Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Memenangkan “Kacamata Kuda”

Kamis, 07 Oktober 2021 - 09:55 | 42.18k
Abdul Wahid, Dosen Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis Buku.
Abdul Wahid, Dosen Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis Buku.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Alwi Shihab (1997) pernah mengingatkan, bahwa pencemaran lingkungan yang kita saksikan masa kini telah mencapai titik rawan yang meresahkan, sehingga apabila hal ini berlanjut, malapateka yang tidak terelakkan akan menimpa kita dan anak-anak cucu kita. Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk yang mendominasi alam ini harus mampu untuk mengubah  sikap destruktif mereka  terhadap lingkungannya menjadi sikap bersahabat lagi sehat.

Sayangnya, peringatan tuhan dan alam yang sudah berlangsung kesekian kalinya masih saja belum mengubah perilaku ketidakberadaban manusia terhadap sumberdaya ekologis. Konstruksi keadaban ekologis masih merupakan impian kosong  akibat dilindas oleh watak barbarian yang lebih condong membela dan memberhalakan kriminalisasi paradigma pembangunan dan target kapitalistik berbasis “kacamata kuda”: memburu keuntungan dengan mengabaikan resiko besar secara ekologis yang akan dialaminya di kemudian hari.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kriminalisasi paradigma itulah yang membuahkan pembenaran superioritas kejahatan ekologis, seperti mentolelir, melindungi, dan mengambil keuntungan dari illegal logging. Superioritas kejahatan ini cermin  dari pepatah “siapa menabur angin akan menuai badai”, siapa menabur, menggerakkan, memberdayakan, dan mengorganisir tindak kejahatan secara individual, struktural, maupun berkelompok, pastilah akan memakan korban. Sedangkan korban itu bisa kembali pada diri, rakyat, bangsa atau negara yang telah menabur kejahatannya itu.

evil causes evil vallacy”,  sesuatu yang buruk   itu terjadi disebabkan oleh hal-hal yang buruk pula, artinya apa yang terjadi dalam pergumulan kehidupan manusia dan bangsa di dunia ini, termasuk bumi yang didiami  dan dijadikan ajang  menggelorakan birahi kekuasaan dan perburuan  keuntungan ekonomi terbukti dapat menjadi “neraka” yang melebur dan mengubur  manusia akibat perilaku manusia sendiri yang terfokus  memberhalakan  ketidak-adaban ekologisnya dan sibuk mengarogansikan ambisi-ambisinya.

Sedangkan dari ambisi-ambisi yang dipanglimakan inilah, kejahatan yang digeneratori Iblis dapat mengalahkan naluri fitri manusia yang seharusnya tak boleh dikalahkan. Hal inilah yang menjadikan  bumi dan lingkungan hidup rusak porak-poranda dan menjadi ancaman besar yang dapat melahirkan, meminjam kata futurolog Alvin Tofler “future shock”, suatu potret kegelapan masa depan bagi bangsa yang terlena dan sibuk oleh kejahatan yang dikultuskannya.

Reformis India, Mahatma Ghandi pernah berujar “bumi ini cukup berlebihan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, tetapi menjadi tidak cukup untuk memenuhi keserakahan hidup  manusia”

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Suatu pesan moral yang cukup ideal, yang mengingatkan konstruksi ekologis antara manusia dengan bumi. Bumi telah memberikan tempat terbaik bagi manusia, menjadi penopang kebutuhan jangka pendeknya, dan investasi bagi masa depan kehidupannya. Secara ekonomi misalnya, manusia telah merasakan bagaimana bisa mengambil keuntungan dan jadi segmen sosial yang memenuhi strata ellitisme setelah mengeksploitasi sumberdaya ekologis. Sumberdaya ekologis telah mengantarkan seseorang dan  sekelompok orang  jadi komunitas yang hidup dalam bingkai serba makmur

Itu artinya, tanpa bumi dan sumberdaya ekologis lainnya, manusia tak akan bisa menuai dan menikmati kesejahteraan. Manusia tak akan memperoleh strata yang diambisikan. Apa yang diberikan sumberdaya ekologis telah mengantarkan manusia jadi arsitek berperadaban harum, hidup dalam bangunan relasi  sosial-politik yang santun, saling kooperatif, dan menguatkan persaudaraan kemanusiaan, kemasyarakatan, dan kebangsaan. Sebaliknya, jika sumberdaya ini terus menerus dirusak, maka sama artinya manusia mempertaruhkan keberlanjutan masa depannya.

Gary Zukav, penulis The Dancing Wu Li Masters "Mata hati kita tidak lagi mampu melihat dan menikmati tarian alam yang begitu indah yang merupakan rumah kita," Zukav dalam bukunya ini identic mengajak kita bernyanyi dan menari atau “mengeksistensikan” diri bersama tarian alam semesta.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Lenyapnya tarian alam yang digambarkan oleh Zukav tersebut sejatinya merupakan kritik keras terhadap perilaku manusia yang gagal menempatkan atau mengelola hutan sebagai investasi ekonomi dan sosial yang menentukan keberlanjutan kehidupan bangsa.  Manusia telah terjerumus dalam opsi kapitalisme kekayaan hutan tanpa kenal titik nadir. Mereka terus menciptakan zona-zona penebangan atau pembalakan hutan yang dikalkulasikan bisa mendulang keuntungan ekonomi berlipat.

Kondisi kehidupan bangsa sudah jelas sekali ditentukan oleh besar kecilnya sumber yang mengalir atau dialirkan dari kekuatan ekologis. Sebagai penyangga utama ekologis, bumi yang subur tentulah bisa memberikan kekayaan besar bagi kehidupan manusia, jika bumi tetap dijaga kelestariannya. Sebaliknya, tatkala bumi itu tidak lagi ramah, sering “bergoyang”, dan dan hutan-hutannya. ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis Buku.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES