Kopi TIMES

Rutinan G 30 S/PKI

Kamis, 30 September 2021 - 11:15 | 82.79k
ilustrasi monumen pancasila sakti. (Dena Setya Utama/TIMES Indonesia)
ilustrasi monumen pancasila sakti. (Dena Setya Utama/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – SUDAH tanggal 25 September. Jam 21.00. Tahun 2021 ini. Saya bernafas lega. 

Lega. Karena di media dan jagad maya belum ketemu isu-isu tentang PKI. Dengan segala penyedapnya. 

Lega. Karena belum ada para tokoh yang bicara lagi tentang PKI. 

Lega. Karena menjelang peringatan G 30 S/PKI setiap tanggal 30 September belum ada lagi aura negatif tentang PKI beterbangan. Di dunia maya. 

Mengingat, bahwa empat-lima tahun terakhir, sejak masuk bulan September saja sudah ramai. Masif. Bahkan sangat membikin pikiran mengawang-awang ke peristiwa kelam itu. 

Yang bagi kami, anak-anak tentara dan anak-anak Ansor, zaman itu sangatlah menyedihkan. Jika mengingatnya. Mengenang tragedi itu.

Namun, ternyata melewati tanggal 20 September belum ada apa-apa. Bahkan sampai 25 September. Alhamdulillah. 

Eh, belum jenak merasakan kelegaan, keesokan harinya hilang. Isu PKI muncul (lagi). Keluarnya dari bibir Gus Gatot. Yang mantan Panglima TNI. Pula penggagas KAMI. Jenderal (Purnawirawan) Gatot Nurmantyo. 

Terma "Penyusupan" yang Selalu Diulang

Seperti tahun-tahun sebelumnya, pembicaraan seputar PKI adalah kata "menyusup". Beberapa tahun lalu isunya berkobar bahwa PKI telah menyusup ke istana. Ke masjid. Ke kelompok Islam. Ke partai.

Bahkan yang sering sekali adalah menyusup ke NU. Ke Banser. Ke Ansor. Beberapa kali ada begitu. 

Meski kadang NU dan semua banomnya menyikapi santai. Karena kiai-kiai NU dan Ansor-Banser, sebelum 1965 silam sudah berdarah-darah. Babak belur face to face dengan orang-orang dalam tubuh PKI. 

Nah, beberapa hari terakhir ini kalimat "menyusup" didorongkan ke TNI. Tak tanggung-tanggung, ke markas Kostrad. Pasukan elite yang zaman PKI dulu bernama RPKAD. 

"Bukti nyata jurang kehancuran itu adalah persis di depan mata. Baru saja terjadi adalah Museum Kostrad. Betapa diorama yang ada di Makostrad, dalam Makostrad ada bangunan, bangunan itu adalah kantor tempatnya Pak Harto (Soeharto) dulu," kata Gus Gatot.

"Di situ direncanakan gimana mengatasi pemberontakan G 30 S/PKI di mana Pak Harto sedang memberikan petunjuk ke Pak Sarwo Edhie sebagai Komandan Resimen Parako dibantu oleh KKO," sambung Gus Gatot pada sebuah acara webinar yang berjudul 'TNI Vs PKI' pada Minggu (26/9/2021). 

Gus Gatot menyatakan bahwa 'penghilangan' patung tokoh nasional G 30 S/PKI di Markas Kostrad itu sebagai upaya penyusupan paham komunis ke tubuh militer Indonesia. Seperti isu-isu yang sebelumnya.

Disampaikan Gus Gatot, bahwa indikasi-indikasi itu tidak dapat dibiarkan. Karena dapat mengulang sejarah kelam tahun 65.

"Saya mengetuk hati para patriotisme ksatria prajurit AD, AL, AU untuk bahu membahu mawas diri membersihkan. Jangan sampai paham ini bisa masuk yang akan meruntuhkan nilai-nilai perjuangan patriotisme," ucap Gus Gatot.

Duar! Meledaklah kalimat ini. Tepat tiga hari menjelang 30 September. Sahut menyahut. Goreng oseng-oseng. 

Cak Said Didu komentar. Cak Fadli Zon juga merespons. Mungkin juga beberapa lagi akan muncul. Meramaikan bursa terma "penyusupan" ini. Kita tunggu saja.

Beberapa tokoh di atas itu juga mulai membawa kalimat lain. “Setelah baliho, kini patung.” Cuit Cak Zon di akun Twitter miliknya pada Selasa, 28 September 2021.

Kalimat Cak Zon yang anggota DPR dari Gerindra itu sepertinya langsung menohok ke sasarannya, Gus Dudung. Pangkostrad Letjen Dudung Abdurrachman. 

Gus Dudung, sosok yang dulu juga mencopoti baliho HRS waktu menjadi Pangdam Jaya. Sosok yang dulu juga dikomentari Cak Zon, Cak Didu, dan beberapa lainnya. 

Cukup keras juga waktu itu. "Apa urusannya Pangdam Jaya memerintahkan mencopot baliho? Di luar kewenangan dan tupoksi TNI," kata Cak Zon di akun Twitternya, Jumat (11/10/2020).

Sahut menyahutlah saat itu. Silih berganti. Kalimat itu menjadi petikan banyak media. 

Gus Dudung Abdurrachman Lagi

Pangdam Jaya Mayjen Dudung Abdurrahman kala itu pun bergeming. Ia terus melanjutkan pembersihan. 

Bahkan sampai ke Petamburan. Merobohkan papan-papan di markas FPI. Mencopoti semua atribut FPI. 

Pun sekarang tetap dilakukannya. Dengan tegas. Tapi tetap santun ala TNI. 

Menjawab penyusupan PKI ke TNI yang disampaikan seniornya. Gus Gatot Nurmantyo.

Statemennya tegas sekali. Intinya, tidak ada penyusupan itu. Apalagi jika hanya diukur dari diambilnya kembali oleh sang pemilik diorama patung beberapa tokoh tentara di markas Kostrad tersebut.

Ada guratan kekecewaan dan kemarahan Gus Dudung. Saat disudutkan dan dituduh begitu. Tampak dari mimiknya. Pula dari kalimat bantahannya. 

Namun kesantunannya sebagai cicit wali tanah Jawa, Sunan Gunung Jati, ia sumeleh. Naluri kesabaran Gus Dudung muncul.

Dalam bahasa khasnya, Gus Dudung mengingatkan kecerobohan Gus Gatot. Dengan kalimat singkat. Namun padat. 

Sebagai senior Gus Dudung di TNI, pula mantan Panglima TNI, Pangkostrad ini bilang sesungguhnya Gus Gatot bisa melakukan tabayyun. Klarifikasi langsung. Ke dirinya selaku panglima Kostrad.

Dalam bahasa lain, Gus Dudung berpesan ke Gus Gatot bahwa sebelum mengeluarkan statemen, seharusnya tabayun dulu. Agar tidak menimbulkan prasangka buruk. Bahkan menjadi fitnah. 

Lalu, ujungnya menimbulkan kegaduhan. Terhadap umat Islam. Bangsa. Juga ke dalam lingkungan TNI sendiri. Khususnya TNI AD. Lebih khusus lagi Kostrad. 

Fakta Diorama Patung di Markas Kostrad

Patung tiga tokoh di Museum Darma Bhakti Kostrad ada tiga. Masing-masing Jenderal TNI AH Nasution, Mayjen TNI Soeharto, dan Kolonel Inf Sarwo Edhie Wibowo. 

Kala itu AH Nasution sebagai Menko KSAB (Kepala Staf Angkatan Bersenjata). Soeharto sebagai Panglima Kostrad. Dan, Sarwo Edhie Wibowo, komandan RPKAD.

Patung-patung tersebut dibuat pada masa Panglima Kostrad Letjen TNI AY Nasution. Pada periode kepemimpinan Kostrad tahun 2011-2012.

Dibongkarnya patung seperti yang disampaikan Jendral Purn Gus Gatot itu multitafsir. Bukan hilang. Atau dihilangkan. Pula bukan Letjen Gus Dudung, Pangkostrad, yang membongkarnya. Atau mememerintahkan membongkar.

Kepala Penerangan Kostrad Kolonel (Inf) Haryantana dalam keterangan tertulisnya menyatakan bahwa Letnan Jenderal TNI (Purn) Azmyn Yusri Nasution, mantan Pangkostrad, mengunjungi markas. Ia lalu silaturahim ke Pangkostrad saat ini Letjen Gus Dudung. Pada 30 Agustus 2021 lalu. 

Saat silaturahim itu ia meminta pembongkaran patung-patung itu. Karena diorama patung itu AY Nasution yang membuatnya. Permintaan pembongkaran itu dengan alasan batiniah. 

Kostrad pun memberikan izin dan tak melarang. Karenanya, Kostrad sangat membantah apabila kemudian ada framing "menghilangkan" patung sejarah penumpasan G30S/PKI tersebut. Yang kemudian diikuti tersusupi PKI di tubuh kesatuan.

"Kesimpulannya bahwa Kostrad tidak pernah membongkar atau menghilangkan patung sejarah," kata Kolonel Haryantana.

Bahkan Gus Dudung angkat bicara. Katanya, patung-patung itu diambil oleh penggagasnya. Letjen TNI (Purn) Gus AY Nasution.

Gus AY Nasution, sambung Gus Dudung, yang meminta izin kepada dirinya. Selaku Panglima Kostrad saat ini. Untuk melakukan pembongkaran.  

Alasan pribadinya merasa berdosa membuat patung-patung tersebut. Menurut keyakinan agama Gus AY Nasution. 

Gus Dudung pun tidak bisa menolak permintaan seniornya itu. Tabik. Tawadlu!

Cinta NKRI dari Nurani

Letjen Gus Dudung pun menegaskan bahwa penarikan tiga patung oleh Gus AY Nasution itu bukan dalam upaya  melupakan peristiwa sejarah. Apalagi menafikan pemberontakan G 30 S/PKI tahun 1965. Sama sekali tidak benar. 

"Saya dan Letjen TNI (Purn) AY Nasution mempunyai komitmen yang sama. Tidak akan melupakan peristiwa terbunuhnya para jenderal senior TNI AD dan perwira pertama Kapten Piere Tendean dalam peristiwa itu," tegas Dudung.

Pula Dudung membantah keras jika ada tudingan bahwa karena patung diorama itu sudah tidak ada, maka jadi indikasi bahwa AD telah disusupi oleh PKI.

"Jangan menuduh. Jika tuduhan itu tidak benar bisa menjadi fitnah. Itu tidak baik. Dilarang agama Islam." 

Jika diterjemahkan, mungkin begitu ucapan lewat bahasa terdalam yang keluar dari sanubari Gus Dudung Abdurrahman. Pada seniornya, Gus Gatot. Pula pada mereka yang memframing isu PKI masuk TNI ini. 

Sejatinya, para petinggi TNI ini sangat cinta NKRI. Sangat cinta TNI. Pula sangat sayang di antara senior yunior. 

Jangankan hanya isu penyusupan PKI yang belum jelas jika dilawan. Yang sudah jelas dan pasti lawannya saja mereka pasang badan. Saling menjaga. Saling melindungi. 

Jenderal Gus Gatot tentu sayang pada yunior-yuniornya di kesatuan. Karenanya sesekali mengingatkan. Bagus. Tanda sayang.

Dan, yang pasti, bukan menjerumuskan. Apalagi mematahkan. Meski kadang keliru dan kepleset lewat cara yang kekanak-kanakan. Mungkin akibat masukan yang tersembunyi dsri peniat yang ingin menceraiberaikan. 

Pun Jenderal Gus Dudung juga sangat cinta kesatuan. Sebagai prajurit akan berkorban darah untuk negara. Apalagi pada pemecah belah. 

Pula pada seniornya. Pasti sangat cinta. Penulis tahu betul tradisi dan budaya di lingkungan kesatuan TNI. Mereka menyatu dalam kecintaan dan ketaatan pada negara lewat Saptamarga. Lalu, pada sesama anggota lewat Jiwa Korsa.

Ini pulalah yang sesungguhnya ada dalam Gus Dudung dan Gus Gatot ini. Di dalam hati terdalam mereka. 

Publik pasti tak ingin melihat KBT gontok-gontokan. Apalagi yang di luar menyerang di dalam. Karena sesungguhnya mereka satu tubuh. Tidak bisa saling menyakiti.

Sikap saling tabayyun bisa menjadi pengingat. Pula menjadi perekat. 

Bukan menyerang dengan menerobos sekat. Berbekal informasi singkat nan padat. Datang dari sesuatu yang kadang kasat. Bahkan mungkin dari informasi sesat. Untuk menyikat!

Saat keluarga TNI bergulat, mereka yang di luar akan senang sambil jingkat-jingkat. Tertawa lalu lompat-lompat. Menyaksikan suguhan yang telah mereka inginkan sampai kiamat.

Penulis pun kadang berpikir. Menurut cerita kakek dulu, seharusnya yang paling sedih dan trauma itu umat. Yang dulu bersinggungan langsung dengan PKI yang dilaknat. 

Ya kiai kami. Ya guru-guru kami. Ustad-ustad kami. Pula TNI dan "TNU" dari Ansor kami kala itu. 

Mereka yang turut andil mendirikan dan mempertahankan NKRI ini. Berdarah-darah. Dengan ikhlas. Meski tak dapat apa-apa. Termasuk di jaman setelah Orla.

Namun mereka yang berdarah-darah itu ikhlas. Legowo. Bahagia. Juga tidak ada yang koar-koar. Diam saja. Karena merasa benar-benar cinta negeri ini. Bukan ingin menguasainya. 

Cinta tak harus memiliki dan menguasai. Kata anak-anak milenial. Tapi menghayati dan memeliharanya. Sampai akhir zaman nanti.

Jangankan hanya PKI. Yang lebih PKI dari PKI saja para pecinta dan pendiri bangsa ini akan melawannya. Setelah melawan dan menang, ya menikmati hidup lagi.

Bukan kemudian menjadikan PKI sebagai sarana dan senjata. Untuk ambisi dan tujuan. 

Karena jika itu alasannya, maka sangat kerdil dan kecil sekali. Apalagi hanya sebagai proxy. Dan pion.

Kalau itu semua terjadi, sungguh peringatan G 30 S/PKI hari ini hanya akan menjadi sandiwara oleh para pion dan proxy itu. Dan, Gus Dur makin benar dengan guyonannya; "PKI aja ditakuti." (*)

Lereng Argopuro, 30-9-2021

*) Penulis adalah Khoirul Anwar

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES