Kopi TIMES

Fenomena Mahasiswa; Kemunduran Cara Berpikir dan Pola Gerakan

Sabtu, 16 Oktober 2021 - 23:32 | 207.59k
Muhammad Rafly Setiawan, Ketua Umum PMII Kota Palopo.
Muhammad Rafly Setiawan, Ketua Umum PMII Kota Palopo.

TIMESINDONESIA, PALOPO – Di tengah krisis multi dimensi, impact dekstruktif dari Covid-19, ternyata kian mempertegas kemunduran cara berpikir dan pola gerakan kalangan Mahasiswa. Ini membuktikan, ketidakmampuan Mahasiswa dalam mendapatkan data (akar permasalahan), mengolah informasi, menganalisis keterkaitan data dengan problem sosial, dan sampai pada ketidakmampuan menarik kesimpulan serta problem solving tak ditawarkannya.

Beberapa tahun belakangan─disadari atau tidak─polarisasi gerakan mahasiswa imbas dari kepentingan elite politik dan hanya berkutat pada issue-issue parsial dan nyaris tidak tepat sasaran. Oleh karenanya, identitas mahasiswa sebagai intelektual organik (meminjam istilah Antonio Gramsci), social control, makin kabur. Kelemahan itu terasa dari lemahnya cara menalar persoalan dan tidak menyelesaikannya pada akar persoalan tersebut, sehingga menimbulkan persoalan baru dalam kehidupan sosial.

Jika ditelisik lebih dalam, ternyata kontribusi dunia pendidikan turut mewarnai cara berpikir primitif sampai pada pengaruh psyco motoriknya. Terdapat banyak celah dalam produk hukum dunia pendidikan yang terlalu menekankan simplification-problem (menyederhakan masalah) dengan upaya yang praktis. Bahkan secara tekstual, aturan tersebut menekankan pendidikan karakter dengan upaya peningkatan kognitif (IQ, EQ dan SQ) dan dalam penerapannya masih pro terhadap status quo yang seolah-olah Sekolah ataupun Kampus lingkupnya di ruang kelas.

Penulis beranggapan, permasalahan bangsa dan negara Indonesia beberapa dekade kedapan makin kompleks dan kian kontras konflik kepentingan antar kelompok elite politik, elite pendidikan dan kelompok sosial. Barangkali anggapan ini boleh jadi salah, dan boleh jadi benar.

Karena akan penulis urai mengapa hal tersebut kemungkinan besarnya akan terjadi dan mewarnai ketidakharmonisan kelompok-kelompok sosial.
Pertama, kemalasan membaca dan minim pengalaman. Kedua, belajar dijadikan sebagai alat untuk menindas. Ketiga, iklim dunia pendidikan menekankan semangat kompetitif, bukan kolaborasi. Keempat, pendidikan masih ekslusif atas permasalahan sosial yang terjadi. Dan kelima, hampir semua elemen dalam dimensi pendidikan masih berkutat teoritik, dan nyaris pendekatan praktikum-pedagogi yang diterapkan.

Bahkan jika penulis tambahkan satu lagi, akar permasalahannya ialah privatisasi dan semua diarahkan untuk menjadi pebisnis (sebut saja prodi PAI yang melenceng jauh dari bahan ajaran, yakni mahasiswanya diserukan untuk menjadi pengusaha dan pedagang untuk membantu melariskan produk dosennya).

Beberapa faktor di atas masih dapat ditambahkan bagi pembaca sekalian. Sudah barang tentu, kelemahan tersebut dapat dimanfaatkan oleh kelompok elite untuk menjadikannya sebagai bumper agar menutupi kesalahannya. Alasannya simple, supaya Mahasiswa tetap pro terhadap status quo, baik lingkup kampus maupun mobilisasi massa lingkup pemerintahan─meminjam istilah Kang Jalal, engineering society.

Untuk itulah mengapa pola gerakan mahasiswa begitu parsial, terjadi gap antar elemen mahasiswa, dan jauh dari permasalahan sosial. Betapa pun terkotak-kotakkan kelompok intelektual sekarang, makin memperparah kondisi kebangsaan dan kenegaraan saat ini, karena didominasi dan dimonopoli oleh ambisi politik oleh kelompok penguasa.

Maka mesti disadari, mindset kaum terpelajar dikooptasi oleh ambisi, ego sektoral, dan sentimen sesama terpelajar. Ini menjadi habits─istilah dari Jean Baudrillard sebagai kebiasaan dan terbentuk pola kebudayaan manipulatif. Kata Jurgen Habermas, sulit rasanya menciptakan masyarakat komunikatif jika masih terbalut pseudo-komunikasi akibat political will and will to power. Dan elemen mahasiswa pun terjebak pada filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre bahwa segala apa yang di luar dari pada dirinya patut dicurigai karena akan menenggelamkan eksistensinya sendiri.

Sebetulnya, kebiasaan tersebut dapat didekonstruksi (Jacques Derride). Pertama, dimulai dari cara berpikir mahasiswa saat ini. Perlunya orientasi jangka panjang, visioner, dan berpegang teguh pada nilai kemanusiaan sehingga terbentuk cara pandangnya mengurai setiap permasalahan agar tindakannya tidak merugikan banyak pihak. Dari situlah akan menciptakan karakter dan identitas mahasiswanya sendiri, dan menjadi kebudayaan bagi setiap periodisasi gerakan mahasiswa yang berorientasi pada kemanusiaan, keadilaan dan kesejahteraan tanpa merugikan kalangan yang tengah diperjuangkan.

Ini membutuhkan kerja kolektif, bukan hanya mahasiswa, melainkan pembaharuan dunia pendidikan. Beberapa praktik yang sudah matang penerapannya yang sebetulnya kian memundurkan cara berpikir mahasiswa, harus segera dievaluasi dan reformasi pendidikan perlu dilakukan. Karena Bung Karno pernah menyampaikan, ketika Pancasila diperas menjadi Trisila kemudian diperas lagi menjadi Ekasila maka akan bermakna Gotong Royong.

Semangat tersebut harus dipupuk secara berkelanjutan seraya memperbaiki dengan step by step segala problem yang terjadi. Tentunya, partisipasi aktif oleh seluruh kalangan akan turut berkontribusi atas pembaharuan pola gerakan mahasiswa yang tetap memperjuangkan keadilan, kemanusiaan dan kesejahteraan.

***

*)Oleh: Muhammad Rafly Setiawan, Ketua Umum PMII Kota Palopo.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES