Ekonomi

Krisis Regenerasi Petani di Indonesia, GMNI Sarankan Ini

Minggu, 26 September 2021 - 13:00 | 47.54k
Ilustrasi. GMNI menyoroti soal krisis regenerasi petani di Indonesia. (FOTO: Dok. TIMES Indonesia)
Ilustrasi. GMNI menyoroti soal krisis regenerasi petani di Indonesia. (FOTO: Dok. TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) menyoroti soal krisis regenerasi petani di Indonesia. Ketua Umum DPP GMNI, Arjuna Putra Aldino mencermati semakin sedikitnya anak muda yang berprofesi sebagai petani. 

Menurut Arjuna, profesi petani dianggap sebagai profesi “orang tua”. Rata-rata penduduk Indonesia yang bekerja di sektor pertanian yaitu penduduk kelompok usia di atas 65 tahun. Jika tren ini terus berlanjut, kata dia, 50 tahun mendatang Indonesia berpotensi kehilangan profesi petani. Krisis regenerasi petani.

Arjuna mengatakan, sejumlah riset menyebutkan rata-rata petani usianya di atas 65 tahun. Kelompok usia produktif di bawah 45 tahun justru mengalami penurunan. 

"Kita sudah mengalami krisis regenerasi petani. Ini yang harus kita refleksikan, karena 50 tahun ke depan jika berlanjut akan berbahaya bagi Republik ini,” ujarnya.

Dia menilai ada dua hal yang menyebabkan sektor pertanian ditinggalkan oleh generasi muda atau generasi muda tak berminat menjadi petani. 

Pertama, rendahnya kesejahteraan petani. Berdasarkan data BPS per Agustus 2020, rata-rata upah pekerja di sektor pertanian hanya sebesar Rp1,92 juta per bulannya, terendah dari 17 sektor yang ada.

Rendahnya kesejahteraan petani, lanjut dia, membuat anak muda enggan menjadi petani, bahkan profesi petani terstigma identik dengan profesi “orang miskin”, “terbelakang”.

Arjuna menjelaskan, pendapatan riil petani sangat rendah. Dalam tiga kali panen terkadang petani hanya mendapatkan Rp700 ribu hingga Rp1 juta. Hal itu belum dibebani dengan ongkos produksi dan sebagainya. 

"Apalagi rata-rata petani padi di Indonesia hanya menguasai lahan seluas 0,66 hektare. Benar-benar terdesak," ujarnya.

Hal kedua yang menjadi penyebab ditinggalkannya profesi petani karena semakin tingginya alih fungsi lahan pertanian di Indonesia. 

Lahan baku sawah, misalnya, tercatat mencapai 8,1 juta hektare pada 2009. Sepuluh tahun berikutnya, luas lahan baku sawah berkurang hingga 604,3 ribu hektare menjadi 7,46 juta hektare.

“Saat ini banyak lahan pertanian yang beralih menjadi industri dan real estate. Sawah terus menyusut dan ini berpotensi membuat profesi petani semakin punah," ujarnya.

Untuk itu, GMNI memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk memperketat alih fungsi lahan pertanian produktif dan memberikan perlindungan harga di tingkat usaha tani. 

Menurut Arjuna, di daerah sentra produksi pertanian masih banyak pemerintah daerah yang tidak mengintegrasikan lahan sawah produktif ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Sehingga lahan produktif dibangun dengan serampangan oleh Pemerintah daerah. 

GMNI menyarankan kepada pemerintah pusat untuk menertibkan daerah yang tidak mengintegrasikan lahan pertanian produktif ke dalam RTRW mereka. 

"Bahkan seringkali banyak manipulasi data. Pemerintah daerah enggan mempertahankan lahan sawah produktif, karena dianggap lebih menguntungkan jika dibangun menjadi pabrik, mall dan real eetate," kata dia.

Selain itu, GMNI meminta pemerintah dan semua elemen pemuda untuk mempercepat transformasi teknologi dan digital di sektor pertanian guna meningkatkan kesejahteraan serta mewujudkan ketahanan pangan nasional secara jangka panjang.

Menurut dia, pemuda bisa berperan melalui digitalisasi untuk mencapai praktik agribisnis yang baik dan presisi. Dengan teknologi digital diharapkan terjadi peningkatan pendapatan petani sedikitnya 50 persen, serta perbaikan produktivitas.

Arjuna mengatakan, pemuda bisa berperan melalui percepatan transformasi teknologi digital. Ini penting untuk mencapai praktik agribisnis yang lebih presisi dari hulu sampai ke hilir, bukan cuma soal marketing. 

Dia menambahkan, pemuda harus mendorong konsep pertanian berbasis teknologi yang bertumpu kepada observasi dan pengukuran yang menghasilkan data. 

"Data ini menjadi penentu kegiatan kerja bercocok tanam yang efektif dan efisien," ujar Ketua Umum DPP GMNI ini soal regenerasi petani. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ferry Agusta Satrio
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES