Kecerdasan Emosional dalam Perspektif Pendidikan Islam
TIMESINDONESIA, MALANG – Mengenai Kecerdasan emosi, orang mampu megendalikan emosi, mengatur diri sendiri, memotivasi atau membangkitkan, memiliki simpati yang besar, dan mentalitas sosial untuk mencapai tujuan hidup. Dari sini disebutkannya bahwa memahami emosi itu penting bagi manusia. Dalam diri manusia dengan adanya kecerdasan emosi, yaitu akan membentuk karakter dan sikap manusia menjadi lebih baik. Kecerdasan emosi berperan dalam hubungan individu dan antar individu, yang dimana bertanggungjawab atas harga diri, kepekaan sosial, dan kemampuan adaptasi sosial. Kecerdasan emosional mengambil bagian dalam koneksi individu dan relasional, yang bertanggung jawab atas kepercayaan diri, aksesibilitas sosial, dan fleksibilitas sosial. Jika orang memiliki pengetahuan yang tinggi, mereka akan memahami sentimen yang berbeda secara mendalam ketika sentimen ini muncul sehingga mereka dapat melihat diri mereka sendiri. Dengan adanya kecerdasan emosional, itu akan membantu menggunakan penilaian yang baik dalam hidup seperti halnya menjaga keseimbangan antara kebutuhan individu dan kebutuhan orang lain.
Gagasan kecerdasan emosional dalam Islam secara kokoh diidentikkan dengan perspektif mulia yang sumbernya berasal dari hati, khususnya mentalitas yang baik, empati, perhatian, takut melakukan kesalahan, partisipasi, kepercayaan diri, dukungan moral, penyesuaian, penyampaian, dan benar-benar fokus pada lingkungannya. Kecerdasan emosi ini sangat berhubungan dan bersentuhan langsung dengan manusia dalam kehidupan sehari-hari, disamping itu kecerdasan emosi juga merupakan salah satu aspek yang penting untuk diungkap dan perlu dimiliki oleh manusia supaya kehidupan berjalan dengan baik. Untuk mempelajari kecerdasan emosi memerlukan pendekatan multidimensi, misalnya melalui informasi profetik dalam hadis. Karena bagi manusia, informasi profetik dalam hadis dianggap sebagai sumber kedua absolut setelah al-Qur’an yang diyakini sebagai buku manual umat Islam.
Emosi ini bila diciptakan dengan cara yang lebih luas, dapat mendorong baik dan negatif. dalam pengertian umum, emosi sering dikonotasikan sebagai suatu yang negatif atau bahkan pada beberapa budaya, emosi dikaitkan dengan marah. Padahal tidak demikian halnya, emosi-emosi tersebut apabila diarahkan kepada yang baik, maka ia akan baik pula, bahkan berkat penelitian para pakar psikologi, terdapat sejumlah keterampilan-keterampilan bagaimana agar seseorang memiliki kecerdasan emosi. Ini artinya bagaimana agar seseorang itu memiliki kecerdasan emosi yang tinggi sehingga ia dapat memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya. Sebagaimana dilansir dalam buku Emotional Intelligence karya Daniel Goleman bahwa kecerdasan emosi merupakan salah satu jaminan kesuksesan dan kebahagian seseorang dalam hidupnya, menguasai pikiran yang mendorong produktivitas mereka, orang yang tidak dapat menghimpun kendali tertentu atas kehidupan emosionalnya, akan mengalami pertarungan batin yang merampas kehidupan seseorang untuk memusatkan perhatian pada pekerjaan dan memiliki pikiran yang jernih.
Terdapat beberapa kecerdasan emosi yang telah dikemukakan oleh para ahli. Gardner misalnya, ia mengemukakan kecerdasan emosi sebagai kecerdasan pribadi, kemudian Salovey menempatkan kecerdasan pribadi Gardner ini dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosi yang dicetuskannya seraya memperluas kemampuan ini menjadi 5 wilayah utama:
- Pahami perasaan Anda sendiri. Perhatian penuh merasakan sentimen saat itu terjadi. Informasi diri mengelola bagian lain dari keberadaan seseorang. Ini sama sekali tidak mengkhawatirkan arti sebenarnya, namun mengelola komponen yang mendalam dari kehidupan seseorang.
- Mengawasi perasaan. Berurusan dengan sentimen sehingga sentimen dapat dikomunikasi kan dengan tepat adalah keahlian yang bergantung pada perhatian penuh. Dengan demikian, kapasitas untuk menghadapi badai nafsu yang dibawa oleh takdir sebagai lawan dari menjadi tawanan keinginan.
- Menginspirasi diri sendiri. Mengawasi perasaan sebagai kewajiban yang tidak menguntungkan sangat penting sejauh fokus, untuk inspirasi dan ketenangan diri, dan untuk menjadi imajinatif.
- Memahami perasaan orang lain. Simpati, yang juga bergantung pada perhatian penuh gairah, adalah "kemampuan sosial" yang mendasar.
- Membangun koneksi (kemampuan sosial). Keahlian membangun hubungan, sebagian besar, adalah keahlian mengawasi perasaan orang lain. Membangun asosiasi dengan orang lain dapat diinstruksikan, misalnya dengan bercanda yang menggabungkan berbagai data individu, mengajukan pertanyaan kepada individu, mengkomunikasikan pendapatan dan mengkomunikasikan pengakuan.
Kecerdasan emosional merujuk pada kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri serta dalam hubungan dengan orang lain. Kecerdasan emosi mencakup kemampuan-kemampuan yang berbeda, tetapi saling melengkapi dengan kecerdasan akademik, yaitu kemampuan-kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ. Banyak orang yang cerdas, dalam arti terpelajar, tetapi tidak memiliki kecerdasan emosi, ternyata bekerja menjadi bawahan orang ber-IQ lebih rendah tetapi unggul dalam keterampilan kecerdasan emosi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perbedaan yang paling penting antara IQ dan EI adalah bahwa EI tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan, sehingga membuka kesempatan bagi orang tua dan pendidik untuk melanjutkan apa yang sudah disediakan oleh alam agar anak mempunyai peluang lebih besar untuk meraih keberhasilan.
Adapun wanita yang ber-IQ tinggi bercirikan: mempunyai keyakinan intelektual yang tinggi, lancar mengungkapkan gagasan, menghargai masalah-masalah intelektual, dan mempunyai minat intelektual dan estetika yang amat luas; cenderung mawas diri, mudah cemas, gelisah dan merasa bersalah dan ragu-ragu untuk mengungkapkan kemarahan secara terbuka. Sebaliknya wanita yang cerdas secara emosional cenderung bersikap tegas dan mengungkapkan perasaan mereka secara langsung, memandang dirinya secara positif, kehidupan memberi makna bagi mereka; mudah bergaul dan ramah serta mengungkapkan perasaan mereka dengan takaran yang wajar; mampu menyesuaikan diri dengan beban stres; kemantapan pergaulan mereka mudah menerima orang-orang baru: mereka cukup nyaman dengan dirinya sendiri sehingga selalu ceria, spontan dan terbuka terhadap pengalaman sensual, jarang merasa cemas atau bersalah atau tenggelam dalam kemurungan. Seperti yang diungkapkan di atas, IQ dan EI tidak bertentangan, melainkan saling berkaitan. Gambaran-gambaran di atas tidak mungkin dimiliki oleh seseorang yang ber-IQ tinggi an sich, tidak pula oleh seseorang dengan kadar-kadar yang berbeda-beda. Jelaslah bahwa diantara keduanya, kecerdasan emosional menambahkan jauh lebih banyak sifat yang membuat seseorang menjadi lebih manusiawi.
*)Penulis: Kukuh Santoso, M.Pd.I, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Advertisement
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |