Kopi TIMES

Membenturkan HMI dan PMII dalam Muktamar NU 34

Kamis, 07 Oktober 2021 - 12:01 | 174.57k
Fathul H. Panatapraja; Alumni PMII Kota Malang, kini Sekretaris Lesbumi Kota Malang.
Fathul H. Panatapraja; Alumni PMII Kota Malang, kini Sekretaris Lesbumi Kota Malang.

TIMESINDONESIA, MALANG – Setelah membaca tulisan dari KH. Imam Jazuli https://m.tribunnews.com/tribunners/2021/10/05/rivalitas-hmi-versus-pmii-perebutan-kursi-ketum-pbnu-di-muktamar-nu-ke-34 saya merasa aneh sendiri, saya melihat ada upaya untuk "nabok nyilih tangan", memukul dengan meminjam tangan orang lain. Siapa yang hendak dipukul? PMII lah yang hendak dipukul, diadu, dan dijongkrokke! 

Kemudian juga ada semacam bunyi-bunyian sumbang: "saatnya PMII kembali ke NU!". Pertanyaan saya, apakah selama ini PMII tidak ke NU? Apakah alumni PMII tidak berkhidmat ke NU? Mayoritas penggerak di NU adalah alumni PMII, mulai dari tingkat ranting sampai pengurus besar.

Atau kalau yang dimaksud dengan "kembali" adalah memimpin NU, bukankah KH. Said Aqil Siradj (Ketua Umum PBNU) juga alumni PMII. Bahkan saat Muktamar NU 33 di Jombang, bukankah PMII sudah dipaksa masuk menjadi banom NU? Meskipun kini tak jelas rimbanya. Saat sidang komisi organisasi Muktamar 33 NU di Jombang yang juga dihadiri PB PMII.

Kemudian PB PMII membuat semacam keputusan aneh, yakni Reinterdependensi PMII-NU, sebuah keputusan janggal yang tak masuk akal, karena tidak dilakukan kajian yang mendalam dan tidak adanya naskah akademik sebagai penguat keputusan. Seharusnya keputusan PB PMII tersebut dikaji dan dibahas serta disampaikan pada forum nasional PMII, bukan malah di Muktamar NU.

Kembali ke rujukan awal, yakni tulisan KH. Imam Jazuli, ditulis olehnya: "...Keluarga Besar PMII dengan mendukung kader terbaik mereka menjadi Ketua Umum PBNU di masa depan akan lebih mudah mengakses jalur-jalur pengabdiannya ..."Pada paragraf ini dengan tanda bold untuk menandainya, saya menyatakan keberatan atas logika berpikir yang disampaikan. Sesempit pengetahuan saya, jalur pengabdian itu adalah jalan ibadah, bukan memakai "karena, karena", karena ketuanya dari PMII maka pengurusnya harus PMII, kemudian mengesampingkan yang lainnya. Ini bukan logika intelektual-akademik, tetapi logika politik.

Hari ini para alumni PMII sudah punya rumah besar yang bernama Ikatan Sarjana NU, yang mayoritas dihuni oleh alumni PMII. Bagi saya, bukan rivalitas HMI-PMII yang harus dibesar-besarkan, apalagi dibentur-benturkan, melainkan kualitas kaderisasi yang harus terus ditonjolkan.

Kenapa Muhaimin Iskandar

Mengenai calon Ketua Umum PBNU, setidaknya KH. Imam Jazuli menyebutkan nama Muhaimin Iskandar sebanyak enam kali. Pertanyaan yang mengganggu benak saya, kenapa Muhaimin Iskandar? Apa alasan memunculkan nama Muhaimin Iskandar. Jikalau ingin mengerek nama-nama alumni PMII untuk menjadi Ketua Umum PBNU kenapa tidak mengambil para alumni PMII yang dari dulu dan hingga kini memang terus berproses di NU. Bahkan kini ada yang menjadi ketua PWNU, yaitu KH. Marzuki Mustamar (Ketua PWNU Jatim) dan KH. M. Muzammil (Ketua PWNU Jateng), atau KH. Robikin Emhas (Ketua PBNU), atau KH. Imam Aziz (Ketua PBNU) atau yang lainnya, yang sedari muda memang berproses di dalam kepengurusan NU. Agar tidak menimbulkan gejolak.

Lagi-lagi, kenapa harus Muhaimin Iskandar? Padahal ia sudah jenak pada porsinya yaitu di jalur politik kepartaian, memimpin PKB. Dengan diwacanakannya Muhaimin Iskandar menjadi calon Ketua Umum PBNU apa tidak membuat orang mengingat kembali masa lalu NU saat dipimpin KH. Idham Chalid (Ketua Umum PBNU terlama, 28 tahun), di mana ia sebagai Ketua Umum PBNU dan juga Presiden PPP. Ini membuat bias politik tak bisa dihindari, layaknya sebuah rumah yang didiami, NU dan PPP bagi KH. Idham Chalid hanya bersebelahan kamar.

Bisa jadi saat kondisi tertentu bisa salah kamar. Hal tersebut, mengingatkan peristiwa pada tanggal 2 Mei 1982, dua hari sebelum dilangsungkannya Pemilu, empat orang kiai besar dari jajaran Syuriah PBNU berkumpul di Jakarta dan mengunjungi kediaman KH. Idham Chalid di Cipete, Jakarta. Empat kiai tersebut adalah KH. Ali Maksum, KH. Machrus Aly, KH. As’ad Syamsul Arifin dan KH. Masjkur. Tujuan empat kiai tersebut adalah untuk mengingatkan kepada KH. Idham Chalid agar aktif mengurusi NU. Karena sepeninggal almarhum KH. Bisri Syansuri, KH. Idham Chalid sudah jarang aktif mengurusi NU. Dari peristiwa tersebut kemudian terus bergulir sehingga berujung pada perpecahan Syuriyah dan Tanfidziyah. Apa jadinya jika Muhaimin Iskandar benar-benar menjadi Ketua Umum PBNU. Saya tidak bisa membayangkan.

Perlu kita ingat kembali, tentang fragmen Khittah NU 1926 yang merupakan upaya penyegaran NU. Tidak bisa dipungkiri dan dilupakan adalah turut sertanya kerja-kerja para alumni PMII. Pada tahun 1983, ada kelompok pemikir-intelektual NU yang dinamakan Majelis 24, yang awalnya dikenal sebagai kelompok G, karena tempat pertemuan dan diskusi-diskusinya digelar di rumah Said Budairy (pencipta lambang PMII) yang terletak di gang G, daerah Mampang, Jakarta Selatan. Mayoritas anggota Majelis 24 yang terdiri dari 24 orang tersebut adalah alumni PMII. Dari Majelis 24 tersebut, sepakat membentuk tim yang diberi nama Tim Tujuh Pemulihan Khitthah NU. Anggota tim ini diberi tugas untuk menyusun rumusan Khitthah NU 1926. Kelompok ini disebut Tim Tujuh karena beranggota tujuh orang. Mereka terdiri dari Abdurrahman Wahid (Gus Dur), M. Zamroni (alumni PMII), M. Said Budairy (alumni PMII), Mahbub Djunaidi (alumni PMII), dr Fahmi Dja'far Saifuddin (alumni PMII), M Danial Tanjung dan Ahmad Bagdja (alumni PMII). Dari Tim Tujuh inilah Khittah NU 1926 dirumuskan. Kemudian hari orang NU selalu ingat akan Khittah NU 1926 dan Muktamar NU di Situbondo 1984. Namun jarang sekali yang ingat, bahwa banyak alumni PMII yang berperan dalam proses Khittah NU tersebut.

Jadi, yakinlah bahwa sejak dulu PMII mencintai NU, jangan diragukan, apalagi dibentur-benturkan. 

***

*) Oleh: Fathul H. Panatapraja; Alumni PMII Kota Malang, kini Sekretaris Lesbumi Kota Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES