Kopi TIMES

Memuliakan Guru Honorer

Senin, 25 Oktober 2021 - 15:00 | 87.13k
Gerardus Kuma, S.Pd, Gr, Guru SMPN 3 Wulanggitang, Hewa, Flores Timur.
Gerardus Kuma, S.Pd, Gr, Guru SMPN 3 Wulanggitang, Hewa, Flores Timur.

TIMESINDONESIA, FLORES – Jumat (8/10/2021), boleh jadi merupakan hari bersejarah bagi para guru honorer yang lulus test PPPK. Penantian panjang menjadi ASN selama mengabdi puluhan tahun akhirnya terjawab.

Walau pengumuman kelulusan PPPK sempat mengalami penundaan, kabar sukacita itu akhirnya datang juga. Nasip guru honorer selama ini yang terkatung-katung kini menemui titik terang. Masa depan mereka yang suram, kini menjadi lebih cerah. Di tengah pengumuman kelulusan PPPK, sebuah surat yang ditulis oleh Menteri Nadiem dan diunggah di Instagram @nadiemmakarim viral di dunia maya.

Surat tersebut ditujukan kepada Pak Sukardi, seorang guru honorer di Lombok Tengah yang pernah menjadi Bapak kos Pak Menteri ketika berkunjung ke pulau tersebut. Selain mengungkapkan rasa kagum akan pengabdian Pak Sukardi di bidang pendidikan, Menteri Nadiem dalam suratnya, juga menyatakan kebanggaan karena Pak Sukardi dan 173.329 guru honorer diterima menjadi PPPK dalam test tahap I.

Surat tersebut menggambarkan situasi guru honorer di negeri ini. 'Buah' pengabdian sebagai guru honorer telah banyak dipetik, namun nasip mereka tetap tidak menentu. Kisah Pak Sukardi pernah ditilang mantan muridnya yang kini telah menjadi polisi; perasaan minder dan bangga ketika bertemu dengan mantan murid yang telah menjadi kepala sekolah, sementara Pak Sukardi masih tetap seorang guru honorer adalah cerita pilu para guru honorer.

Kisah Pak Sukardi adalah gambaran guru honorer yang menjadi 'lilin', membakar diri untuk menerangi dunia sekitar. Saya membaca dengan penuh haru surat tersebut. Bagaimana tidak, kisah tersebut mengingatkan saya di masa menjadi guru honorer. Tidak bermaksud mendramatisir derita guru honorer, ijinkan saya membagikan pengalaman ketika masih menjadi guru honorer. 

Setelah menyelesaikan pendidikan profesi guru jalur formasi SM3T, saya menjadi guru honorer di salah satu sekolah menengah atas negeri. Pilihan ini secara ekonomi memang tidak menguntungkan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, gaji sebagai guru honorer tidak cukup. Karena itu pekerjaan lain harus dilakukan. Menjadi tukang ojek setelah pulang sekolah pun saya lakoni. Di lain waktu saya menjual kantong plastik. Juga 'menyambi' menjual koran.

Setiap guru honorer punya jejak pengabdian dengan beragam kisah. Syukur, masa pengabdian ini menjadi salah satu pertimbangan dalam pengangakatan guru PPPK. Walau sempat muncul polemik: antara mengutamakan kualitas guru versus rasa keadilan; harus memenuhi nilai ambang batas kelulusan versus lama mengabdi guru honorer, pemberian afirmasi bagi guru honorer 35+ adalah cara negara memuliakan guru honorer atas dedikasi dan pengabdian mereka dalam mencerdaskan anak bangsa.

Bangsa ini sesungguhnya berutang budi pada guru honorer. Saat negara belum mampu menjalankan amanat konstitusi: mencerdaskan kehidupan bangsa; ketika pemerintah belum mampu menyediakan tenaga guru (PNS) di sekolah-sekolah, guru honorer hadir sebagai penyelamat. Dalam sunyi mereka mengabdi penuh semangat. Dengan upah jauh dari layak.

Karena itu memberikan afirmasi bagi guru honorer yang sudah lama mengabdi tidak berarti bersikap permisif terhadap kualitas guru. Mutu guru tetap harus diutamakan. Walau demikian sikap adil harus dikedepankan.

Sebab secara faktual, persoalan mutu menimpa semua guru. Baik PNS maupun honorer. Artinya, guru yang telah menjadi PNS bukan jaminan berkualitas baik. Sebaliknya guru honorer tidak berarti kualitasnya rendah. Mutu guru tidak diukur dari status kepegawaian yang disandang. Karena itu menaikkan nilai batas kelulusan dengan dalih mengontrol mutu guru berarti menimpakan persoalan ini kepada guru honorer semata.

Berbicara tentang professionalisme guru, empat aspek menjadi rujukan. Guru yang berkualitas adalah seorang yang layak secara profesional, pedagogi, sosial dan kepribadian. Guru yang diangkat menjadi PPPK selayaknya memenuhi keempat aspek tersebut. Tetapi penentuan kualitas melalui test yang hanya mengukur kompetensi profesional dan pedagogi masih bisa diperdebatkan. 

Secara professional dan pedagogi bisa saja para guru honorer tidak memenuhi standar nilai ambang batas. Tetapi secara sosial dan kepribadian, dengan jejak pengabdian yang panjang para guru honorer telah menjadi figur teladan bagi banyak orang. 

Guru: Persoalan dan Solusinya

Persoalan dunia pendidikan yang sering mendapat sorotan adalah masalah guru. Secara umum, ada dua persoalan utama yang mendera guru. Pertama, kesejahteraan. Rendahnya tingkat kesejahteraan masih dialami guru honorer. Sudah menjadi rahasia umum bahwa guru honorer di negeri ini diupah secara tidak layak. Ada sarkasme bahwa di negeri yang kaya sumber daya alam ini, gaji seorang buruh masih lebih layak guru.

Kedua, mutu. Selain kesejahteraan, persoalan rendahnya kualitas masih mendera guru. Profesionalisme guru masih dipertanyakan. Persoalan rendahnya mutu guru selalu marak dari waktu ke waktu. Kualitas guru menjadi salah satu aspek yang mendapat sorotan terkait jebloknya mutu pendidikan. Karena kualitas guru berkaitan erat dengan mutu pendidikan. 

Kajian-kajian terkait kualitas guru membeberkan data yang memprihatinkan. Anita Li, dkk, dalam penelitian mereka terkait penguasaan bahasa dan persepsi 121 pendidik Bahasa Indonesia dan 149 pendidik Bahasa Inggris di Palembang, Yogjakarta-Sleman, Surabaya, Ruteng, Ambon dan Saumlaki menunjukkan hampir separuh sampel pendidik Bahasa Indonesia belum mampu menulis esai 3 paragraf dengan bahasa yang sesuai kaidah. Sementara kompetensi professional pendidik Bahasa Inggris hanya 24% mencapai angka 76 (Li, 2020:11-12).

Dari dua persoalan tersebut, masalah kesejahteraan mulai menemui titik terang. Pengangkatan guru honorer menjadi PPPK adalah solusi atas persoalan ini. Perekrutan guru honorer sebagai PPPK tahun ini menjadi tonggak awal perubahan nasip guru. Jumlah perekrutan guru ASN kali ini menjadi yang terbesar. Sebanyak 506.247 formasi disiapkan pemerintah pusat. Namun, jumlah yang melamar hanya 326.476 formasi. Dan formasi yang lowong tanpa pelamar sebanyak 179.771.  

Terlepas dari polemik yang menyertai pelaksanaan, PPPK adalah angin segar bagi guru honorer yang telah mengabdi puluhan tahun dan tidak memiliki peluang menjadi PNS. Apalagi dalam test kali ini, para guru diberi kesempatan hingga tiga kali. Bila pada tahap I tidak lolos, guru honorer boleh mengikuti test lagi pada tahap II dan III. Menjadi PPPK dengan gaji setara PNS, diharapkan kesejahteraan guru honorer yang selama ini memprihatinkan bisa lebih menggembirakan.

Lalu bagaimana dengan mutu guru? Untuk mengontrol mutu guru, ke depan, setelah masalah guru honorer diselesaikan, proses ini harus dimulai dari seleksi awal menjadi guru. Pembenahan masalah kualitas guru harus berawal dari hulu. Artinya di saat seleksi guru (ASN), penerapan standar kualitas yang tinggi harus diberlakukan. 

Prosesnya bisa mengikuti program SM3T yang pernah diadakan Kemdikbud saat dipimpin Anis Baswedan. Program SM3T adalah perekrutan para sarjana pendidikan untuk ditempatkan selama setahun di daerah 3T. Kemudian para peserta SM3T mengikuti pendidikan profesi guru (PPG) di LPTK. Follow up dari program ini adalah program guru garis depan (GGD) yang kini telah dimengabdi di pelosok negeri. Sayang, program ini tidak berlanjut seiring pergantian pimpinan Kemdikbud.

Mengikuti skema SM3T, perekrutan guru dilakukan oleh pemerintah pusat bekerja sama dengan pemerintah daerah. Para calon guru yang direkrut harus menjalani formasi selama setahun di sekolah. Selanjutnya mengikuti pendidikan profesi guru di LPTK. Di akhir masa belajar PPG, calon guru harus mengikuti ujian layaknya test ASN. Bila berhasil, mereka layak diterima sebagai guru ASN.

Prosesnya memang agak panjang. Tetapi bila kita ingin mendapatkan guru dengan kualitas terbaik, maka proses seleksi secara ketat harus dilakukan sejak awal. Daripada kita menerobos jalan pintas, merekrut sebanyak-banyaknya guru, tetapi akan berkutat dengan persoalan mutu pendidik di kemudian hari. Semoga.

***

*)Oleh: Gerardus Kuma, S.Pd, Gr, Guru SMPN 3 Wulanggitang, Hewa, Flores Timur.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES