Kopi TIMES

Yakin Pancasila Sudah Final ?

Rabu, 13 Oktober 2021 - 12:33 | 163.87k
https://cdn.timesmedia.co.id/images/2021/10/13/Antono-Wahyudi.jpg
https://cdn.timesmedia.co.id/images/2021/10/13/Antono-Wahyudi.jpg

TIMESINDONESIA, MALANG“ Apakah Pancasila bisa menerima budaya dan perspektif luar tanpa menghilangkan nilai-nilai Pancasila itu sendiri? ”

Pertanyaan seorang kawan saya ini bisa kita rumuskan ulang, “Apakah Pancasila harus menyesuaikan dengan perkembangan zaman ataukah sebaliknya?”. Pertanyaan yang lebih populer lagi berbunyi, “Apakah Pancasila sudah final?”. 

Proposisi “Pancasila sudah final” pernah dilontarkan oleh Presiden Jokowi. Tak sedikit masyarakat yang menentang pernyataan tersebut kendati banyak juga yang mendukungnya. 

Terlepas dari mempersoalkan paradigma dikotomistik, jika kita mencintai Pancasila, maka kita harus menolak budaya, paham dan perspektif yang datang dari luar. Dilematisnya, sebagai anak zaman, tak bisa dipungkiri bahwa kita sama-sama butuh “menikmati” budaya dan perspektif luar itu. 

“ Lantas, benarkah Pancasila itu sudah final? Ataukah belum final dan tak akan pernah bisa final? Bagaimana sesungguhnya kedudukan Pancasila? ”

Pertama-tama, Pancasila merupakan sebuah ideologi yang bersifat terbuka. Persoalan “ideologisme” ini bisa saya bahas di lain kesempatan karena memang Bung Karno sendiri maupun anggota BPUPK lainnya tak pernah terucap bahwa Pancasila merupakan sebuah ideologi.

Pancasila tidak diciptakan oleh sekelompok orang atau elit politik tertentu yang sedang berkuasa sebagaimana yang dilakukan oleh ideologi tertutup. 

Bung Karno dan kawan-kawan menyadari dan menemukan nilai-nilai Pancasila di dalam laku hidup manusia Indonesia. Dengan kata lain, nilai-nilai Pancasila sesungguhnya sudah membumi karena berasal dari rakyat itu sendiri. Nilai-nilai ini menjadi dasar kebutuhan manusia Indonesia.

Satu hal penting dari Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah sifatnya yang akomodatif terhadap masyarakat yang majemuk. Jika ideologi tertutup melahirkan dan memperjuangkan masyarakat yang homogen (karena sifatnya yang totaliter), maka ideologi terbuka menghormati dan memperjuangkan kebebasan individualitasnya. 

Sampai di sini ciri dasar ideologi terbuka sudah bisa mengantar kita pada jawaban bahwa Pancasila justru membuka diri terhadap budaya dan perspektif luar. 

“ Kalau Pancasila bisa menerima budaya dan perspektif luar, bukankah hal itu bisa mengakibatkan lunturnya nilai-nilai Pancasila itu sendiri? ” 

Nilai-nilai Pancasila itu merupakan narasi besar. Tetapi suatu narasi yang berbeda dengan narasi dalam bentuk “isme-isme” lainnya. Sebagai contoh, narasi besar “kapitalisme” berbeda dengan narasi “keadilan” dalam Pancasila. Kapitalisme tidak akan membuka diri pada ideologi selain kapitalisme. Komunisme juga tidak berminat pada konsep bisnis kapitalis. Eksklusivisme dengan demikian hidup baik secara sadar maupun tidak di dalam kesadaran narasi seperti demikian.

“ Bagaimana dengan Pancasila? ” 

Pancasila merupakan nilai (“value”) yang bersifat universal-abstrak. Sedangkan “isme-isme” seperti kapitalisme, komunisme, fasisme, bahkan rasionalisme serta empirisme, dlsb. merupakan paradigma yang bersifat partikular-konkrit. 

Paradigma komunisme atau kapitalisme, misalnya, memiliki sistem tata-tertib yang bermakna tunggal serta bersifat operasional dan spesifik. Sedangkan nilai “keadilan” dalam Pancasila memiliki makna yang tidak tunggal dan karena itu dapat melingkupi seluruh dimensi historisitas-antropologis.

“ Menurut saya itu penjelasan yang terlalu abstrak. Bisa diberi contoh konkrit? ”

Bila berbicara dalam konteks ekonomi, anggaplah makna “keadilan” yang benar dalam sila ke-5 hari ini adalah kebebasan untuk menyejahterakan diri tetapi juga harus membantu orang yang membutuhkan. Bisa jadi di masa depan, yang benar tentang “keadilan” adalah terciptanya konsep “sama rata sama rasa” (tidak ada kebebasan untuk menyejahterakan diri sendiri). 

Dalam sila ke-2, mendidik anak yang baik di zaman generasi terdahulu adalah dengan bersikap tegas dan keras secara fisik. Hari ini, mendidik anak dengan cara yang keras secara fisik justru akan berhadapan dengan hukum yang disepakati bersama.

Pemaknaan dari nilai “keadilan” dan “kemanusiaan” bisa berubah menurut zaman dan bahkan tak jarang berbeda satu dengan yang lainnya. Akan tetapi, nilai-nilai itu sendiri tetap, tidak berubah. Inilah yang dimaksud dengan sifatnya yang universal-abstrak. Dengan demikian, jika budaya dan perspektif luar masuk ke Indonesia, nilai-nilai Pancasila tidak akan pernah hilang kendati kita menerimanya sebagai suatu asupan kekayaan kehidupan.

“ Berarti Pancasila itu memang benar sudah final!? ”

Jika ditempatkan pada konteks politik identitas akhir-akhir ini, di mana terdapat ormas-ormas yang diam-diam hendak menumbangkan Pancasila, maka pernyataan “Pancasila sudah final” perlu dimaklumi kebenarannya sebagai “defense-mechanism”. Kita patut menudukungnya jika kita sepakat dan membutuhkan Pancasila sebagai Dasar Negara. 

Meskipun demikian, bila pernyataan tersebut diletakkan dalam konteks sebuah diskursus seperti yang saya uraikan, maka menjadi tidak cukup relevan. Sebab, nilai-nilai Pancasila sesungguhnya tidak pernah diciptakan, melainkan sudah ada dalam kesadaran, menyatu bersama nafas kehidupan manusia Indonesia.
    
“ Saya mengerti. Dengan kata lain, mengapa mengatakan bahwa Pancasila sudah final atau belum final jika memang dari dulu sudah hidup dengan sendirinya ‘tanpa’ harus diciptakan? Ya tidak!? ”

Senang sekali ketika kawan saya ini memahami penjelasan panjang lebar yang barangkali tidak begitu mudah dipahami bagi seseorang yang berlatar belakang ilmu eksakta.

“ Baik. Masalahnya, bukankah ketika setiap orang bisa menafsirkan atau memaknai Pancasila akhirnya bisa terjerumus pada relativisme? Setiap orang mendaku dirinyalah yang paling benar memaknai Pancasila. Ujung-ujungnya konflik. ”  

Bung Karno pernah mengingatkan kita dalam pidato 25 Juni 1966 di Istana Bogor, beberapa penekanannya antara lain, “Saya berpesan, kalau sudah memakai Pancasila, saya harap Pancasila yang betul-betul Pancasila, lo! Sebab, perkataan Pancasila itu sekarang ini banyak dikecapkan. Tiap-tiap orang sekarang ini menebah dadanya; aku Pancasilais, aku pengikut Pancasila, aku membela Pancasila, aku Pancasilais!”.  

Salah satu persoalan bangsa Indonesia yang krusial hari ini justru berada pada kualitas pemaknaan. Pertanyaan penting yang sekaligus bisa menjawab keresahan kawan saya ini adalah bagaimana Pancasila bisa menyesuaikan dengan zaman sehingga bisa terbuka pada modernisasi?

Bung Karno mengajarkan kepada kita melalui pidato 1 Juni 1945 di hadapan sidang BPUPK yang salah satu penggalannya berbunyi, “ Philosophische Grondslag itulah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.”  

Kata kunci penting dari penggalan kalimat tersebut adalah proposisi “yang sedalam-dalamnya”. Artinya, makna Pancasila memiliki kedalaman yang tak dapat diukur sekaligus dibayangkan, karena begitu kaya akan nilai-nilai luhur, ribuan dan bahkan jutaan mutiara Pancasila tersebar di Nusantara.

Jika makna Pancasila tersebar dengan kedalaman yang tak terukur, maka konsekuensi logis sebagai orang Indonesia adalah untuk melanjutkan penggalian yang telah dimulai oleh para pendiri bangsa. Adalah kewajiban kita bersama menggali makna Pancasila berdasarkan konteks globalisasi, modernisasi yang mendominasi di era digitalisasi.

“ Setuju! Akan tetapi relativisme pemaknaan Pancasila akan tetap ada kendati setiap orang sadar akan kewajiban untuk menggali makna Pancasila. Bagaimana persoalan ini dapat teratasi?¬ ”

Memang tidak mudah. Pergerakan yang dilakukan dari akar rumput sudah berjalan di berbagai daerah. Ada komunitas Pustaka Harjuna, Gerakan Pembumian Pancasila (GPP), Komunitas Pancasila Muda dan komunitas-komunitas lainnya, serta pusat-pusat studi Pancasila yang ada di berbagai kampus. Beberapa diantaranya telah menjalin relasi dan koordinasi dengan Pemerintah. Semuanya memiliki kepedulian dan kecintaannya terhadap Pancasila.

Alangkah indahnya jika gerakan dari komunitas-komunitas tersebut hingga pemerintah sepakat untuk fokus pada satu hal, yaitu persoalan pemaknaan yang kontekstual terhadap Pancasila. Tidak muluk-muluk bukan? Meskipun tidak mudah, karena itulah butuh prioritas yang terfokus pada persoalan yang sangat mendasar.

Membumikan Pancasila akan menjadi sia-sia bilamana masing-masing memiliki pemaknaan terhadap Pancasila yang berbeda-beda. Toh, kedudukan Pancasila bukan di langit, karena memang sudah ada dalam sanubari kultur manusia Indonesia.

“ Bukankah hal itu yang terjadi hari ini? Sila ’Ketuhanan Yang Maha Esa’, misalnya, kerap dipahami dengan cara yang tidak kontekstual sehingga menganggap sila tersebut hanya cocok untuk agama tertentu saja. ”

Jika Pemerintah bisa menanggapi hal ini secara serius dan menggerakkan secara sistematis seluruh elemen masyarakat, apalagi ketika persoalan pemaknaan Pancasila ini diakomodasi di dalam kurikulum pendidikan nasional, maka dalam jangka penjang persoalan radikalisme, terorisme, korupsi, kesenjangan sosial dan perpecahan antargolongan dapat diminimalisir secara efektif. Minimal untuk membangun kesadaran generasi muda Indonesia yang kokoh sebagai penerus bangsa yang akan datang.

Sementara itu, tugas kita adalah tetap bergerak menggali makna yang sudah cukup lama terkubur di dalam sanubari kultur manusia Indonesia, kemudian mendiskusikan, menyempurnakan dan mengimplementasikan makna Pancasila itu di dalam kehidupan sehari-hari. Sekali lagi tak mudah melakukannya. Tetapi itu sudah lebih dari cukup.* 

Salam Pancasila !!!

*) Penulis: Antono Wahyudi, S.S., M.Fil. adalah Pengelola & Pengajar Mata Kuliah Umum Koordinator Pusat Pendidikan Karakter & Kepemimpinan Universitas Ma Chung

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES