Peristiwa Nasional

Bursa Pencalonan Ketum PBNU, Ini Pandangan Wakil Ketua PW GP Ansor Jateng

Selasa, 12 Oktober 2021 - 13:37 | 72.43k
KH. Said Aqil Siradj (Kiai Said) dan KH. Yahya Kholil Staquf (Gus Yahya) duduk bersama dalam sebuah forum. (Dok. PBNU) 
KH. Said Aqil Siradj (Kiai Said) dan KH. Yahya Kholil Staquf (Gus Yahya) duduk bersama dalam sebuah forum. (Dok. PBNU) 

TIMESINDONESIA, SEMARANG – Kiai Said dan Gus Yahya ini benar-benar dua tokoh panutan anak muda NU. Ungkapan tersebut diutarakan oleh Wakil Ketua PW GP Ansor Jawa Tengah, Muhammad Faflil Kirom saat ditanyai rentang dinamika Muktamar NU ke-34 yang mempertemukan KH. Said Aqil Siradj (Kiai Said) dan KH. Yahya Kholil Staquf (Gus Yahya) dalam bursa pencalonan ketua umum PBNU

"Saya lebih memilih membahas titik temu daripada titik tengkar. Belakangan ini ada kecenderungan sebagian aktifis memilih jalan "membenturkan" para kandidat calon Ketum PBNU berdasarkan latar belakang organisasi kemahasiswaannya. Pola ini terjadi akibat bias konflik yang terjadi selama orde baru," ujar pria yang akrab disapa Mas Padil ini memberikan analisisnya, Selasa (12/10/2021). 

Jamak diketahui, pencalonan kedua kiai kharismatik tersebut memantik perdebatan di kalangan organisasi kehamasiswaan islam terbesar di Indonesia, yakni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Hal itu diakibatkan karena latar belakang sejarah aktifisme dia kiai tersebut. 

Menanggapi hal tersebut, Padil menyatakan bahwa kedua-duanya adalah kader ideologis Gusdur yang ditempa di era tahun 80an dan 90an. Sebuah era yang penuh tantangan, karena NU berada dalam posisi terpinggirkan oleh kekuasaan Orde baru. Kami tak pernah meragukan militansi dan loyalitas kedua tokoh diatas. 

"Selain beliau berdua menjadi kader Gusdur, mungkin tidak banyak yang tahu, kalau keduanya alumni pesantren Al Munawwir Krapyak, Jogja. Sebuah pesantren yang melahirkan banyak kyai di penjuru pulau Jawa hingga pelosok Nusantara bahkan di Asia Tenggara," ungkap Padil. 

"Saya terharu ketika mendengar Gus Yahya Sowan Kepada Kiai Said (notabene senior) saat menyampaikan niatnya untuk berjuang meneruskan perjuangan Kiai Said. Sikap ini merupakan akhlak pesantren yang jarang ditemui dalam kultur organisasi kemahasiswaan seperti PMII dan HMI," tegas Padil bahwa latar belakang organisasi kemahasiswaan sangat tidak relevan untuk diperbincangkan.

Untuk organisasi keagamaan seperti NU yang lahir jauh sebelum organisasi kemahasiswaan seperti PMII dan HMI, pendekatan sentimen dan gengsi antar alumni PMII dan HMI jelas tidak relevan.

Padil mengklaim bahwa banyak pengamat yang tidak menyadari bahwa basis epistemologis NU itu adalah pesantren. Keilmuan kampus itu hanya menopang dalam mematangkan dinamika NU dengan modernitas atau realitas kekinian.

Padil yang dalam pengalaman aktifismenya pernah menjadi salah satu ketua PMII di kampus basis Nahdliyiin di Jawa Timur itu pernah bertemu langsung dengan kedua tokoh yang menjadi calon ketum PBNU tersebut. 

Padil mengatakan pertemuan pertamanya dengan KH. Said Aqil Siradj saat muktamar NU tahun 1999 di Lirboyo Kabupaten Kediri. 

"Sebagai Alumni PMII Unisma Malang tentunya saya berkesempatan untuk mengikuti berbagai pemikiran Yai Said Aqil Siradj. Kebetulan beliau dosen pasca sarjana di kampus Unisma. Saya mengenal beliau setelah beliau kalah di perhelatan muktamar NU tahun 1999 di Lirboyo. Lebih dari 10 kali, kami berdiskusi dengan beliau terutama terkait pemikiran Aswaja sebagai manhajul fikr. Keluasan berpikir beliau, betul-betul menggugah semangat kami untuk terus belajar," ujarnya.

"Seiring waktu, saya aktif di PW Ansor Jateng, dan saya mendapatkan informasi bagaimana peran Gus Yahya dalam mendesain Ansor menjadi organisasi yang sangat aktif menyuarakan Islam rahmatan Lil alamiin sekaligus penjaga NKRI. Jika melihat perkembangan kaderisasi Ansor yang begitu massif dan sistematis dalam 5 tahun terakhir, maka ada peran Gus Yahya di dalamnya," urainya mengisahkan peran Gus Yahya. 

Bagi Padil, NU memang organisasi "beyond than", berdiri tegak tanpa terganggu  kepentingan politik partai tertentu, background organisasi kemahasiswaan hingga alumni pesantren. 

"NU membawa misi kemaslahatan bagi seluruh alam, maka NU memiliki tradisi tersendiri dalam memilih calon pemimpinnya. Isyaroh langit hingga pemungutan suara hanyalah asbab/wasilah saja, hakekatnya Allah yang akan memberikan anugerah tipe pemimpin yang paling tepat sesuai zamannya," ucapnya.

"Akhirnya saya mengajak Sahabat-sahabat untuk memulai tradisi baru, era disrupsi sosial saat ini harus mengedepankan titik temu atau kolaborasi untuk mewujudkan cita-cita bersama. Almarhum Kiai Hasyim Muzadi memberikan contoh regenerasi yang baik kepada Kiai Said setelah beliau memimpin dua periode. Jika pola ini berjalan, mengingat dalam 10 tahun terakhir ini perkembangan dunia digital sangat luar biasa cepat, figur seperti Gus Yahya yang memiliki jaringan internasional yang bagus bisa menjadi penerima tongkat estafet kepemimpinan PBNU yang tepat. Melimpahnya pengkaderan di Ansor bisa dijadikan kekuatan sumber daya penggerak organisasi NU baik di lapangan ekonomi, sosial, budaya, hingga politik," kata Padil. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES