Kopi TIMES

Menakar Konstitusionalitas Pemilu 2024

Minggu, 17 Oktober 2021 - 01:34 | 74.80k
Nasarudin Sili Luli, Pegiat Kebangsaan dan kenegaran.
Nasarudin Sili Luli, Pegiat Kebangsaan dan kenegaran.

TIMESINDONESIA, JAYAPURA – Diketahui, hingga kini belum ada kesepakatan yang dibuat antara pemerintah, DPR, dan penyelenggara Pemilu yaitu KPU terkait tanggal pemungutan suara Pemilu 2024. Terbaru, KPU membuka opsi untuk memundurkan jadwal Pilkada yang awalnya tahun 2024 menjadi 2025.

Dari KPU sendiri membuka opsi karena merespons pemerintah yang mengusulkan jadwal Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 digelar pada 15 Mei. Apapun alasannya, memajukan atau mengundurkan jadwal dan tahapan pemilu serentak tahun 2024 hendaknya mempertimbangkan konstitusionalitas pelaksanaan pemilu serentak tahun 2024.

Menggeser ataupun memajukan jadwal pemilu berarti memaksakan konstusionalitas ketentuan jadwal pemilu dalam UU 7/2017. Padahal kita ketahui bersama DPR dan Pemerintah harus merevisi UU 7/2017 untuk merespon Putusan MK No 55/PUU-XVII/2019.

Adapun MK memberikan enam opsi Pemilu serentak yang bisa diimplementasikan dan dinilai konstitusional berdasarkan UUD 1945, yaitu: (1) Pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, serta Presiden-Wakil Presiden; (2) Pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden-Wakil Presiden, Gubernur, dan Bupati/Wali Kota; (3) Pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden-Wakil Presiden, anggota DPRD, Gubernur dan Bupati/Wali Kota. (4) Pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden- Wakil Presiden. Selang beberapa waktu kemudian dilaksanakan Pemilu serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/ Kota, Gubernur, dan Bupati/Wali Kota; (5) Pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden-Wakil Presiden, selang beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilu serentak Provinsi untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan memilih Gubernur, kemudian selang beberapa waktu lagi dilaksanakan Pemilu serentak Kabupaten/Kota untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota dan memilih Bupati/Wali Kota; (6) Pemilu serentak jenis lain sepanjang Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden-Wakil Presiden digelar bersamaan.

Proglenas 

Mahkamah Konstitusi sudah menawarkan enam model keserentakan. Jadwal pemilu menjadi konstitusional ketika DPR dan Pemerintah sudah memilih model tersebut melalui revisi undang-undang atau melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu). Kita ketahui bersama bahwa status undang-undang pemilu masih bagian dari Proglenas 2020-2024. Undang-undang pemilu memang pernah dicabut dari Undang-Undang Prioritas 2021 tetapi sampai dengan saat ini masih menjadi bagian dari undang-undang proglenas 2020-2024.

Apakah menggeser ataupun memajukan jadwal pemilu bisa dilakukan tanpa merevisi undang-undang pemilu? Jika tetap dilakukan penjadwal sesuai dengan opsi yang ditawarkan oleh KPU dan Pemerintah, artinya pergeseran jadwal pemilu yang diupayakan DPR dan Pemerintah dengan penyelenggara pemilu lebih bergantung pada dasar hukum yang lebih renda yaitu peraturan KPU yang lebih teknis. Padahal dalam Penjelasan Pasal 7 ayat 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, yang dimaksud dengan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah penjenjangan didasarkan asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Asas tersebut sesuai dengan Stufen Theory atau Teori Tangga dari ahli hukum Hans Kelsen dalam General Theory of Law and State (1945). Maka pada konteks pergeseran ataupun memajukan jadwal pemilu harus mengacu pada undang-undang pemilu dengan mepertimbangkan putusan MK terkait enam model keserentakan pemilu tahun 2024. Jika pemilu tetap memenuhi konstitusionalitas maka ketentuan jadwal pemilu dalam UU7/2027  DPR dan Pemerintah harus merevisi UU 7/2027 untuk merespon putusan MK No 5 /PUU-XVII /2019.

Pembentukan Peraturan  Perundang-Undangan

Undang-undang pemilu memang sudah di cabut dari UU prioritas 2021, tapi masih menjadi UU proglenas, Ini bisa bertentangan dengan semangat undang-undang 12/2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Pada dasarnya, suatu peraturan perundang-undangan atau ketentuan dalam peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut oleh peraturan perundang-undangan yang setara, misal: Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mencabut Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sebagaimana dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 102 UU 12/2011 berikut ini:

“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.”

Di sisi lain, jika kata dicabut dimaknai sebagai keadaan ketika suatu peraturan perundang-undangan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka sebuah “pencabutan” bisa dilakukan pelaku kekuasaan kehakiman atau pengadilan yang memiliki yurisdiksi untuk melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan tersebut. Untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang (“UU”) terhadap UU diajukan ke Mahkamah Agung (Pasal 24A ayat [1] UUD 1945), sedangkan untuk menguji UU terhadap UUD 1945 diajukan kepada Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C ayat [1] UUD 1945). Pengadilan-pengadilan tersebut dapat menyatakan bahwa suatu perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dari pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa ada dua cara untuk menyatakan suatu peraturan perundang-undangan, dalam hal ini UU, tidak berlaku. Apabila dalam keadaan yang pertama, yang berhak mencabut UU pemilu  adalah yang memiliki kewenangan untuk membentuk UU, yaitu DPR bersama Presiden. Apabila suatu UU sudah mencabut UU sebelumnya, maka secara langsung UU yang dicabut tidak berlaku lagi begitu UU yang baru mulai berlaku.

Dalam konteks persoalan diatas bahwah merupakan keniscayaan pemilu Indonesia terus melakukan pembenahan dalam hampir semua aspek penyelenggaraan. Pembenahan mulai dari kerangka hukum yang semakin tegas, kelembagaan yang semakin kokoh, maupun instrumen keadilan yang elektoral yang didesain lebih komprehensif.

Dalam konteks merespon kebutuhan payung hukum yang lebih komprehesif dan mempunya landasan konstitusional yang bisa di pertanggung jawabkan ,menurut hemat penulis untuk mengganti UU Pemilu bisa di terbitkan  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) adalah suatu Peraturan Perundang-Undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam keadaan genting atau memaksa. Dalam hal ini juga  Mahkamah Konstitusi memberikan hal apa saja yang diperlukan apabila dibutuhkan suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 Perppu diperlukan apabila: 1. Adanya keadaan atau kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; 2. Undang-Undang tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; 3. Kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang lama sedangkan keadaan mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Sehingga menurut hemat penulis adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan persoalan hukum secara cepat, belum ada undang-undang atau suda ada UU tetapi belum memadai serta kekosongan hukum tidak dapat di atasi dengan membuat undang-undang.

Terakhir untuk menjawab keputusan MK untuk memenuhi konstitusionalitas dan legalitas pemilu, maka ketentuan jadwal pemilu untuk merespon putusan MK No 5 /PUU-XVII /2019 harus dengan di terbitnya Perpu pengganti UU pemilu bukan peraturan teknis KPU yang setara PKPU. (*) 

 

***

 

*) Oleh: Nasarudin Sili Luli, Pegiat Kebangsaan dan kenegaran.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES