Kopi TIMES

Membaca Partai Ummat

Rabu, 13 Oktober 2021 - 11:31 | 72.08k
Moh. Syaeful Bahar, adalah Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya dan Tim Ahli DPRD Bondowoso
Moh. Syaeful Bahar, adalah Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya dan Tim Ahli DPRD Bondowoso

TIMESINDONESIA, SURABAYASUATU saat, saat kuliah sedang berlangsung, seorang mahasiswa bertanya pada saya. Tentang Pak Amin Rais yang memutuskan keluar dari PAN dan mendeklarasikan Partai Ummat. Pertanyaanya bertubi-tubi, tersusun rapi, sangat sistematis dan kadang diselingi dengan pertanyaan-pertanyaan yang lucu. Misal pertanyaan, “kira-kira Partai Ummat ini masuk kategori Partai Allah atau Partai Setan Pak?”, pertanyaan ini merujuk pada tipologi partai yang dipopulerkan Pak Amin Rais menjelang Pilpres 2019 kemaren.

Beberapa pertanyaan tersebut di antaranya, apa motivasi utama Pak Amin Rais mendirikan partai? Apa ideologi utama yang akan dipilih oleh Partai Ummat, apakah sama dengan PAN yang moderat dan terbuka, atau lebih ekslusif dan cenderung pada Ideologi Islam kanan? Apakah keluarnya Pak Amin Rais dari PAN akan berdampak serius pada suara PAN di Pemilu 2024? Apakah Partai Ummat akan bisa mendapatkan pengesahan dari Kemenkumham? Dan apakah Partai Ummat dapat melakukan konsolidasi dengan baik sehingga bisa lolos di  ambang batas parlemen (parliementary threshold) di Pemilu 2024?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut bukan diajukan oleh seorang mahasiswa saja, tapi beberapa orang mahasiswa. Mereka saling saut menyaut, sambung menyambung dan saling menimpali.  Hal ini, paling tidak, dapat menjadi bukti bahwa Partai Ummat atau Pak Amin Rais masih mencuri perhatian, memiliki nilai berita di mata mahasiswa. Mereka mengikuti, mereka membaca dan mulai berani bertanya serta mendiskusikan masa depan Pak Amin Rais di pentas politik nasional serta mempertanyakan nasib PAN dan masa depan Partai Ummat.

Ini pertanda bagus. Bahwa Partai Ummat berhasil menghiasi media massa dan media social. Itu atinya, popularitasnya Partai Ummat cukup bagus. Berbeda dengan partai-partai baru lainnya yang tak berhasil mencuri perhatian rakyat. Partai-partai baru itu tak pernah dilirik dan jadi bahan diskusi rakyat Indonesia.

Membaca Partai Ummat

Sebagai dosen, tentu saya senang dengan berbagai pertanyaan kritis dan sistematis semacam ini. Saya merasa berhasil memancing forum atau kelas saya menjadi dinamis dan kritis. Sebagai dosen saya tak boleh terlalu dominan, mendominasi dan memutus diskusi dengan jawaban-jawaban secara langsung dari sudut pandang saya. Saya tetap harus berada di tengah, menjadi fasilitator dan moderator agar diskusi terus mengalir.

Dari diskusi kelas yang terjadi, beberapa analisis dan kesimpulan menarik dapat sedikit menjawab prahara dan kegaduhan yang terjadi pada Partai Ummat saat ini. Sebagaimana diketahui bersama, bahwa Partai Ummat sedang mengalami torbulensi keras di internal partai. Artinya, beberapa kesimpulan dari kelas yang saya asuh tersebut, dapat menjadi jawaban dan gambaran atas persoalan yang sekarang melilit Partai Ummat.

Kesimpulan pertama bahwa Partai Ummat lahir dari kekecewaan. Terutama kekecewaan Pak Amin Rais yang telah “dikalahkan” oleh besan dan kadernya sendiri, Zulkifli Hasan. Pak Amin Rais pasti kecewa dan sakit. Sebagai pendiri PAN, Pak Amin Rais harus mengakui kekalahan dalam Kongres PAN ke 5. Calon Pak Amin Rais, Mulfachri Harahap kandas. Peserta kongres masih memilih dan mendukung Zulkifli Hasan. Konsolidasi yang dilakukan Pak Amin Rais untuk mobilisasi dukungan pada Mulfachri Harahap tak efektif mengubah sikap DPW dan DPD PAN pendukung Zulkifli Hasan. Sebagian pengamat menyimpulkan bahwa pengaruh Pak Amin Rais tak lagi besar di hadapan kader-kader PAN.

Namun sebagai seorang politisi senior, Pak Amin Rais tak ingin berlalu lama dengan kekalahan, apalagi, Pak Amin Rais sadar dan tahu tentang besarnya dukungan padanya. Sebagai tokoh reformasi, sebagai mantan ketua PP. Muhammadiyah serta mantan Ketua MPR, Pak Amin Rais masih sangat percaya diri untuk bangkit dan membuktikan bahwa dirinya belum berakhir, pilihan paling rasional untuk membuktikan adalah membuat partai baru. Motivasi kecewa dan upaya membuktikan diri adalah dua motif utama Pak Amin Rais, tentu selain motif “perjuangan” sebagaimana klaim para pendukungnya.

Terkait ideologi menjadi perdebatan yang tak mudah, forum kelas menjadi hangat dan hidup, maklum, karena saat diskusi kelas dilakukan, Partai Ummat belum terdaftar di Kemenkumham dan AD/RT partai belum dapat dibaca secara terbuka oleh khalayak. Namun, dari pembacaan kelas, dari hasil diskusi, masuknya beberapa nama semisal Nemo Warisman dan MS Kaban, forum kelas dapat menarik kesimpulan bahwa Partai Ummat tak akan seinklusif PAN di awal lahirnya. Partai Ummat pasti akan lebih bergerak ke kanan, ke ideologi Islam formal sebagaimana PKS.

Tentang dampak keluarnya Pak Amin Rais dari PAN dan berdirinya Partai Ummat pada eksistensi PAN, forum kelas bersepakat dalam satu kata, pasti berdampak, pasti berpengaruh,  pasti suara PAN akan tergerus. Bagaimanapun, Pak Amin Rais memiliki sejarah yang panjang di  PAN dan memiliki kader-kader militan di berbagai daerah, sehingga, para kader dan para militan ini akan bergerak massif melakukan migrasi dari PAN ke Partai Ummat. Dan, prediksi forum kelas terbukti hari ini. Suara PAN terus terjun meroket ke bawah. Jauh tertinggal dari PKS dan PKB, dua partai yang sama-sama memiliki basis pemilih Islam santri.

Diskusi kembali menghangat ketika forum kelas harus menjawab pertanyaan tentang apakah Pak Amin Rais dapat melakukan konsolidasi partai dengan baik. Sebagian mahasiswa mengatakan bisa, namun sebagian mengatakan tidak. Saya sendiri, sejak awal berada di pilihan tidak. Saya yakin Pak Amin Rais akan kesulitan melakukan konsolidasi. Kenapa? Karena mereka yang berada di Partai Ummat tidak memiliki kesamaan pandangan yang kokoh, mereka terdiri dari beberapa orang yang memiliki latar belakang yang berbeda. Terutama mereka yang “tak memiliki” literasi politik yang cukup bagus akan terkaget-kaget dengan realitas politik yang tak bisa hitam putih. Keluarnya Neno Warisman dan beberapa kader yang lain adalah bukti, bahwa orang semacam Neno Warisman belum siap menjadi politisi.

Orang semacam Neno Warisman tak akan sanggup mengkompromikan antara idealisme atas nama agama dan realitas politik yang selalu mengedepankan kompromi-kompromi untuk menemukan titik temu yang  win win solution. Terlebih, ketika pemahaman agama yang dimiliki oleh Neno Warisman cenderung taksonomik, hitam putih.

Perbedaan banyak kepentingan, banyak warna ideologi serta cara pandang tentang realitas politik ini yang menjadi problem utama dari konsolidasi Partai Ummat. Bagaimanapun, partai yang kuat dan kokoh hanya akan terbentuk ketika persoalan ideologi dan cara pandang telah menjadi sebuah kesepakatan para kadernya, tanpa itu, hampir bisa dipastikan, partai tak akan bertahan lama.

Membaca Peluang Partai Ummat

Di akhir diskusi, forum kelas mempertanyakan masa depan Partai Ummat, mempertanyakan bagaimana peluang Partai Ummat di Pemilu 2024. Dari diskusi yang telah memakan waktu hampir dua jam tersebut, para mahasiswa menyimpulkan tentang pesimisme. Mereka tak yakin bahwa Partai Ummat akan bisa tampil memukau di Pemilu 2024 dan lolos dari ambang batas parlemen (parliementary threshold).

Sayapun mendukung kesimpulan teman-teman mahasiswa tersebut. Tentu sebagai dosen saya harus memperkaya diskusi menjadi lebih bermutu. Sayapun  mencoba untuk menggiring mahasiswa membaca segmentasi pemilih yang akan digarap oleh Partai Ummat. Dengan platform partai yang ada, dengan ideologi yang diusung dan bahkan orang-orang yang bergabung di dalamnya, saya katakan, Partai Ummat tak akan bisa melampui PKS, PAN dan PPP, tiga partai yang memiliki irisan pemilih yang serupa dengan Partai Ummat.

Para pemilih yang cenderung mengusung ideologi Islam, terutama mereka yang ada di kota, para Islam urban, akan lebih cocok dan nyaman dengan PKS. Mereka cenderung puas dengan kinerja PKS yang senantiasa memperjuangkan formalisme Islam dan selalu menunjukkan komitmen pada perlawanan pada rezim Jokowi yang mereka nilai lebih dekat dengan China. Artinya, Partai Ummat tak akan bisa merebut segmen pemilih Islam urban-formal ini dari PKS.

Partai Ummatpun tak akan mudah merebut kelompok pemilih Islam formal di pesantren dan pedesaan. Banyak di antara para pengasuh pesantren dan masyarakat desa yang trauma dengan prilaku Pak Amin Rais yang menjadi motor penggulingan Gus Dur. Bagaimanapun, mereka para kiai dan masyarakat di desa, masih sangat menghormati Gus Dur sebagai cucu pendiri NU, Hadratus Syeh KH. Hasyim As’ari serta sebagai mantan ketua PBNU. Segmen pemilih Islam formal di pesantren dan pedesaan ini, hemat saya, akan tetap menjatuhkan pilihannya ke PPP.

Partai Ummat juga tak akan mudah mendekat dan merebut segmen pemilih Muhammadiyah. Masyarakat Muhammadiyah masih terikat secara emosional dengan PAN. Bagaimanapun, PAN lahir dari kader-kader terbaik Muhammadiyah. Para pemilih Muhammadiyah ini, terutama kader-kader Muhammadiyah yang berhaluan moderat, akan kesulitan menerima ideologi Partai Ummat yang cenderung ekslusif.

Walhasil, masa depan Partai Ummat tidaklah mudah, Pak Amin Rais dan para kader Partai Ummat harus sekuat tenaga melakukan kerja-kerja konsolidasi dengan rapi, terutama di internal partai dan sebisa mungkin menghindari konflik internal yang terbuka sebagaimana kasus keluarnya Neno Warisman dan kawan-kawan. (*)

*) Moh. Syaeful Bahar, adalah Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya dan Tim Ahli DPRD Bondowoso

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES