Kopi TIMES

Sisi Gelap Inovasi Pelayanan Publik Indonesia, Memilih Branding atau Kebermanfaatan Replikasi

Minggu, 17 Oktober 2021 - 09:09 | 167.36k
Rian Pramana Suwanda., S.STP., M.HP., Novelis dan Mahasiswa S-3 Pengembangan Sumber Daya Manusia Universitas Airlangga.
Rian Pramana Suwanda., S.STP., M.HP., Novelis dan Mahasiswa S-3 Pengembangan Sumber Daya Manusia Universitas Airlangga.

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Kelindan inovasi pelayanan publik yang diselenggarakan oleh berbagai tingkatan pemerintah, kementerian, lembaga, BUMN, dan BUMD di Indonesia semakin bergeliat atau setidaknya mendapat sorotan semenjak platform Sistem Inovasi Pelayanan Publik (Sinovik) diinisiasi oleh Kementerian PANRB pertama kali pada tahun 2014.

Mengawali kontestasi ide dengan 515 proposal inovasi pada tahun 2014, jumlah inovasi melonjak dramatis dari tahun ke tahun mencapai 1.184 inovasi (2015), 2.476  inovasi (2016), 3.054 inovasi (2017), 2.824 inovasi (2018), 3.156 inovasi (2019), 3.059 inovasi (2020), hingga 3.178 inovasi pada tahun 2021.

Memanggul konsep one agency one innovation, sebanyak 19.446 inovasi telah dilahirkan dalam platform Sinovik selama kurun 8 tahun terakhir. Puluhan ribu inovasi ini adalah bukti gairah intansi penyelenggara pelayanan publik di Indonesia untuk memperluas kebermanfaatan pelayanan sektor publik, sebagai milestone untuk mengembangkan layanan, atau sekedar menggapai prestige. Isyarat yang jelas, tingkatan pemerintahan di level kabupaten dan kota yang menjadi penyumbang inovasi terbesar telah menggeser akronim pemda menjadi “perlombaan daerah.” 

Fenomena klise yang telah lazim, bahwa platform ini tidak berdiri sendiri. Lahirnya inovasi yang massif dalam kandungan sinovik berdampingan dengan platform lain seperti Innovative Government Award (IGA) yang diselenggarakan oleh Kemendagri dan berbagai kompetisi lain yang mengarusutamakan inovasi oleh berbagai kementerian.

Inovasi yang digagas idealnya sebagai sebuah kebutuhan untuk membuat sektor pelayanan publik lebih efisien, efektif, dan terlegitimasi (Gieske et all, 2019) namun seringkali dianggap sebagai “magical concept” untuk merampungkan segala bentuk permasalahan. Sebuah konsep magis yang dianggap memberikan kebermanfaatan namun harus disadari juga membawa sisi gelap (Pollit, 2011). Dimensi sisi gelap inovasi terletak pada kegagalan inovasi untuk memperkuat kontribusi nilai sektor pelayanan publik kepada masyarakat (Jorgensen & Sorensen, 2012) serta lemahnya integritas dan sistem akuntabilitas yang menyebabkan pembatasan kontrol publik (Bovens et al, 2008).

Jika para penyelenggara sektor publik masih terjebak dalam naungan sisi gelap inovasi maka kita akan melangkah setidaknya pada 9 (Sembilan) petak yang akan membuat langkah kita terjerembap. Sebagaimana diklasifikasikan oleh Meijer dan Thaens (2020) dimulai dari kurangnya stabilitas, praktik ilegal, korupsi, pemborosan uang publik, tidak adanya kontrol demokratis, kerusakan inisiatif lokal, gangguan keseimbangan kekuasaan, hasil negatif bagi pemangku kepentingan, hingga dominasi teknokratis dalam proses publik.

Lalu dimanakah inovasi pelayanan publik kita berpijak?

Tidak serumit romantisme Anakin Skywalker untuk memilih menjadi Sith Darth Vader sebelum akhirnya berpaling menjadi Jedi. Memahami dimana inovasi kita akan bernaung secara sederhana dapat dipahami melalui bagaimana inovasi itu berproses meskipun jarang ditemukan linear. Terhadap 3 (tiga) tahapan besar proses inovasi meliputi (1) Pengembangan ide baru, (2) mengubahnya menjadi sesuatu yang bekerja untuk tujuan tertentu melalui prototipe dan eksperimen, implementasi, evaluasi dampak dan (3) difusi kepada publik (Tohidi dan Jabbari, 2012).

Satu kunci penting dalam tahapan inovasi yang perlu ditekankan untuk berpaling dari sisi gelap bahwa kebaruan bukan berarti tidak harus “tidak pernah terlihat sebelumnya” (Sorensen, 2020). Ironisnya, gegap gempita inovasi pelayanan publik Indonesia saling berlomba untuk menjadi yang baru, mengenalkan pembeda, dan prestige sebagai yang pertama. Fenomena ini memunculkan tren untuk mem-branding yang didominasi dengan lahirnya singkatan dan akronim yang unik, lebih unik dari keunikan inovasi itu sendiri. 

Puluhan ribu inovasi dalam platform konstestasi ide di Indonesia diduga meletakkan transferibillity sebagai entitas sampingan hanya untuk melengkapi proposal inovasi. Sedangkan kolaborasi inovasi yang diimpikan semakin terlelap dengan tebalnya dinding ego sektoral antar kementerian, lembaga, dan pemerintah di berbagai tingkatan demi pengakuan akan kebaruan. Sebuah kebiasaan yang sepatutnya kita tinggalkan jika kita benar benar ingin meletakkan kebermanfaatan dalam inovasi pelayanan publik.

Salah satu langkah penting dari Kementerian PANRB RB untuk mendorong inovator mengembangkan kolaborasi inovasi adalah melalui mekanisme replikasi. Replikasi selaras dengan konsep kebaruan inovasi yang baru dalam konteks tertentu dan inovasi cenderung merupakan adaptasi dari inovasi lainnya (Sorensen, 2020). Lebih lanjut, banyak inovasi justru dipicu oleh difusi inovasi yang dihasilkan di tempat lain (Rogers, 1995). 

Replikasi Inovasi dapat menjadi hub pemanfaatan gagasan atau eksekusi ide yang telah berhasil dari suatu daerah  ke daerah lain, dari suatu sektor ke sektor lain. Transfer inovasi selaras dengan perbaikan pembelajaran sehingga innovator selanjutnya tidak perlu membenamkan kakiknya untuk menyadari keselahan pendahulunya bahkan replikasi menjadi mekanisme terbaik untuk menguatkan inisiatif lokal.Pengembangan replikasi inovasi yang saling terhubung menjadi jejaring yang saling menguatkan kebermanfatan pelayanan publik. Kemenangan terbaik, kemenangan bersama.

Saling berlomba untuk mencetak “kebaruan” atau sekedar melafalkan “akronim unik” mengingatkan kita pada pertandingan antara Inggris melawan Skotlandia pada tahun 1872. Inggris bermain dengan formasi 1-1-8 sedangkan Skotlandia menempatkan starting eleven-nya dengan pola 2-2-6.  Terdapat 13 hingga 14 penyerang di lapangan tapi pertandingan tersebut justru berakhir 0-0. Inilah yang terjadi dalam pengembangan inovasi pelayanan publik kita, kita saling beradu lari untuk menjadi stryker yang mencetak score tapi justru hanya akan mendapatkan scoreless.

***

*)Oleh: Rian Pramana Suwanda., S.STP., M.HP., Novelis dan Mahasiswa S-3 Pengembangan Sumber Daya Manusia Universitas Airlangga.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Irfan Anshori
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES