki.

Sinetron kemudian menjadi media hiburan yang memperkuat budaya patriarki di negeri ini. Perempuan dipandang sebagai makhluk lemah yang derajatnya lebih rendah dan hidupnya hanya berpusat pada percintaan dan laki-laki. Sinetron memiliki peran dalam langgengnya diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan.

Melalui tulisan ini, saya menantang kreator sinetron untuk tidak bermain aman dan memiliki keberanian dalam menggambarkan karakter-karakter perempuan yang lebih kompleks. Melalui tulisan ini pula, saya berharap pembaca dapat menyadari ekspektasi dan tuntutan yang ditimpakan kepada perempuan yang digambarkan oleh tokoh-tokoh perempuan dalam sinetron. Bahwa pada kenyataannya, setiap perempuan merupakan pribadi yang kompleks dan unik. Dibanding menempatkan perempuan hanya dalam kategori dangkal baik atau jahat, pembaca dapat memberi ruang bagi dirinya sendiri dan perempuan di sekitarnya untuk menjadi otentik dan mengekspresikan diri.

***

* )Oleh: Jeni Ananda Nur Islam, Mahasiswi Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman. 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES