Kopi TIMES

Membangun Sekolah di Tengah Gempuran Pernikahan Dini

Jumat, 08 Oktober 2021 - 11:53 | 98.42k
Daris Wibisono Setiawan, S.S, M.Pd, D.PEd; Kepala SMAN 1 Sumber - Probolinggo.
Daris Wibisono Setiawan, S.S, M.Pd, D.PEd; Kepala SMAN 1 Sumber - Probolinggo.

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGOMENGGELITIK sekali jika melihat paparan data penelitian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia pada tahun 2015. Angka pernikahan dini di indonesia menduduki peringkat kedua teratas di kawasan Asia Tenggara.

Sekitar 2 juta dari 7,3 perempuan Indonesia berusia 15 Tahun telah menikah dan putus sekolah. Ironisnya, jumlah tersebut diperkirakan akan naik menjadi 3 juta orang pada tahun 2030 mendatang.

Maraknya angka pernikahan dini tersebut tentu saja menjadi faktor terhambatnya laju Indeks Perkembangan Manusia (IPM). Menurut Dlori  (dalam Dema & Sarinah, 2017) pernikahan dini merupakan sebuah perkawinan di bawah umur yang target persiapannya belum dikatakan maksimal secara persiapan fisik, mental, dan persiapan materi. 

Muhammad M. Dlori (Rumekti & Pinasti, 2016) mendefinisikan bahwa pernikahan usia dini adalah pernikahan yang dilakukan karena usia yang melanggar undang-undang perkawinan. Pelanggaran yang dimasud yaitu melanggar UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan bab 2 pasal 7 ayat 1 yang menyatakaan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun. Menariknya, implementasi kebijakan peraturan perundangan tersebut sangat lentur sekali dilakukan oleh pelaksana kebijakan di bawah. Lebih baik terpaksa menikahkan karena sudah hamil duluan atau sebagai tindakan preventif agar tidak terjadi perzinahan adalah pembenaran yang dilakukan secara berulang. Sampai di sini, tentu saja akan menjadi dampak yang sangat tidak baik bagi kelangsungan pendidikan. 

Kabupaten Probolinggo mempunyai angka tertinggi peringat ketiga dari seluruh Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Timur setelah Sampang dan Sumenep untuk perempuan usia 17- 19 tahun yang berstatus menikah (7,27%) dan pernah menikah(7,04%). Umur pernikahan pertama perempuan yang kurang dari 17 tahun di Kabupaten Probolinggo mencapai 53,07 %. Jumlah penduduk miskin sebesar 238,7 dengan prosentase sebesar 21,21 % (BPS). Data BPStersebut diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Ita Mardiani Zain(2016) yang mendeskripsikan ada 7 Kecamatan di Kabupaten Probolinggo yang dikategorikan masuk cluster 2 terlait tingginya angka pernikahan dini yaitu Kecamatan Sumber, Kuripan, Gading, Besuk, Kraksaan, Tongas, Lumbang. Cluster 2 mempunyai kategori tinggi, hal ini didasarkan pada cluster 2 terdapat 4 variabel yang memiliki nilai skor negatif. Variabel tersebut meliputi pengetahuan, keluarga, budaya, dan psikologi. 

Pernikahan dini merupakan suatu fenomena sosial yang menuntut semua pihak bersama-sama untuk memutus benang kusutnya. Rendahnya implementator kebijakan pemerintah untuk melakukan sosialisasi mengenai bahaya yang ditimbulkan dari pernikahan dini kurang optimal. Sementara itu, faktor yang menyebabkan masyarakat menikahkan anaknya di usia dini terus menguat pada level masyarakat bawah. Adapun beberapa faktornya yaitu; Keinginan untuk segera mendapat tambahan anggota keluarga, perjodohan oleh orang tua atau faktor adat, maraknya bullying cenderung ke fitnah sebagai dampak pergaulan lawan jenis anak, mitos jika menolak untuk dinikahkan selama tiga kali akan tidak laku seumur hidup, faktor ekonomi, faktor pendidikan, dan Married by Accident (MBA) atau hamil di luar pernikahan. 

Maraknya pernikahan usia dini di Kecamatan Sumber menarik penulis untuk menganalisisnya terkait dampaknya terhadap eksistensi lembaga pendidikan yang ada, khususnya pendidikan menengah atas. Harus diakui maraknya pernikahan dini tersebut menjadi tantangan penyelenggara pendidikan untuk merancang strategi tata kelola pendidikan yang cerdik agar keberlansungan sekolah ke depan tetap terjaga. Tingginya angka drop out peserta didik, rendahnya minat sekolah, rendahnya minat belajar, rendahnya dukungan orang tua pada pendidikan, dan sikap apatisme akut pada pendidikan adalah tantangan nyata lembaga pendidikan. Tujuan pendidikan SMA sebagai jembatan generasi emas untuk melanjutkan kuliah di perguruan tinggi laksana seperti sumber mata air di tengah padang pasir. Lantas, langkah nyata apa yang bisa dilakukan oleh sekolah untuk membangun sekolah di tengah gempuran pernikahan dini tersebut?

Gerakan Wajar 12 Tahun adalah kebijakan yang harus dengan sigap dilakukan oleh pemerintah sebagai tindakan preventif menjaga generasi emas masa depan bangsa agar tidak terjebak pada tradisi pernikahan dini. Pemerintah tidak perlu terpaku pada dampak pembiayaan terkait wajar 12 tahun, akan tetapi penekanannya lebih kepada strategi menjaga peserta didik untuk bisa menuntaskan pendidikannya minimal lulus SMA. Sejatinya dengan adanya dana BOS dan BPOPP sebagai kebijakan sekolah Gratis Berkualitas (TisTas) Gubernur Jatim sekolah telah mampu memberikan jaminan sekolah gratis sampai lulus kepada para peserta didiknya. Kuncinya tinggal ketegasan semua stake holder yang menjadi bagian birokrasi pemerintah untuk melakukan revitalisasi gerakan wajar 12 tahun.    

Sinergitas Tripartit Pendidikan dalam hal ini adalah peran sekolah, keluarga dan masyarakat dengan kesatuan visi pencegahan harus terus digelorakan. Aksi nyata yang bisa dilakukan sekolah antara lain; memasukkan pendidikan sex dan kesehatan reproduksi remaja dalam kurikulum sekolah, penguatan soft skill dan karakter peserta didik dengan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan, kolaborasi guru pendidikan agama dan BK melalui “Tombo Ati”, penguatan peran guru sebagai garda terdepan pendidikan, kampanye massif anti pernikahan dini di lingkungan sekolah, dan penyusunan program/kegiatan terkait bahaya pernikahan dini.

“Tombo Ati” merupakan inovasi sekolah dalam upaya pencegahan terhadap peserta didik yang mempunyai kecenderungan kuat untuk putus sekolah karena terjebak dalam pernikahan dini. “Tombo Ati” yang merupakan kolaborasi guru pendidikan (bukan pelajaran) agama dan BK diharapkan mampu menciptakan strategi dan taktik yang gemilang agar peserta didik dapat menyelesaikan studi, bahkan terdorong kuat sampai bisa melanjutkan kuliah. Informasi penguat bahaya pernikahan dini terkait reproduksi, sekolah secara gencar harus menggandeng pihak-pihak terkait untuk melakukan penyuluhan di sekolah. 

Membangun komunikasi aktif dan efektif dua arah antara sekolah dan orang tua mutlak dilakukan dalam rangka sama-sama menjaga keberlangsungan pendidikan peserta didik dengan menunda pernikahan. Semangat terus menyalakan pencerahan bahaya pernikahan dini dan bukan semangat melawan tradisi nikah dini yang sudah turun temurun tentu saja membutuhkan kiat-kiat tertentu. Sekolah bisa melibatkan wali murid untuk diberikan pemahaman melalui pelatihan di sekolah dan diperkuat dengan melakukan komunikasi efektif dengan home visit secara berkala.

Keluarga harus menjadi rumah yang meneduhkan bagi peserta didik, maka penguatan peran keluarga menjadi sangat penting bagi masa depan anak. Orang tua harus mampu melakukan pengawasan optimal kepada anak (tidak kaku mengekang pergaulan tapi tidak membatasi pergaulan anak), mampu menanamkan nilai-nilai akhlak yang baik, mempunyai komitmen mendidik dan mengarahkan mimpi sukses masa depan melalui pendidikan pada anak, menjadi tempat bersandar untuk curhat yang nyaman bagi anak, menjadi media diskusi yang menyenangkan bagi anak, dan yang terpenting orang tua harus mampu menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya.   

Peran serta masyarakat tentu saja mempunyai peran kuat untuk ikut serta secara aktif membentengi para generasi muda di wilayahnya dari gempuran pernikahan dini. Kepala desa bersama tokoh masyarakat harus melakukan edukasi tentang dampak negatif pernikahan dini melalui kegiatan-kegiatan formal maupun informal hingga terwujudnya pola pikir baru memaknai pernikahan dini. Kepala desa bersama tokoh masyarakat harus menjadi motor penggerak lahirnya kesamaan persepsi pentingnya penundaan pernikahan dini dari bahaya kesehatan reproduksi, kesiapan psikologis, dan ancaman runtuhnya peradaban bangsa karena banyaknya generasi muda terbelenggu pernikahan dini dengan meninggalkan pendidikan. Akhirnya, mari bersama-sama memutus “dosa warisan” tradisi penikahan dini dengan optimalisasi kolaborasi berbagai pihak dengan niat kuat menyelamatkan generasi emas masa depan bangsa demi terciptanya peradaban yang gemilang.   

***

*) Oleh: Daris Wibisono Setiawan, S.S, M.Pd, D.PEd; Kepala SMAN 1 Sumber - Probolinggo.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES