Kopi TIMES

Dilema Desa Wisata

Jumat, 01 Oktober 2021 - 17:20 | 71.80k
Astra Tandang, Penggiat Desa, Alumnus Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD”, Yogyakarta.
Astra Tandang, Penggiat Desa, Alumnus Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD”, Yogyakarta.

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTASEBENTAR, kita lepas dulu pembicaraan soal Jakarta, tentang kemacetan, banjir dan sejumlah akrobatik poltik yang terjadi di dalamnya. Mari kita ke desa. Hitung-hitung mengasah kepekaan lokal kita. Desa, sebuah arena masyarakat tatap muka yang selalu setia merawat kesamaan emosi. Desa bukanlah masyarakat digital. Melainkan tatap muka adalah hakekat dan tradisi orang-orang desa. 

Di Manggarai Timur (Matim), Bupati dan Wakil Bupati  melantik beberapa Kepala Desa (Kades) di kawasan objek wisata. Tepatnya di Rana Kulan. Sebuah Danau yang pesonanya mengundang daya pikat bagi banyak wisatawan. Meski memang beberapa infrastruktur pendukung untuk memudahkan akses ke Ranah Kulan masih butuh sentuhan serius pemerintah, seperti jalan, jaringan listrik negara atau pun jaringan internet. 

Pilihan tempat pelantikan para pejabat desa seperti ini memang agak jarang kita temukan. Di beberapa daerah di Indonesia mungkin saja ada, tetapi tidak semua. Meski ini tidak lebih sebagai upacara seremonial. Namun apresiasi atas niat baik Pemerintah daerah (Pemda) Matim mempromosikan wisata di daerahnya ini pantas untuk diberikan. Sampai-sampai  Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Sandiaga Uno bahkan rela membuat video pendek berisi ucapan yang sama, apresiasi. Menurut Sandi ini bagian dari Pemda dan desa untuk mendukung kerja-kerja pengembangan pariwisata nasional. 

Dilema

UU Desa No.6 tahun 2014 dapat dilihat sebagai peraturan yang cukup progresif dan revolusioner dari sejumlah produk peraturan tentang desa dari sejumlah rezim kekuasaan sebelumnya. Produk aturan ini tampak sebagai upaya penebusan. Meminjam istilah salah satu perancang UU Desa Yando Zkaria, sebagai ‘utang yang harus dibayar’ terhadap segala bentuk marginalisasi dan korporatisasi terhadap desa yang dilakukan melalui produk peraturan oleh rezim kekuasaan sebelumnya.

Pemerintah desa dengan asas rekognisi dan subsidiaritas yang terkandung dalam produk peraturan ini, tidak lagi sekedar bertugas menyelenggarakan rumah tangga, melainkan  memiliki kuasa ruang yang besar untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri. Satu diantaranya berkaitan dengan memetakan, menghadirkan dan mengurusi desa wisata. 

Uang Negara yang masuk ke desa untuk mendukung pengembangan desa wisata pun tidaklah sedikit. Jumlahnya fantastis. Tidak hanya dari  Dana Desa (DD) yang jumlahnya miliaran itu, dari Kemenparekraf bahkan meluncurkan program khusus yang diberi nama bantuan insentif pemerintah (BIP) untuk pelaku ekonomi kreatif dan desa wisata. Nilainya tidak sedikit, yakni  Rp 60 miliar. 

Melalui kuasa ruang yang besar dan didukung dengan dana segar seperti ini tentu bisa dijadikan daya ungkit bagi kemandirian desa. Desa pun bisa lebih bertenaga, baik secara social, budaya, ekonomi maupun teknologi. Selain mendatangkan pundi-pundi Pendapatan Asli Desa (PADes), di sisi yang lain  akses terhadap kesejahteraan oleh masyarakat desa pun tentu semakin mudah didapat.

Desa wisata sendiri selama ini dilembagakan dalam bentuk BUM Desa. Di BUM Desa sendiri dikenal dengan istilah tiga A, yakni aset, actor dan arena. Aset adalah harta yang dimiliki seperti potensi alamiah maupun budaya yang kemudian dalam konteks ini bisa dijadikan sebagai destinasi wisata. Aktor adalah mereka yang menjadi pengelola bisnis skala desa. Mereka adalah perangkat desa atau pun warga desa sediri. Arena adalah ruang di mana BUMDesa akan tumbuh dan berkembang.  

Ketiga hal tersebut menjadi kekuatan penting dalam membangun desa wisata. Meski yang terjadi di lapangan tidak jauh dari beragam evaluasi. Kepala desa misalnya, tidak jarang menjelma menjadi mandor proyek ketimbang menjadi pemimpin rakyat. Setiap saat harus bergelut dengan admisnistrasi keuangan dan laporan yang bertumpuk.

Secara arena, desa juga belum berhasil merebut semuanya. Parkarsa desa masih banyak dibatasi dan dilarang. Misalnya dengan kehadiran frasa ‘belum ada payung hukumnya’, ‘belum ada aturannya’, atau ‘aturan ini melarang’. Kecurigaan dan pengawasan jauh lebih menonjol ketimbang pembinaan dan pemberdayaan. Hal ini biasanya terjadi akibat semangat UU Desa direduksi hanya sebagai proyek DD atau proyek desa wisata. 

Alhasil, BUM Desa yang bergerak di desa wisata pun tidak lagi serius diurus agar tumbuh sehat, mandiri dan kuat, serta bermanfaat untuk kehidupan masyarakat. Malah yang terjadi hanya menjadi lading upeti. Ia hadir tunggu ada bantuan dan perintah dari atas, misal Bupati. Meskipun ia dipaksa berjalan bahkan dicambuk sekalipun ia tetap menjadi kerdil. Karena ia hadir bukan karena prakarsa desa, melainkan karena perintah dari atas. Tidak mengherankan jika daftar panjang kasus korupsi akhir-akhir ini banyak diisi oleh para kades.  Karena desa wisata dijadikan ajang buru rente.  

Memuliakan Desa

Ditengah proyek DD, administrasi, aturan, dan perangkat yang mengatur, mengendalikan, memperlalat dan menarget desa, salah satu jalan untuk memuliakannya adalah dengan menghadirkan desa wisata. Desa wisata yang terintegrasi ke dalam BUM Desa menjadi penting perananya dalam mengembangkan ekonomi desa. Ia tidak harus terjebak dalam bisnis konvensional yang menimbang untung rugi. Melinkan hadir dengan semangat kororporasi kerakyatan serta hasil konsoslidasi desa untuk menjawab isolasi dan ekonomi di desa. Karenanya, utuk mencapai tujuan tersebut harus ada koordinasi, konsolidasi, dan kolaborasi. 

Melalui rekognisi-subsidiaritas, desa mendapatkan mandat dari Negara untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, seperti kebutuhan infratrktur, ekonomi lokal atau pelayanan dasar. Mengurus itu semua tentu dilakukan dengan ‘cara desa’ sendiri, berdasarkan prakarsa, adat istiadat atau kearifan lokal yang dimiliki.

Karena itu, untuk memuliakan desa, kerja pemberdayaan penting dilakukan. Mulai dari katalisasi, edukasi, fasilitasi untuk mengkonsolidasikan kekuatan local   yang dimiliki desa.  Sehingga desa wisata itu bukan hanya sekedar proyek yang datang dari atas atau dijadikan bahan pertunjukan para pejabat. Melainkan lahir dari pengetahuan, kearifan, prakarsa dan kepentingan desa itu sendiri. 

***

*) Oleh: Astra Tandang, Penggiat Desa, Alumnus Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD”, Yogyakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

 

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES