Kopi TIMES

Memantapkan Moderasi Beragama Melalui Halaqoh Pesantren

Selasa, 05 Oktober 2021 - 18:10 | 139.65k
Ali Mashar.
Ali Mashar.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Perdebatan mengenai asal usul kata santri dan pesantren masih kita jumpai dalam berbagai diskusi sampai hari ini.  Begitu juga dengan definisi pesantren. Pendapat para tokoh seperti Abdurrahman Wahid, Mahmud Yunus, Zamahsyari Dhofier, M. Dawam Raharjo, Abdurrahman Mas’ud, dan lain-lain sering dirujuk dalam diskusi tentang pesantren. 

Beberapa sarjana berusaha membuat definisi yang Jami’ wa Mani’ sehingga suatu lembaga pendidikan hanya bisa disebut sebagai pesantren jika di situ terdapat seorang kiyai sebagai guru dan pembimbing utama yang mengasuh santri, lalu ada masjid yang selain menjadi tempat sholat, juga berfungsi sebagai tempat mengaji, kemudian ada santri yang tinggal di asrama pesantren. Pengajaran kitab kuning atau turots yang diajarkan dengan menjaga otentisitas transmisi keilmuan melalui jalur sanad yang ketat, menjadi syarat wajib berikutnya. 

Ada juga yang tidak memasukkan pengajaran kitab kuning melalui jalur sanad yang ketat sebagai syarat, sehingga setiap asrama sekolah Islam dan pondok modern juga bisa disebut sebagai pesantren. Definisi longgar seperti ini memang terkadang menimbulkan masalah tersendiri. Misalnya ada lembaga pendidikan dengan nama pesantren yang justru melahirkan teroris, karena mengajarkan teologi radikal yang bertentangan dengan teologi Sunni mainstream yang dianut oleh mayoritas umat Islam sepanjang sejarah. Akibatnya, nama pesantren secara keseluruhan terkena dampak stigma negatif. 

Undang-undang nomor 18 tahun 2019 tentang pesantren akhirnya menentukan bahwa pesantren harus memuat empat unsur sebagaimana disebut pada definisi pertama dengan tambahan frasa “atau dirasah Islamiyah dengan pola pendidikan Muallimin.” Dengan tambahan ini, lembaga pendidikan yang tidak mengajarkan kitab kuning melalui jalur transmisi sanad ketat masih bisa disebut sebagai pesantren. 

UU Pesantren juga memuat kalimat “wajib berkomitmen mengamalkan nilai Islam rahmatan lil ‘alamin dan berdasarkan Pancasila, UUD 1945, serta Bhinneka Tunggal Ika.” Kalimat ini memastikan pesantren-pesantren yang “diakui” oleh negara tidak menjadi tempat berseminya ajaran kaum Khawarij yang gemar mengkafirkan sesama umat Islam dan memusuhi negara dengan tuduhan Thoghut dan lain sebagainya. 

Masuknya berbagai macam faham Islam Politik ke Indonesia banyak memberikan pengaruh terhadap gerakan Islam di dalam negeri. Tidak sedikit di antara faham-faham yang masuk ini mengajarkan sikap anti pemerintah dan sistem kenegaraan yang sudah mapan. Di antaranya bahkan secara terang-terangan menggunakan teror sebagai instrumen perjuangannya. Ada juga yang menghindari jalan kekerasan tetapi tetap bertujuan mengganti sistem bernegara dan pemerintahan. 

Karena gerakan-gerakan politik agama yang anti pemerintah semacam ini menggunakan nama Islam dalam perjuangannya, maka kebanyakan dari mereka menggunakan lembaga-lembaga pendidikan Islam dan “pesantren” sebagai basis pergerakan dan pendidikan—selain kajian-kajian islam di perkotaan dan kampus-kampus. 

Reformasi yang membawa semangat kebebasan dan keterbukaan, selain membawa perubahan positif juga memberikan ruang kepada gerakan-gerakan seperti ini untuk berkembang. Akibatnya, kekerasan atas nama agama, sikap intoleran, sektarianisme, dan anti keberagaman semakin terasa menggantikan suasana harmoni yang selama ini menjadi ciri kehidupan sosial-keagamaan bangsa Indonesia. Beberapa Pemilu juga diwarnai dengan memanasnya suhu politik yang meneror kebhinnekaan. 

Kita patut mengapresiasi program Halaqoh Pesantren yang dilaksanakan oleh pemerintah melalui Kementerian Agama. Dalam rangka mempromosikan moderasi beragama dan kerukunan antar umat beragama, Kementerian Agama memfasilitasi diskusi ilmiah yang dihadiri oleh para kiyai-ulama, para guru, dan santri senior untuk membicarakan tema-tema terkait ajaran Islam Wasathiyah. 

Ajaran Islam, khususnya aliran Sunni, memiliki ajaran yang lengkap dan multi-dimensi. Islam tidak hanya berbicara tentang fikih ibadah dan tauhid, tetapi juga membahas tema-tema kenegaraan, etika, dan sosial. Umat Islam sebagai kelompok mayoritas di Indonesia dengan jaringan pesantrennya ikut bertanggungjawab atas terciptanya harmoni dan kedamaian. 

Ajaran dan tuntunan Islam terkait interaksi sosial, amar ma’ruf-nahi munkar, bagaimana bersikap sebagai warga negara, menjaga keamanan-ketertiban, dan lain sebagainya yang selama ratusan tahun selalu dijadikan pegangan umat Islam dan terbukti dapat menciptakan harmoni dan kedamaian, perlu diperkuat lagi. 

Metode hisbah atau amar ma’ruf-nahi munkar versi pemahaman Mu’tazilah dan Khawarij yang tidak sesuai dengan ajaran Sunni, sempat membuat kekacauan dan menimbulkan keresahan di negeri ini. Pemahaman menyimpang mengenai “Ummat” dan bentuk negara yang sah juga menimbulkan masalah serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Pesantren sebagai basis keilmuan Islam memegang peran utama dalam mengembalikan pemahaman Islam yang moderat dengan semangat rahmatan lil ‘alamin. 
Segala bentuk dan sikap beragama yang bertentangan dengan semangat kebaikan, kedamaian, dan kemaslahatan bagi seluruh penduduk bumi, bukanlah ajaran yang dibawa oleh nabi mulia Muhammad saw. 

Pergeseran ajaran Islam yang berorientasi pada ramhat dan kebaikan menuju orientasi politik praktis kekuasaan yang cenderung sektarian dan anti sunnatullah dalam keberagaman, tak lepas dari pengaruh pemikiran trans-nasnionalisme Islam dan dinamika politik global. 

Undan-Undang pesantren yang “membatasi” definisi pesantren dan menekankan nilai kebangsaan menjadi sangat penting dalam upaya menghalau berkembangnya pemahaman Islam yang sektarian dan intoleran. Undang-Undang pesantren juga merupakan sebuah pengakuan atas peran pesantren dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memberikan pemahaman Islam Wasathiyah yang benar. 

Ketika masih diusulkan dan dibahas, ada yang khawatir UU Pesantren akan menghilangkan ciri khas pesantren dan bahkan membahayakan para kiyai karena segala hal akan diatur oleh UU tersebut. 

Kini terbukti bahwa UU Pesantren lebih banyak mendatangkan maslahat daripada madharat. Bahkan Perpres 82 Tahun 2021 Tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren semakin menunjukkan keseriusan negara dalam menjadikan pesantren sebagai pusat pengajaran Islam dan pusat dakwah. 

Kementerian Agama yang secara teknis bekewajiban menjalankan amanat UU Pesantren bahkan telah membuat roadmap Kemandirian Pesantren terkait pemberdayaan ekonomi masyarakat. UU Pesantren memang menyebutkan secara eksplisit bahwa pesantren memiliki tiga fungsi yaitu, pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat. 

Dukungan penuh pemerintah terhadap pesantren sebagai pusat pengajaran Islam Wasathiyah dan pemberdayaan ekonomi masyarakat kita harapkan akan membawa manfaat bagi terciptanya harmoni kehidupan umat beragama. 

***

*) Oleh: Ali Mashar, Sekretasis PP MDS Rijalul Ansor, pengamat sosial-keagamaan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Imam Kusnin Ahmad
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES