Kopi TIMES

Polemik Gaji Dewan

Senin, 04 Oktober 2021 - 14:28 | 25.74k

TIMESINDONESIA, MALANG – Krisdayanti seorang artis yang juga sebagai anggota DPR RI dari fraksi Partai PDI Perjuangan menjadi sosok anggota dewan yang viral baru-baru ini, setelah dirinya membuka pada publik tentang besaran gaji dan tunjangan yang diterima oleh anggota dewan. 

Dikatakan bahwa bahwa seorang anggota dewan mendapatkan  gaji pokok sebesar Rp 16 juta, ditambah lagi dengan tunjangan Rp 59 juta, ada lagi yang diterima berupa dana aspirasi sebesar Rp 450 juta yang itu diterima 5 (lima) kali dalam setahun. Dan jika terdapat kunker (kunjungan kerja), anggota dewan bisa mendapatkan sekitar 140 juta 8 (delapan) kali dalam setahun. 

Besaran angka nominal yang diterima oleh anggota dewan ini sebenarnya bukan sesuatu yang aneh, karena selama ini masyarakat sudah meletakkan stigma pada anggota dewan yang memang begitu banyak mendapatkan gaji dan tunjangan yang "wah". Sikap anggota dewan yang notabene representatif dari rakyat sudah terkesan "wah" dari cara berpenampilan yang mencerminkan bahwa mereka sebenarnyanjustru jauh dari rakyat. 

Selama ini yang menjadi perhatian oleh masyarakat justru kemewahan dan sikap elitis dari anggota dewan. Hal inilah yang seakan menjadi timpang ketika dibandingkan dengan kinerja mereka. Sulitnya ditemui, menjaga jarak dan kurang mampunya menyerap aspirasi rakyat yangbjustru seharusnya menjadi viral untuk dibuka (transparansi). 

Logika kemudian berkelindan, jika seorang dosen saja diberikan  Beban Kinerja Dosen (BKD) dengan tunjangan yang diterima berupa Serdos dan harus melaporkan setiap semester supaya dana tunjangan itu turun, maka adakah kewajiban bagi anggota dewan diukur beban kinerjanya agar tunjangan mereka dapat turun? Mengapa tidak terpikirkan bahwa begitu besarnya tunjangan justru menjadi lebih berat kinerja yang harus dibuktikan? 

Kesadaran kita dipantik lagi, jika anggota dewan sadar akan begitu besarnya kewajiban dengan hak yang begitu besar juga, maka semestinya tidak ada waktu untuk mampu beristirahat dengan jenak. Namun hal ini tidak demikian. Masyarakat justru banyak menemukan anggota dewan yang tidur saat rapat dan anggota dewan yang mangkir dalam kehadirannya. Logikanya jika beban kinerja tersebit dilaksanakan dengan serius, maka beban diri dalam melaksanakan tugas akan semakin besar, hal ini tentu saja ekuivalen dengan kesadaran mereka untuk terus dapat terjaga selama dalam tugasnya. Adakah mereka tidak tahu atau tidak sadar akan hal tersebut? 

Selama ini yang terjadi dari beberapa kasus di lapangan. Begitu sulitnya masyarakat menyampaikan aspirasinya. Berputar dalam birokrasi yang tidak jelas dalam keterapungan kondisi. Contoh riil yang ada adalah kasus Kampung Tembesi Tower di Batam dengan 400 KK yang terancam pnggusuran. Dimana masyarakat begitu sulit mendapatkan kepastian walau sudah menunggu selama 20 (dua puluh) tahun until menuntut hak-nyw atas kepemilikan lahan dan sampai sekarang belum mendapatkan kepastian, bahkan untuk menemui anggota DPRD-pun juga sulit hanya mendapatkan janji, walaupun secara formal sudah disampaikan surat laporan kepada para anggota dewan tentang hak yang dituntut oleh masyarakat Tembesi Tower. 

Masyarakat Tembesi ini banyak yang berasal dari daerah, merantau dan berharap dapat mengubah nasib menjadi lebih baik. Dan mereka berhasil merubah hidupnya. Hanya saja kepastian akan lahan yang mestinya diberikan untuk mereka tidak diberikan kepastian. Dalam kenyataannya mereka sudah membayar pajak selama 20 (dua puluh) tahun, membayar listrik, dan juga air. Namun pihak pemerintah terkait tidak memberikan kepastian akan kepemilikan lahan tersebut, sehingga masyarakat menjadi pesakitan. 

Beberapa kali proses hukum sudah diajukan selama 4 (empat) periode kepemimpinan dan sampai sekarang tidak kunjung selesai. Masyarakat yang masih berpikir bahwa dewan menjadi satu-satunya tempat mereka mengadukan aspirasi tidak menanggapi dengan cepat, dan itu berlangsung selama 20 (dua puluh) tahun. 

Dari sinilah maka, bagaimana fungsi anggota dewan? Ketika hak-nya sudah diterima, maka adakah kewajiban anggota dewan, yaitu "mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan peribadi, kelompok dan golongan. Memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat. Mentasti prinsip Demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Mentaati kode etik. Telah ditunaikan?

Inilah sebenarnya yang seharusnya menjadi bahan perhatian dari masyarakat. Perlu dipertanyakan bagaimana kinerja yang selama ini dilaksanakan  oleh anggota dewan, dengan begitu banyak fasilitas yang telah diperoleh dari negara dari negara. Masyarakat selama ini memang tidak mempunyai akses untuk dapat mengetahui seperti apa kinerja yang telah dilakukan oleh anggota dewan, karena memang tidak dibuka secara transparan di publik. 

Apakah tidak mungkin jika seorang anggota dewan juga diukur kinerjanya sebelum dia mendapatkan hak tunjangan dari negara? Sehingga terlihatlah nanti hasil kinerja yang telah mereka lakukan dan bukan hanya kemewahan juga kesan elitis dengan besaran gaji yang sudah mereka terima.

***

*) Oleh : Dr. Drs. Moch. Fauzie Said, M.Si. - Dosen ilmu politik Universitas Brawijaya / Ketua Badan Penelitian & Pengabdian Masyarakat (BP2M) FISIP UB

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Publisher : M. Rofiul Achsan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES