Kopi TIMES

Freies Ermessen dan Peluang Penyalahgunaan Wewenang

Jumat, 08 Oktober 2021 - 12:12 | 105.94k
Rama Fatahillah Yulianto, Komandan Badan Perwakilan Taruna (BPT) Politeknik Ilmu Pemasyarakatan.
Rama Fatahillah Yulianto, Komandan Badan Perwakilan Taruna (BPT) Politeknik Ilmu Pemasyarakatan.

TIMESINDONESIA, JEMBER – Asas negara hukum merupakan asas hukum yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Asas tersebut mencita-citakan supremasi hukum, artinya setiap orang tanpa terkecuali harus tunduk kepada hukum. Hal itu sudah menjadi konsekuensi, mengapa demikian? Mari kita menilik sejumlah kewenangan, tugas-tugas, dan tindakan Lembaga negara pastinya akan diatur dan dibatasi oleh konstitusi negara Indonesia, yakni UUD 1945. Namun, bukan tidak mungkin akan terjadi permasalahan. Sejumlah undang-undang tertulis memiliki kelemahan meliputi cacat bawaan (natural defect) dan cacat buatan (artificial defect). 

Dampak dari kegagalan hukum dalam menjalankan fungsinya tentu sangat memengaruhi keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Maka jangan salahkan masyarakat jika suatu saat sejumlah lembaga mengalami zero trust society. Pada hakekatnya hukum tidak bersifat statis dan final namun selalu berada dalam proses dan terus menerus membangun dirinya menuju tingkat kesempurnaan yang lebih baik (law as a process, law in the making).

Kondisi saat ini marak di kalangan masyarakat mengenai pernyataan ‘Hukum tajam kebawah tumpul ke atas’. Artinya kondisi teresebut masih ‘diwarnai’ oleh pengalaman masa lalu, meliputi pengabaian hukum (disregarding law), ketidaktaatan pada hukum (disobedience law), ketidakpercayaan terhadap hukum (distrusting law), dan ketidakhormatan atas hukum (disrespecting law). Alhasil, Negara membutuhkan Freies Ermessen atau diskresi untuk menyelesaikan problematika ini.

Freies Ermessen atau yang sering disebut diskresi adalah wewenang yang diberikan kepada pemerintah atau lembaga negara untuk mengambil tindakan dalam menyelesaikan persoalan penting yang mendesak. Persoalan tersebut ada dan belum terdapat di peraturan manapun. Pada dasarnya, diskresi muncul karena peraturan tertulis (written law) memiliki batasan ketika disandingkan dengan dinamika yang terjadi pada perubahan dan perkembangan masyarakat. Sedangkan dalam menyelenggarakan tugas dan fungsinya, sejumlah lembaga negara khususnya aparat penegak hukum dituntut untuk cepat, tepat, dan adil, bahkan tidak boleh menolak seseorang dengan perkara tertentu yang tidak tertulis pada undang-undang. Oleh karena itu, eksistensi freies ermessen dibutuhkan sebagai dasar mengambil keputusan atau membuat kebijakan kedepannya.  Lantas, bagaimana mekanisme menyelesaikan suatu perkara hukum jika tidak tertulis dalam aturan?

Dalam beberapa kondisi, negara dapat menyelesaikan perkara bersumber pada kewenangan diskresi yang dimiliki. Menurut pendapat Prajudi Atmosudirdjo, Freies Ermessen atau diskresi dibagi menjadi dua macam, yakni diskresi bebas dan diskresi terikat. Disebut diskresi bebas, jika undang-undang tidak menentukan batasannya, dan disebut diskresi terikat apabila undang-undang menetapkan beberapa alternatif untuk dipilih salah satu yang efektif dan efisien dalam kondisi pada saat itu.

Ulasan tersebut memaknai bahwa hukum yang dikehendaki sebagai perwujudan kewenangan diskresi adalah hukum yang bernurani dan bermoral, hal itu linear dengan semangat hukum progresif. Inti yang harus dipahami, setiap penggunaan diskresi harus bertujuan untuk melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberi kepastian hukum, dan mengatasi stagnansi dalam keadaan tertentu. Jika kita menilik pada tatanan sistem peradilan pidana khususnya proses persidangan di pengadilan. Hakim pasti akan merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, namun keadilan substansial acapkali jauh melewati batasan hukum tertulis dalam undang-undang. Eksistensi diskresi pada dasarnya digunakan untuk menciptakan suatu keputusan berlandaskan olah pikir dari berbagai perspektif, hal itu dilakukan untuk menyelesaikan persoalan yang genting. 

Hal yang harus menjadi perhatian, kualifikasi penyalahgunaan wewenang dalam diskresi berkaitan erat dengan syarat pelaksanaan diskresi, meliputi iktikad baik, menerapkan asas ketidakberpihakan, tidak menimbulkan konflik kepentingan pribadi atau golongan tertentu, dan harus menerapkan asas kepentingan umum. Berlandaskan beberapa hal tersebut, jika diskresi telah memenuhi syarat yang telah disebutkan maka diskresi tidak dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang, karena memang sejatinya eksistensi diskresi ada untuk menyelesaikan persoalan genting yang belum atau tidak disebutkan dalam regulasi manapun (condition sine quo non).

Kategorisasi diskresi sebagai penyalahgunaan wewenang dapat mendasar pada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), yaitu penyalahgunaan wewenang dengan menggunakan jabatan, keduduka, dan perluang yang ada, kemudian adanya peluang atau kesempatan dari ketentuan tertentu. Sehingga diskresi menjadi suatu keputusan yang dapat membawa kesejahteraan masyarakat atau bahkan menjadi senjata untuk pelaku karena masuk ke dalam kategori perbuatan melawan hukum bahkan masuk dalam tindak pidana korupsi. Diskresi pada hakekatnya merupakan wewenang dari pejabat pemerintahan untuk mengeluarkan keputusan berdasarkan inisiatif dan perspektifnya sendiri tanpa bergantung pada peraturan yang berlaku. Ketiadaan peraturan yang jelas mengenai prosedur, penggunaan, serta batasan diskresi merupakan pangkal dari masalah tersebut.

***

*) Oleh: Rama Fatahillah Yulianto, Komandan Badan Perwakilan Taruna (BPT) Politeknik Ilmu Pemasyarakatan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES