Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Disorientasi Revolusi Mental

Kamis, 07 Oktober 2021 - 09:00 | 41.07k
Alsaba S. Igobula, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA).
Alsaba S. Igobula, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA).
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Belakangan wacana “Revolusi Mental” yang semula terpendam, kini kembali menggelegar dalam bilik-bilik ruang publik. Guru dijadikan tumpuan utama menggemborkan slogan demikian pada ranah pendidikan formal. Para pahlawan tanpa tanda jasa didorong hendak menanamkan “Revolusi Mental” via pendidikan karakter. Usulan itu, berpangkal dari pemangku kebijakan melalui kaki-tangan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK). Dengan dalih, nilai-nilai “Revolusi Mental” digadang-gadang dapat dipancar-tularkan pada peserta didik yang senantiasa berintegritas, dan berkarakter kuat demi generasi emas.

Mula-mula jargon “Revolusi Mental” bersumbuh dari ide besar Sang proklamator kemerdekaan Indonesia, Soekarno. Sebagaimana dilukiskan Sigit Aris Prasetya dalam magnum opus-nya bertajuk “Bung Karno dan Revolusi Mental” . Bung Karno dengan semangat membara—pada peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus 1956—melantunkan gagasan “Revolusi Mental”.  Hematnya, “Revolusi Mental” sebagai sebuah gerakan untuk menggembleng manusia  Indonesia  agar  menjadi  manusia  baru,  yang  berhati  putih,  berkemauan  baja,  bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Atau dengan bahasa lain, “Revolusi mental” menurut Bung Karno; menghendaki manusia Indonesia untuk meninggalkan kemalasan, praktik korupsi, sikap individualisme dan ego-sentrisme, ketamakan, keliaran, kekoboian, kemesuman, keinlanderan, serta menjadi manusia Indonesia yang paripurna.

Dengan begitu, semboyan “Revolusi Mental” yang kini marak dikampanyekan pemerintahan Joko Widodo entah jilid I maupun jilid II adalah sublimasi buah gagasan Bung Karno  yang pernah dikumandangkan sedia kala—kendati memiliki tafsiran berbeda.

Kurang lebih “Revolusi mental” ala pemerintahan Jokowi meruncing pada lima  program  gerakan  yang  seakan menjadi  acuan  utama. Antara lain;  Indonesia  Melayani,  Indonesia  Bersih,  Indonesia  Tertib,  Indonesia  Mandiri,  dan  Indonesia  Bersatu.   Di dorongan pula tiga nilai strategis instrumental yakni nilai integritas, nilai etos kerja, dan nilai gotong  royong.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Negara Atau Pendidik ?

Revolusi mental sebagai upaya membangun  jiwa yang merdeka,  mengubah  cara  pandang, pikiran,  sikap dan  perilaku  agar  berorientasi  pada  kemajuan  dan  hal-hal  yang  modern,  sehingga  Indonesia menjadi bangsa yang besar dan mampu berkompetisi bahkan disegani dikancah internasional. Tentu hal ini, sudah sepatutnya menjadi tanggung jawab pemangku kepentingan.

Hanya saja upaya pemerintah membangun “Revolusi Mental”, dengan mendorong tenaga pendidik (guru) sebagai tonggak permulaan percobaan kebijakan adalah sebuah kerancuan tindakan yang tak terbantahkan. Kenapa ?

Menjadi  guru  berarti  menyandang  dua gelar  sekaligus  yang disematkan pada dirinya.  Di satu sisi, status  guru  dapat  dipandang sebagai  suatu  profesi  yang  secara  keseluruhan  harus memiliki kepribadian yang baik dan mental yang tangguh, serta memiliki kelebihan dibidang tertentu. Sementara di sisi lain, status guru sebagai seorang pendidik, tatkala guru mampu membentuk sikap dan karakter peserta didik atau siswanya bersandar pada nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Di samping itu, kerja-kerja guru tak boleh dipandang dari hasilnya,  seorang  guru  akan  merasa  bangga dan terkesan merasa berhasil dalam menjalankan tugas mendidik dan mengajar, ketika diantara  muridnya dapat menjadi seorang katalisator perubahan bagi bangsa dan negaranya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Tetapi yang harus digaris-bawahi, kedua  status  ini  tidak boleh dipilah secara diametral. Sebab, guru profesional bukan semata-mata berorientasi mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan yang  layak, melainkan juga memiliki panggilan jiwa dan kesadaran humanis dalam mendidik. Sebagaimana kata Catherine Pulsifer “Seorang guru adalah orang yang membantu orang lain dan memengaruhi kehidupan selamanya."

Dari uraian di atas dapat ditarik benang merah, bahwa guru menjadi sumber kebijaksanaan, pemupuk moral, ladang etika sekaligus suri teladan bagi nusa dan bangsa. Dengan demikian, pemerintah mengarahkan semboyan “Revolusi Mental" di sematkan pada guru adalah salah jalan, beda alamat. Guru yang pada dasarnya telah meneguhkan integritas kepribadian dan pula telah lulus kualifikasi, tetapi dicekoki desain program yang mengarah pada pembenanahan kepribadian. Terkesan seolah guru  sebagai pembuka kotak pandora masalah kepribadian, sehingga butuh di revolusi mentalnya. Kebijakan itu, seperti halnya menaburi garam di tengah bentangan samudera. Orientasi kebijakan justeru terjerembab ke jalan yang penuh kesia-siaan.

Kita bisa saksikan secara langsung, persoalan bangsa yang kerap memasung benak publik saat ini. Misal; angka kemiskinan yang terus melambung, penggusuran lahan-lahan petani, korupsi besar-besaran, kesenjangan ekonomi, disparitas pendidikan, kebebasan berpendapat dikekang sedemikian rupa dan segudang problem berantai lainnya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kalau ditelaah pangkal persoalannya, dapat dipastikan sebagian besar bersumber dari ulah pemangku kebijakan (negara) itu sendiri. Artinya, negara menjadi biang pemicu masalah bangsa yang kian bertali-temali itu. Negara justeru menampilkan karakter yang rapuh dan mudah tumbang sekaligus defisit integritas.

Bertolak dari hal demikian, sehingga sudah sepatutnya “Revolusi Mental” dimulai dari tubuh negara—birokrasi pemerintahan dan perangkat kekuasaan. Memperkokoh karakter dan menjaga integritas kepribadian demi bangsa yang jaya, damai dan sentosa. Bukan malah guru yang dijadikan kelinci percobaan. Guru yang dianjurkan menggalakkan semangat “Revolusi Mental”. Kalau seperti itu, bisa jadi jargon “Revolusi Mental” menjelma “Revolusi Mentah”. ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Alsaba S. Igobula, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA).

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES