Kopi TIMES

Antara Filsafat, Agama dan Pengetahuan

Sabtu, 02 Oktober 2021 - 15:14 | 169.00k
Andre Anugrah, S.Pd., M.Pd.; Mahasiswa Doktoral di bidang Linguistik Univesitas Pendidikan Indonesia; Dosen Linguistik dan Sastra di Universitas Bina Sarana Informatika.
Andre Anugrah, S.Pd., M.Pd.; Mahasiswa Doktoral di bidang Linguistik Univesitas Pendidikan Indonesia; Dosen Linguistik dan Sastra di Universitas Bina Sarana Informatika.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Ketika seorang awam mendengar kata filsafat terlontar dari mulut seseorang, apa sekiranya taksiran si awam dalam proses memaknai kata ini. Apakah dia akan mengatakan serta merta tak tahu? Barangkali dia akan berpura-pura tahu?

Boleh jadi skala paling moderat ia akan mengatakan apa itu filsafat dari apa-apa yang pernah ia dengar berupa aneka input yang bisa saja tidak dimengerti (incomprehensible input). Jika input yang diperoleh seorang awam berupa berita bohong (hoax), pastilah kesalahpahaman yang akan terjadi dalam pemaknaan. Yang saya tahu, ada sejumlah kelompok yang begitu keras penolakannya akan filsafat, mewanti-wanti manusia akan bahayanya belajar filsafat. Tidak main-main para tokoh penolak ilmu ini berasal dari tokoh Islam terdahulu contohnya seperti Ibnul Jauzi (508H-597). Ibnul Jauzi mengatakan, 

“Adapun sumber intervensi pemikiran dalam ilmu dan akidah adalah berasal dari filsafat. Ada sejumlah orang dari kalangan ulama kita belum merasa puas dengan apa yang telah dipegangi oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu merasa cukup dengan al-Qur`ân dan Sunnah. Mereka pun sibuk dengan mempelajari pemikiran-pemikiran kaum filsafat. Dan selanjutnya menyelami ilmu kalam yang menyeret mereka kepada pemikiran yang buruk yang pada gilirannya merusak akidah”. 

Bahkan Ibnu Shalah, seorang pakar Ilmu Hadits abad kesembilan Hijriah rahimahullah menghukumi ilmu filsafat sebagai biang atau penyebab utama ketololan, rusaknya akidah, sumber kebingungan, kesesatan dan membangkitkan penyimpangan dan zandaqah (kekufuran). Persoalan yang muncul sekarang adalah apakah kita boleh mempelajari ilmu filsafat baik secara global (Mujmal) maupun secara terperinci (Mufashil) misalnya kita mempelajari filsafat ilmu, filsafat teologi, filsafat bahasa, filsafat hukum, dan lain sebagainya?

Saya menduga keras pernyataan-pernyataan dari para imam ilmu hadis maupun fiqih terkait haramnya belajar filsafat bersifat terikat yakni hanya dalam kawasan filsafat teologi yang memang saya amat sangat setuju akan membawa kepada ragam persoalan mengenai Tuhan. Sebagaimana kaidah yang berjalan dalam metodologi filsafat ma’ruf dikenal dengan ontologi, epistemologi dan aksiologi. Amat sangat mungkin seorang filsuf ketika berhadapan dengan makna Tuhan dia mulai bertanya akan hakikat Tuhan yang disebut Tuhan tersebut, kemudian ia akan meneruskan bertanya bagaimana Tuhan tersebut beraktifitas, membuat kebijakan hukuman, dan lain sebagainya terkait dengan kaidah epistemologi yang diterapkannya, kemudian ia melanjutkan bertanya tentang signifikansi Tuhan tersebut, tindakanNya, kehendakNya dan seterusnya yang berjalan lurus dengan kaidah aksiologi.

Hal ihwal seperti ini tentulah akan melahirkan ragam kelancangan berbalut keraguan yang akan menghantarkan seorang insan berkeyakinan untuk ragu kemudian ia akan masuk ke fase agnostisme (kezindiqan) kemudian menuju kekufuran, Waliyazubillah. Saya sangat sepakat filsafat seharusnya tidak terlalu mengurusi ihwal Aqidah sehingga bisa menyelamatkan kita dari kelancangan-kelancangan dalam berpikir. Selanjutnya, apakah filsafat boleh dipelajari? 

Filsafat secara ringkas bisa didefinisikan sebagai suatu ilmu pengetahuan yang berhasrat keras dalam mencapai kebenaran yang asli (Al-Farobi, 382 S.M - 322 S.M). Sesuatu yang diyakini ada semestinya dapat lulus melewati kaidah-kaidah dan ketetapan-ketetapan pembukti bahwa iya ada.  Prinsip umum dari filsafat ini adalah sebagai mesin verifikator, ia akan memverifikasi jika sesuatu hal yang ditaruh ke dalamnya memang real, palsu atau di antara keduanya.

Sekarang mari kita berpikir apakah mempelajari hal seperti ini terlarang? Tentu tidak!. Bak pisau akan bervariasi dalam kegunaannya tergantung pada tangan siapa ia digenggam. Seorang pembelajar filsafat seharusnya bersifat trail-blazing (membuka jalan) bukan menutup akses pemerolehan ilmu itu sendiri. Dengan mempelajari filsafat kita akan difasilitasi oleh metodologinya untuk memperoleh ilmu yang real. Ia akan mencegah kita bergampangan jatuh terperosok ke dalam sebuah ideologi yg destruktif yang bisa membumi hanguskan kita, ia mencegah kita dari bergampangan dalam bertutur, bertindak dan berpikir.

Filsafat seharusnya melandasi ragam aktifitas dalam pemerolehan manfaat. Di antaranya Ilmu (Science) dan Pengetahuan. Mahasiswa/i di Indonesia barangkali kerap mendengar nama mata kuliah filsafat ilmu? Apa itu filsafat ilmu? Apakah ilmu memang memiliki filsafat dan kenapa namanya bukan filsafat pengatahuan, bukankah ilmu bagian dari pengetahuan?

Menurut Prof. Bambang Sugiharto, seorang guru besar dalam bidang filsafat. Filsafat ilmu merupakan suatu refleksi atau perenungan ilmiah, rasional, kritis, dan radikal atas hal-hal pokok yang mendasar dalam pemerolehan ilmu pengetahuan. Kemudian kita akan bertanya pemerolehan yang dimaksud apakah pemerolehah ilmu atau pengetahuan? Equivalensi penerjemahan dari filsafat ilmu adalah Philosophy of Science, sementara Filsafat Pengetahuan diterjemahkan Philosophy of Knowledge.

Jadi yang mana yang tepat? Kita mempelajari filsafat ilmu atau pengetahuan?. Secara etimologi sains dapat didefinisikan sebagai usaha-usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari segi kenyataan dalam alam manusia. Dengan kata lain untuk memperoleh sains kita butuh melewati yang diistilahkan sebagai scientific methods (metode-metode saintifis). Sementara pengetahuan secara etimologi memiliki sifat yang lebih luas dan global.

Terkadang pemerolehan pengetahuan tidak terlalu dibutuhkan usaha yang keras yang kita maksudkan adalah “commonsense”. Menurut guru kami Dr. Dadang Sudana, sains merupakan bagian dari knowledge (pengetahuan). Beliau menjelaskan bahwa setidaknya ada 4 jenis knowledge (pengetahuan) yang pertama dan tertinggi dan tidak bisa dibantah ialah Wahyu dalam bentuk Firman Allah Ta’ala dan yang kedua adalah Hadits-hadits Rasul-rasulNya ‘Alaihimussalatuwassalam yang diperoleh melalui malaikat Jibril, kedua adalah sains itu sendiri yang diperoleh melalui metode saintifis, yang ketiga apa yang kita sebut dengan commonsense yang tidak dibutuhkan usaha keras dalam memperolehnya contoh ketika kita berbelanja di pasar, bertanya harga suatu barang dari penjual, pengetahuan yang kita peroleh dari si penjual berupa informasi harga barang bersifat commonsense (kewajaran), dan yang keempat pengetahuan filsafat di mana filsafat itu sendiri tergolong pengetahuan.

Dari penjelasan singkat di atas saya berpendapat, nama filsafat ilmu lebih cocok daripada filsafat pengetahuan. Dikarenakan ada beberapa pengetahuan yang tidak bisa kita didapatkan dengan metode filsafat seperti pengetahuan teologi, dan ada yang jenis knowledge yang tidak terlalu berminat dengan filsafat yaitu commonsense. Jadi pendapat saya nama filsafat ilmu jauh lebih mencocoki. 

Seseorang yang menguasai metodologi filsafat akan diuntungkan dalam hampir semua aktifitas yang ia lakoni. Sebagai contoh, nama besar Anna Wierzbicka yang dikenal sebagai ibu Semantik Alami Meta-bahasa (Natural Semantic Metalanguage/NSM) terpengaruh dari konsep filsafat bahasanya Gottfried Leibniz yang merupakan filsuf besar yang mencetuskan sebuah padangan bahwa manusia telah dilengkapi tuhan dengan Universal Alphabet of Human Thoughts yang mendorong Wierzbicka mengembangkan Universal Semantic Primes, dan mendorong Cliff Goddard (salah satu pioner NSM) dalam mengembangkan Molekul Semantik dan Templet Semantik. Saya beranggapan tokoh Noam Chomsky yang terkenal dengan Universal Grammarnya juga terpengaruh oleh Leibniz.

Dari sekelumit cerita ini kita bisa simpulkan bahwa filsafat lebih memiliki sifat sebagai inisiator terhadap para pemikir untuk melahirkan ragam teori. Saya garis bawahi pemikir karena kaum yang bisa mengaplikasi ilmu ini hanya kaum yang memerdayakan otaknya. Jangan heran jika ditemukan sejumlah filsuf yang sedikit bahkan sangat skeptis. Mereka bersifat skeptis sebetulnya tidak lain dan tidak bukan untuk mengamankan otaknya untuk dimasukin oleh input-input yang membahayakan. Dengan kata lain mempelajari filsafat ilmu secara benar dan bijak akan mempengaruhi kebijakan kita dalam memproses, memperoleh dan memanfaatkan pengetahuan. 

Kemudian, sadar atau tidak sadar, para fuqoha (ahli fiqih) seperti Nu’man bin Tsabit (80-148H) atau yang dikenal dengan Abu Hanifah yang merupakan pendiri Madzhab Al-Hanafi di Bagdhad dikenal sebagai bapak pendiri Madrasah Ahli Ro’yi (sekolah ahli akal) dikarenakan beliau begitu banyak menggunakan qiyas (analogi) dalam istinbath atau penetapan hukum fiqih dalam islam. Kaidah penggunakan qiyas ini mempengaruhi para imam Ahli Fiqih lainnya yang paling besar namanya adalah Al-Imam Asysyafi’I (150-204 H) pendiri Mazhab Syafi’i yang begitu masyhur di mana ia menggabungkan dua madrasah besar yakni Madrosah Ahlul Hadits yang dipimpin oleh Imam Malik (90-174H) dan Madrosah Ahli Ro’yi yang dipelopori oleh Imam Abu Hanifa (80-148H) Rahmatullahi’alaihim.

Bahkan seorang ahli bahasa, sejarawan, pemuka fiqih dzhohiri (fiqih tekstual) yang menolak analogi (qiyas) secara total, Al-Imam Ali Ibnu Hazm al-Andalusi dalam kitab beliau yang sangat berharga Al-Muhalla secara tidak sadar telah menggunakan qiyas dalam salah satu bagian fatwa beliau tentang musik, di mana beliau menganalogikan bunyi dari alat-alat musik dengan suara kicauan burung, ia berpendapat jika bunyi dari alat-alat musik tersebut haram untuk didengar tentulah suara kicauan burung juga haram. Tidak syak lagi analogi merupakan bagian dari filsafat logika/penalaran yang isinya penuh dengan presuposisi, premis, perbandingan, peluang dan lain sebagainya. 

Jika kita sebutkan satu per satu tentang nilai dari penerapan ilmu filsafat terhadap aneka ragam ilmu pengetahuan baik itu di bidang agama, humaniora, matematika dan lain sebagaimanya, tentulah tidak akan pernah cukup tinta untuk memadainya. Yang penting dari yang terpenting adalah setiap insan yang berpikir dihimbau untuk menggunakan filsafat lebih sebagai metodologi pemerolehan ilmu. Terapkan kaidah ontologi (apa hakikat dari sesuatu?), epistemologi (bagaimana cara memperoleh sesuatu tersebut?) dan aksiologi (apa manfaat atau signifikansi dari sesuatu yang hendak diperoleh?) di setiap aktifitas pemerolehan ilmu.

Tiga kaidah besar ini akan menempa kita untuk berpikir kritis, rasional, runut dan terarah dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Di samping itu, berhati-hatilah menerapkan kaidah-kaidah filsafat dalam hal ihwal pemaknaan Tuhan karena dikhawatirkan manusia akan terjerumus dalam kelancangan-kelancangan berpikir yang mengarah pada agnotisme menuju ateisme. 

***

*) Oleh: Andre Anugrah, S.Pd., M.Pd.; Mahasiswa Doktoral di bidang Linguistik Univesitas Pendidikan Indonesia; Dosen Linguistik dan Sastra di Universitas Bina Sarana Informatika.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES