Kopi TIMES

Teladan Nabi, Moderasi Beragama dan Islam Kita

Senin, 25 Oktober 2021 - 16:00 | 163.93k
Moh Nur Fauzi, Dosen Institut Agama Islam (IAI) Darussalam Blokagung Banyuwangi dan Dewan Penasihat ISNU Bangorejo Banyuwangi.
Moh Nur Fauzi, Dosen Institut Agama Islam (IAI) Darussalam Blokagung Banyuwangi dan Dewan Penasihat ISNU Bangorejo Banyuwangi.

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Sejatinya agama diturunkan ke dunia adalah untuk membawa perbaikan, kedamaian, keselamatan, dan pesan-pesan universal kemanusiaan lainnya. Dalam ranah konsep dan gagasan nilai-nilai universal kemanusiaan itu sangat ideal dan menjanjikan bagi keberlangsungan peradaban umat manusia.

Tapi apa yang terjadi jika nilai-nilai universal kemanusiaan itu dibenturkan dengan realitas sosial yang ada di sekitar kita. Ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Terkadang, agama pada ranah sosial kemanusiaan seringkali dimanipulasi untuk kepentingan sesaat yang profan dan destruktif.

Atas nama Tuhan, agama yang membawa semangat pembebasan dimanfaatkan untuk mengekang kebebasan itu sendiri. Agama dimanipulasi untuk membenarkan pemahamannya sendiri terhadap pemaknaan agama yang dalam konteks tertentu multitafsir. 

Dalam konteks Islam misalnya, terdapat prinsip-prinsip dasar (usuliyah) dan cabang-cabangnya (furu’iyah). Prinsip-prinsip dasar dalam Islam adalah prinsip-prinsip universal kemanusiaan seperti persamaan dan kesetaraan (al-musawah), keadilan sosial (al-‘adalah al-ijtima’iyyah), musyawarah (al-syura), dan lain-lain. 

Prinsip-prinsip dasar tersebut menjadi pilar bagi tegaknya demokrasi di Indonesia yang menganut Pancasila sebagai dasar kenegaraan. Di dalam Pancasila sendiri sebagai dasar negara terdapat dualitas nilai-nilai yang saling melengkapi yakni aspek ketuhanan dan kemanusiaan sekaligus. Dari sini sebenarnya menjadi jelas bahwa tidak seharusnya mempertentangkan Islam dan Pancasila. 

Aspek ketuhanan dalam Islam dikategorikan dalam ranah ibadah (‘ubudiyah) yang telah ditentukan dalam teks-teks primer (al-Qur’an dan Hadits) yang tidak memerlukan interpretasi lagi. Misalnya ibadah yang terdapat dalam rangkaian rukun Islam seperti salat, zakat, puasa, dan haji.

Sementara itu dalam ranah sosial (muamalah), ruang untuk terciptanya interpretasi (ijtihad) sangat terbuka lebar. Dalam ranah yang terakhir (muamalah) inilah umat Islam dapat berimprovisasi dalam memaknai realitas sosial yang terus berkembang demikian pesatnya. Termasuk dalam kategori ini adalah bagaimana menciptakan konsep keberagamaan yang sehat dan moderatif dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).   

Teladan Nabi

Nabi Muhammad Saw juga berpesan bahwa orang Islam adalah 'seseorang yang mana orang lain itu merasa damai dan aman dari lisan atau tutur kata dan perbuatannya'. Dalam konteks kekinian, pesan Nabi Saw tersebut bisa dikontekstualisasikan bahwa orang Islam adalah orang-orang yang memegang dan memelihara prinsip-prinsip dan tujuan syariat (maqasid al-syariah) yang lima.

Maqasid al-syariah yang dimaksud menurut Abu Hamid al-Ghazali (2010: 275) adalah memelihara agama (hifz al-din), jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz ‘aql), keturunan (hifz al-nasl), dan harta (hifz al-mal). Sementara itu menurut Yusuf Qardhawi (2003: 63) terdapat ulama—misalnya Imam al-Qarafi—yang menambahkannya dengan pemeliharaan terhadap harga diri atau kehormatan (hifz ‘irdl). 

Jika makna sabda Nabi Saw tersebut diperluas dalam konteks kekinian, maka orang Islam adalah orang yang tidak akan melakukan kejahatan di berbagai media sosial dengan ujaran kebencian (hate speech) misalnya, menghasut, menyebarkan berita-berita bohong (hoaks), dan sikap intoleran terhadap yang lain. Karena jika ia melakukan semua itu, maka berarti ia telah menyakiti saudaranya dengan lisan dan tutur katanya. Dan tentunya, perbuatan ini sangat bertentangan sekali dengan sabda Nabi Saw tersebut.  

Puncak dari beberapa percontohan di atas adalah sabda Nabi Saw yang menyatakan 'khair al-nas anfa’uhum li al-nas', 'sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya'. Umat Islam haruslah memberikan pemahaman Islam yang komprehensif sehingga dakwahnya bisa diapresiasi oleh berbagai kalangan di luar Islam. Bukan sebaliknya, memberikan pemahaman Islam yang sepotong-sepotong dan lepas dari konteksnya.

Dari tilikan sejarah kemanusiaan yang diteladankan Nabi Saw tersebut, umat Islam bisa bercermin bagaimana membumikan Islam yang seharusnya dan sebenarnya. Nabi Saw mengajarkan kepada umatnya untuk menebarkan prinsip-prinsip dasar Islam yakni sikap proporsional dan berimbang (tawazun), toleran (tasamuh), adil (al-‘adalah), dan moderasi dalam beragama (tawassuth).

Prinsip-prinsip dasar Islam inilah yang kemudian disebarkan oleh para pengusung paham  moderasi beragama. Dalam konteks NKRI, paham moderasi beragama diusung oleh golongan mayoritas umat, misalnya NU dan Muhammadiyah yang dalam disiplin keilmuan teologi Islam dikenal dengan istilah 'al-Sawadh al-A’dham'. 

Moderasi Beragama     

Moderasi beragama yang menjadi fenomena mainstream keberagamaan umat akhir-akhir ini memang tengah mendapat ujian dan tantangan. Ujian dan tantangan ini berasal dari mereka yang coba menafsirkan dan memaknai Islam secara monolitik dan tunggal dengan menafikan tafsiran kalangan lain yang lebih dominan di mata umat. Pemaknaan tunggal ini pada akhirnya mengarah pada pemaksaan dan radikalisasi ide, wacana, gagasan, dan gerakan di ranah publik. Hal ini harus disikapi dengan serius karena terkait dengan keutuhan umat dan integritas NKRI. 

Moderasi beragama adalah pemaknaan dan pemahaman Islam yang tengah-tengah, tidak condong ke kanan (fundamentalis) atau ke kiri (liberal). Moderasi beragama bukanlah corak keberagamaan yang bebas dan tanpa aturan. Sebaliknya, moderasi beragama adalah model keberagamaan seperti yang diteladankan oleh Nabi Saw yang mengajarkan dan mendakwahkan Islam secara fleksibel dan tidak sempit dalam memaknainya. Tidak hanya tekstual semata, tapi juga menimbang konteks di mana Islam dilabuhkan.

Moderasi beragama bisa juga diterjemahkan seperti apa yang telah dikonsepsikan dan dipraktikkan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Gus Dur merumuskannya dalam konsep yang sederhana dan mudah dipahami. Menurut Gus Dur, moderasi beragama adalah Islamku, Islam Anda dan Islam Kita, sebuah perjalanan pengembaraan kehidupan yang panjang dalam memaknai dan memahami apa itu Islam.

Pengembaraan intelektual Gus Dur yang panjang itu menghasilkan dua hal sekaligus; pertama, pengalaman pribadinya yang tidak akan pernah dirasakan atau dialami oleh orang lain, dan kedua, mungkin saja pengalaman Gus Dur punya kesamaan dengan orang lain yang punya pengembaraan sendiri. 

Dari pandangan tersebut dapat disimpulkan model pemaknaan Islam yang dikenalkan Gus Dur (2006: 66-69), pertama, 'Islamku' adalah Islam yang dipikirkan dan dialami Gus Dur. Islamku perlu dilihat sebagai rentetan pengalaman pribadi yang perlu diketahui oleh orang lain, tetapi tidak dapat dipaksakan kepada orang lain; kedua, 'Islam Anda' lebih merupakan apresiasi dan refleksi Gus Dur terhadap tradisionalisme atau ritual keagamaan yang hidup dalam masyarakat.

Dalam konteks ini, Gus Dur memberikan apresiasi terhadap kepercayaan dan tradisi keagamaan sebagai 'kebenaran' yang dianut oleh komunitas masyarakat tertentu yang harus dihargai; dan ketiga, 'Islam Kita' adalah konsep integratif yang mencakup 'Islamku' dan 'Islam Anda', dan nasib kaum Muslimin seluruhnya. Tetapi persoalan mendasar dalam konteks 'Islam Kita' itu terletak pada adanya kecenderungan sementara kelompok orang untuk memaksakan konsep 'Islam Kita' menurut tafsiran mereka sendiri.   

Dengan kata lain, mereka ingin memaksakan kebenaran Islam menurut tafsirannya sendiri. Monopoli tafsir kebenaran Islam seperti ini, menurut Gus Dur bertentangan dengan semangat demokrasi. Berbeda diperbolehkan, monopoli tafsir kebenaran itu yang harus dilawan.  

Monopoli tafsir kebenaran Islam atas yang lain inilah yang dikhawatirkan akan menggerus moderasi beragama yang telah dirintis oleh para pengusungnya. Oleh karena itu, dalam pandangan K.H. Husein Muhammad (2020: 160) para pengusung moderasi beragama harus bersatu padu memberikan pemaknaan Islam yang benar. Umat Islam harus mengembangkan dan menyebarkan nilai-nilai humanisme Islam, antara lain nalar Islam moderat dan toleransi. Potret dari sebuah Islam yang damai, santun, dan menghargai yang lain. Islam yang ramah, dan bukan pemarah. Islam yang merangkul, bukan memukul.

Momentum Maulid Nabi dapat dijadikan sebagai sarana (wasilah) untuk menebar pesan-pesan kenabian (prophetics message) yang mencerahkan. Meneladani Nabi Saw tidak hanya dalam ceramah dan orasi ilmiah, tetapi juga melalui tindakan nyata dengan aksi sosial dan kemasyarakatan di ranah praksisnya. Dengan kata lain, memeringati Maulid Nabi tidak hanya sebatas seremonial belaka.

Walhasil, teladan Nabi Saw merupakan pijakan kita dalam mengusung moderasi beragama dan Islam Kita. Sebuah wajah Islam Indonesia yang berkarakter wasathiyah (moderat). 

***

*)Oleh: Moh Nur Fauzi, Dosen Institut Agama Islam (IAI) Darussalam Blokagung Banyuwangi dan Dewan Penasihat ISNU Bangorejo Banyuwangi. 

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES