Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Resesi Paradigma Pendidikan Islam

Selasa, 19 Oktober 2021 - 10:00 | 61.78k
Kukuh Santoso, M.Pd.I, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA)
Kukuh Santoso, M.Pd.I, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA)
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Setiap zaman tentu memiliki tantangan yang tersendiri. Dalam perkembangan bangsa Indonesia mulai dari orde lama menuju era orde baru dan berlanjut ke era reformasi yang seakan memberikan nuansa dan warna baru yang begitu mencolok bagi bangsa ini, khususnya pada bidang pendidikan.

Namun apa yang terjadi? Justru pendidikan di Indonesia mendapatkan problem baru, yakni lahirnya “persimpangan” kebijakan dan “jalur-jalur masalah” yang berjalan sampai saat sekarang ini. Pendidikan yang merupakan lambang dari kejayaan serta kemajuan suatu bangsa terkadang harus termarginalkan terlebih lagi pendidikan Islam yang merupakan bagian dari suatu lembaga yang berada di bawah naungan kementerian agama dan tetap terpisahkan dalam kerangka kementerian pendidikan dan kebudayaan.

Dalam sejarah, Islam telah berperan aktif dan berjasa dalam pengembangan ilmu pengetahuan terutama pada lembaga pendidikan Islam. Jika ingin melihat bagaimana Islam melakukan globalisasi terhadap ilmu pengetahuan Yunani, maka dicatat bahwa ilmu pengetahuan pernah menjulang tinggi di zaman kejayaan khalifah-khalifah Islam seperti pada masa Bani Umayyah dan Abbasiyah. Hal ini terlihat ketika puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Sejalan tentang itu lembaga pendidikan Islam semakin menancapkan gasnya ketika pemerintah mengeluarkan UUSPN pada tahun 1989 dan UU Sisdiknas yang baru disahkan dan mengakui sistem pendidikan Islam dengan menetapkan madrasah 58 sebagai ”sekolah umum” yang berciri khas agama Islam. Perkembangan lembaga pendidikan Islam semakin kuat ketika bermunculan eksperimen baru dalam meningkatkat kualitas lembaga pendidikan Islam yang terjadi sepanjang dasawarsa 1990-an.

Hampir sama dengan pendidikan umum lainnya, pendidikan Islam justru dinilai memiliki problematika yang lebih besar lagi. Di samping kendala kualitas, relevansi, elitisme, dan manajemen. Pendidikan Islam justru terkukung dalam kemunduran, keterbelakangan, ketidakberdayaan, dan kemiskinan, sebagaimana yang dialami oleh sebagian besar negara dan masyarakat Islam dibandingkan dengan mereka yang non Islam. Katakan saja, pendidikan Islam terjebak dalam lingkaran yang tak kunjung selesai yaitu persoalan tuntutan kualitas, relevansi dengan kebutuhan, perubahan zaman, dan bahkan pendidikan apabila diberi label “embel-embel Islam”, dianggap berkonotasi kemunduran dan keterbelakangan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Hingga kini pendidikan Islam masih saja menghadapi permasalahan yang komplek, dari permasalahan konseptual-teoritis, hingga persoalan operasional-praktis. Tidak terselainya persoalan ini menjadikan pendidikan Islam tertinggal dengan lembaga pendidikan lainnya, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, sehingga pendidikan Islam terkesan sebagai pendidikan “kelas dua”. Tidak heran jika kemudian banyak dari generasi muslim yang justru menempuh pendidikan di lembaga pendidikan non Islam.

Pendidikan Islam tertinggal karena penyempitan pemahaman bahwa aspek kehidupan akhirat yang terpisah dengan kehidupan dunia, atau aspek kehidupan rohani yang terpisah dengan kehidupan jasmani, agama dan bukan agama, yang sakral dengan yang profan, antara dunia dan akhirat. Cara pandang ini disebut sebagai cara pandang dikotomis.

Hingga kini pendidikan Islam masih memisahkan antara akal dan wahyu, pikir dan zikir, yang menyebabkan adanya ketidak seimbangan pola fikir, yaitu kurang berkembangnya konsep humanisme religius dalam dunia pendidikan Islam, karena pendidikan Islam lebih berorientasi pada konsep manusia sebagai hamba, ketimbang sebagai konsep manusia sebagai khalifah Allah.

Pada tataran praktis di lembaga pendidikan, pendidikan Islam dihadapkan pada 4 masalah pokok, yaitu alokasi waktu belajar sangat minim, kurikulum yang tidak berkembang, pembelajaran yang monoton, kurang perhatian dan sumber daya pendukung. Yang terjadi kemudian, pendidikan Islam hanya dipandang sebagai pelengkap, hanya sekedar menggugurkan kewajiban amanat undang-undang. Dianggap penting, tetapi bukan prioritas kepentingan. Memisahkan antara dunia dan akhirat, kehidupan dunia dan agama, menganggap urusan agama dan pendidikan Islam sebagai pengalaman pribadi adalah paham sekuler.

Jarang ada orang mau mengakui dengan jujur, sistem pendidikan kita adalah sistem yang sekular-materialistik. Biasanya yang dijadikan argumentasi, adalah UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab II Pasal 3 yang berbunyi, Pendidikan nasional bertujuan berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Paham sekularisme hanya menolak peran agama untuk mengatur kehidupan publik, termasuk aspek pendidikan. Jadi, selama agama hanya menjadi masalah pribadi dan tidak dijadikan asas untuk menata kehidupan publik seperti sebuah sistem pendidikan, maka sistem pendidikan itu tetap sistem pendidikan sekuler, walaupun para individu pelaksana sistem itu beriman dan bertaqwa sebagai individu.

Pada kenyataannya sistem pendidikan kita adalah sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Hal ini dapat dibuktikan antara lain pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI, pasal 15  tentang jalur/ jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) yang berbunyi: Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, keagamaan, dan khusus.

Dari pasal ini tampak jelas adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan Islam dan pendidikan umum. Sistem pendidikan dikotomi semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia yang berkepribadian Islam sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi.

Secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan tampak pada pendidikan Islam melalui madrasah, madrasah diniyah, pendidikan tinggi keagamaan (PTK), dan pesantren yang dikelola oleh kementerian Agama, sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Kemendikbud.

Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) dipandang sebagai tidak berhubungan dengan agama. Pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius. Agama ditempatkan sekadar sebagai salah satu aspek yang perannya sangat minimal, bukan menjadi landasan dari seluruh aspek kehidupan.

Penyelesaian problem utama ini diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekular menjadi paradigma Islam, merumuskan kembali kerangka dasar filosofis pendidikan yang sesuai dengan ajaran Islam, kemudian mengembangkan secara empiris prinsip-prinsip yang mendasari terlaksananya dalam konteks lingkungan sosial dan kultural. Filsafat Integralisme adalah bagian dari filsafat Islam yang menjadi alternatif dari pandangan holistik yang berkembang pada era postmodern di kalangan masyarakat barat. ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Kukuh Santoso, M.Pd.I, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES