Kopi TIMES

Lorong-Lorong Gelap Legislasi

Senin, 04 Oktober 2021 - 15:33 | 54.10k
Muhammad Ainul Yaqin Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Muhammad Ainul Yaqin Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – “Jika ingin melihat seberapa bagusnya tatanan sebuah negara, maka lihatlah hukumnya” pernyataan yang disampaikan oleh Prof. J.E Sahetapy dalam sebuah forum ilmiah tersebut mengindikasikan bahwa hukum sebagai tools of social control merupakan alat utama untuk mengawal tumbuh kembangnya suatu negara terutama negara yang menegaskan bahwa dirinya dioperasikan berdasarkan hukum seperti indonesia.

Hukum dalam artian yang luas memiliki makna yang beragam mulai dari seperangkat aturan, sistem nilai, hingga alat bagi penguasa untuk mengatur rakyatnya, yang dari pelbagai hal tersebut Lawrence M Friedman  memandang bahwa terdapat rangkaian sistem yang mampu menjelaskan wajah hukum secara keseluruhan yang terdiri dari substance (substansi hukum), structure (struktur penegakan hukum), dan culture (budaya hukum). Dari ketiga klasifikasi inilah kemudian kita dapat melihat  terhadap bagaimana cara hukum itu bekerja. Dalam tulisan ini penulis akan mencoba menjelaskan keterkaitan antara ketiga hal tersebut dengan kondisi dan situasi dunia legislasi kita hari ini yang dinilai terdapat banyak sekali penyimpangan dan belum mampu menjawab persoalan yang terjadi di masyarakat.

Perlu dipahami secara praktik, bahwa hukum itu bukanlah suatu hal yang netral akan tetapi merupakan suatu bentuk akumulasi dan akomodasi kepentingan dari setiap individu maupun kelompok warga negara sehingga terdapat aktor yang membidani produk hukum tersebut. Mari kita lihat siapa saja aktor yang terlibat di balik pembuatan hukum, ambil saja sample hukum itu adalah UU.

Secara konstitusional pembuat UU itu diberikan mandatnya kepada lembaga legislasi bernama DPR yang dibantu oleh Presiden dan DPD dalam pengajuan dan proses penyerapan aspirasinya. Dimana dalam tahapan proses tersebut idealnya Presiden dan DPR saling beseberangan untuk menemukan pro-kontra dan baik buruknya UU tersebut bagi masyarakat sehingga mampu untuk saling menambal kekurangan gagasan dari masing-masing lembaga. Namun konfigurasi politik saat ini menggambarkan situasi yang sangat tidak proporsional terlebih dari partai politik kubu koalisi/pemerintah memiliki dukungan yang terlalu kuat sehingga dengan mudah meloloskan suatu produk hukum tanpa ada telaah kritis terlebih dahulu dan terkesan bahwa setiap produk hukum yang mengandung kepentingan pemerintah sudah pasti akan lolos, yang dalam optik ilmu politik hal ini diistilahkan sebagai pelaksanaan “demokrasi prosedural yang tidak substansial”.

Kendatipun kubu koalisi yang mendominasi dalam pengambilan keputusan namun sangat aneh dan ironis ketika kita melihat angka prolegnas yang sama sekali tidak mencapai target seperti yang dilansir Puskapol Universitas Indonesia dari target 248 RUU tidak sampai seperempatnya yang mampu diselesaikan oleh DPR masa periode 2019-2024, bukankah seharusnya ketika kekuatan politik itu terunifikasi maka akan lebih mudah untuk mencapai konsensus?, Masih menjadi misteri. 

Tidak hanya sampai disitu secara substansi banyak sekali UU kontroversial yang dipaksakan untuk disahkan dalam usaha perancangan dan perevisiannya sebagaimana yang terjadi pada UU Minerba, UU KPK, UU MK, dan UU cipta kerja (yang “katanya” dengan metode omnibus mampu meringkas ratusan UU kedalam suatu UU induk untuk menyederhanakan peraturan, namun secara faktual hal tersebut tidaklah terbukti) mari kita lihat secara yuridis contoh nyata betapa berantakannya proses penyusunan revisi UU KPK yang diamini oleh mahkamah konstitusi dalam putusan MK no 70/PUU-XVII/2019 Hakim wahidudin adams menjelaskan bahwa perubahan dalam UU KPK secara nyata telah mengubah postur, struktur, arsitektur, dan fungsi KPK secara fundamental.

Perubahan ini sangat nampak sengaja dilakukan dalam jangka waktu relatif sangat singkat dan momentum spesifik yakni Hasil Pemilu 2019 telah diketahui. Lalu, mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden untuk disahkan Presiden menjadi UU hanya beberapa hari menjelang berakhirnya masa bakti anggota DPR RI periode 2014-2019 dan beberapa minggu menjelang berakhirnya pemerintahan Presiden Joko Widodo periode pertama.

“Momentum spesifik ini mengundang pertanyaan besar? memang tidak secara langsung menyebabkan UU ini inkonstitusional. Tapi, singkatnya waktu pembentukan UU ini jelas berpengaruh signifikan terhadap sangat minimnya partisipasi masyarakat,” kutipan dissenting opinion tersebut secara gamblang memperjelas watak kekuasaan dibalik proses penyusunan regulasi ini ialah bukan ditujukan untuk kepentingan rakyat, akan tetapi ditujukan untuk kepentingan politik transaksional semata. Dimana hari ini terbukti dengan sendirinya KPK yang awalnya menjadi harapan rakyat kini telah tumbang akibat revisi UU tersebut, preseden tidak baik ini yang menjadi tanda tanya berikutnya, bagaimana mungkin lembaga yang kualitas produknya diragukan akan mampu untuk mengamandemen UUD 1945 yang lebih kompleks? . 

Lalu apa solusinya? pada hakikatnya hal ini bukanlah ranah pada persoalan hukum semata akan tetapi juga termasuk dalam ranah moral dan political will dari actor negara yang membuat, mengawasi dan menjalankan hukum tersebut yang apabila kekuasaan tidak dijalankan secara beretika maka jangan salahkan kalau negara indonesia yang berdasarkan hukum justru dikacaukan oleh produk hukum itu sendiri.

Untuk itu, sudah sepatutnya kita tidak hanya berdebat soal apa itu hukum dan bagaimana membuatnya (substance) sudah seharusnya kita juga menjadikan pertimbangan structure pembuat dan penegak serta budaya hukum yang tercipta dalam lorong-lorong legislasi itu sendiri karena produk hukum yang digawangi oleh pembuat yang tidak baik maka akan menciptakan kondisi chaos, padahal “hukum itu berlayar diatas samudera etika” sehingga tanpa pertimbangan moral dan etika yang baik (sebagaimana yang diafirmasi oleh prof satjipto rahardjo) produk hukum itu hanya akan menjadi mayat-mayat hukum, sekian. 

***

*) Oleh : Muhammad Ainul Yaqin Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES