Kopi TIMES

Kita Sendiri Penentu Kualitas Informasi di Media Sosial

Jumat, 15 Oktober 2021 - 01:13 | 79.28k
Rizky Ridho Pratomo: Penulis adalah Kepala Departemen Riset di Yayasan Energi Bogor Indonesia. Penulis juga seorang content writer dan penulis lepas.
Rizky Ridho Pratomo: Penulis adalah Kepala Departemen Riset di Yayasan Energi Bogor Indonesia. Penulis juga seorang content writer dan penulis lepas.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Di masa sekarang ini, informasi bukan barang mahal. Ia sangat mudah didapatkan, bahkan melimpah ruah, termasuk di media sosial.

Sebagai contoh, kita bisa mendapatkan informasi soal lowongan pekerjaan dan berita terkini dari Facebook, TikTok, WhatsApp, Twitter, ataupun Instagram. Maka dari itu, wajar apabila media sosial menjadi sumber informasi masyarakat. Menurut Katadata Insight Center 2020, 76 persen masyarakat kita mencari informasi melalui media sosial.

Kalau didetailkan apa saja media sosialnya, Digital News Report 2021 mengungkapkan bahwa WhatsApp menjadi sumber berita masyarakat Indonesia dengan persentase 60 persen. Disusul dengan YouTube (46 persen), Facebook (42 persen), Instagram (38 persen), dan Twitter (22 persen). Apalagi, pengguna media sosial kita saat ini sudah semakin banyak, yaitu 170 juta orang menurut data We Are Social dan Hootsuite tahun 2021.

Sayangnya, informasi yang melimpah di media sosial tidak dibarengi dengan kualitas informasi. Tidak sedikit informasi di media sosial itu tidak benar. Akibatnya, media sosial jadi lumbung yang subur untuk berita hoaks. Mastel tahun 2019 menemukan bahwa media sosial menjadi sumber hoaks dengan angka 87,5 persen. Lalu, aplikasi chatting mengikuti di belakang dengan 67 persen. Reuters tahun 2021 juga menemukan bahwa 28 persen masyarakat khawatir dengan berita-berita yang ada di Facebook. Sebanyak 15 persen khawatir dengan berita yang ada di aplikasi chatting.

Dengan media sosial yang bagai pedang bermata dua, pertanyaannya adalah masih tepatkah mengandalkan media sosial sebagai sumber informasi bagi kita? Ini tidak bisa dijawab semudah kita berkata ‘ya’ atau ‘tidak’ karena ada banyak faktor yang memengaruhinya. 

Apalagi, jika bicara media sosial, kita tahu sekarang ada fenomena echo chamber dan algoritma filter bubble. Keduanya saling berkaitan. Misalnya, ketika kita sering mencari informasi soal konspirasi COVID-19, algoritma di media sosial akan menyaring informasi berdasarkan riwayat pencarian, comment, likes, dan share yang membuat mereka bisa memprediksi konten dan juga pengguna apa yang sesuai dengan karakter pengguna. Akibatnya, kita terisolasi secara intelektual.  

Namun, fenomena ini secara implisit menyalahkan algoritma media sosial. Apakah kita mulai meletakkan pemahaman kalau teknologi menjadi deterministik? Kalau pemahaman kita seperti itu, berarti penyebab seseorang hanya mengetahui satu sudut pandang adalah karena algoritma di media sosial. Dengan kata lain, kita menempatkan teknologi sebagai subjek yang patut dipersalahkan 

Tetapi, pemikiran tersebut agaknya kurang tepat. Teknologi hanyalah instrumen, begitu juga algoritma. Algoritma tidak bisa bekerja tanpa adanya data. Dari mana algoritma mengetahui preferensi individu selain dari aktivitas berselancar, likes, comment, share, dan lain-lain? Aktivitas yang kita lakukan inilah yang menjadi data yang diproses oleh algoritma. Dari data tersebut, algoritma bisa memprediksi konten apa yang kita sukai. 

Karena algoritma tergantung data, berarti disini kita punya pilihan apakah menyebarkan informasi positif atau meneruskan berita hoaks, apakah membaca informasi yang sesuai sama keyakinan atau mendiversifikasi sumber bacaan. Data apa yang kita beri ke algoritma media sosial itu kita yang menentukan. 

Namun, pilihan yang kita ambil tentu ada konsekuensi dan tanggung jawabnya. Kita harus lebih cermat dan kritis terhadap informasi yang kita bagikan dan terima. Apalagi, informasi di media sosial tidak punya kaidah jurnalistik sehingga membutuhkan kerja ekstra untuk memverifikasi informasi yang didapat.

Oleh karena itu, sikap kritis, berpikiran terbuka, dan kerendahan hati intelektual menjadi kunci agar kita tidak terjebak dalam ‘ruang gema’ kita sendiri.

***

*) Oleh: Rizky Ridho Pratomo: Penulis adalah Kepala Departemen Riset di Yayasan Energi Bogor Indonesia. Penulis juga seorang content writer dan penulis lepas.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES