Kopi TIMES Universitas Islam Malang

”Bahasa” Orang Miskin

Selasa, 21 September 2021 - 15:55 | 86.26k
Abdul Wahid, Dosen Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis Buku.
Abdul Wahid, Dosen Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis Buku.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Benarkah masih ada yang peduli pada orang miskin? Atau masihkah komunitas miskin  secara jujur dan obyektif dijadikan ”proyek istimewa” bagi pemerintah untuk dibebaskan, diberdayakan, dan dimanusiakannya? Tidakkah selama ini, pemerintah hanya sibuk mengurus dirinya sendiri, memburu dan memperbanyak pundi-pundi keuangan, dan melanggengkan kekuasaannya? 

Kita lihat kondisi wong cilik dululu: Bagi wong alit yang sedang terpuruk secara akumulatif yang diniscayakan terjerumus menjatuhkan opsi melakukan dan  ”meledakkan” kejahatan di masyarakat bukan hanya ditujukan oleh untuk mendapatkan kekayaan, uang, atau barang-barang berharga yang dibutuhkan guna menyangga panggilan perutnya atau aspek-kebutuhan aspek fundamental sehari-seharinya, namun juga sebagai upaya balas dendam, menuntaskan beban psikologis akibat sering diledek oleh orang kaya dan penguasa (pemerintah), dan wujud eksplorasi kekecewaan setalah sekian lama dan berkali-kali dijadikan obyek kebijakan pembangunan yang menumbalkan dan memiskinnya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Jalaluddin Rahmat pernah “membahasakan” suatu Hadis, yang berbunyi “suatu ketika nanti, akan ada orang miskin yang tidak mau menerima sedekahmu, tetapi mereka hanya mau darahmu”. Hadis ini merupakan suatu warning yang bersifat radikal, bahwa tatkala di dalam diri orang miskin sudah atau sedang mengeksplorasikan kekecewaan, maka ini menjadi sinyal membahayakan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, pasalnya mereka sewaktu-waktu  dapat dijadikan sebagai “kartu truf” yang dimainkan oleh pihak-pihak yang bisa menabur tangan-tangan gaib (the invisible hands).

Kelompok orang miskin yang sedang tidak berdaya itu tidak mengerti kalau penderitaan yang menimpanya itu dijadikan obyek pembahasan akar kriminogen untuk menciptakan chaos,  yang rupanya “arsitektur”-nya ini paham kalau di dalam dirinya sejatinya sudah bersemai dan menggumpal rasa tidak suka, benci, dan dendam terhadap ketidak-adilan yang menimpanya. Laksana gayung bersambut, hasrat untuk merubah ketidakberdayaan ada yang “memanaskannya”, terutama dari kalangan politisi yang bermaksud menjadikannya sebagai amunisi memenangkan pesta politik.

Niscaya saja terjadi bahwa ketidakberdayaan suatu komu­nitas (community empowerment) yang menjadi korban ketidak-adilan dan ketidak-manusiawian praktik sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya secara reflektif dan eksplosif menunjukkan kemarahannya dengan mengunggulkan protes (perlawanan) yang amat radika­listik, ekstrimistik,  dan barbarianian, pasalnya mereka sudah tidak bisa menahan desakan emosi dalam dirinya akibat ditindas secara berlarut-larut dan berlapis, terlebih oleh kebijakan represip seperti kenaikan BBM ini  Meski demikian, mereka lebih sering hanya marah dalam diam atau mengidap “silent tsunami” (menyimpan dendam dan kebencian yang siap di-amuk-kan), kecuali ada kekuatan lain yang menggiring dan mengorganisirnya menjadi gerakan perlawanan (pembalasan), atau melibatkannya sebagai subjek dalam ranah “pendidikan perlawanan”.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Sekarang ini mereka menemukan kekuatan sementara lewat pendemo yang sedang memperjuangkan nasibnya, namun esoknya tatkala pendemo itu sudah bubar akibat kehabisan amunisi atau terdistorsi ideologi perjuangannya,  bukan tidak mungkin orang-orang miskin itu ganti mengambil alih area d

Girand dalam Violence and Sacred (1989) menyebutkan, bahwa keberingasan itu terjadi karena perasaan tertekan yang berlangsung secara intens yang meluas dalam masyarakat. Keberingasan atau kejahatan kekerasan akan begitu saja bisa terjadi akibat prustasi akut yang diderita seseorang dan masyarakat.

Mencermati pandangan itu mengisyaratkan, bahwa kekerasan individual dan massal potensial terjadi ter­kait secara signifikan dengan perasaan ketidakpuasan, ke­tertekanan, perlakuan tidak adil, distribusi sumber pendapa­tan yang disparitas, praktik dehumanitas atau ketidakberadaban  yang berbingkai apologi kepentingan sosial, ekonomi, politik dan budaya negara. Ketika seseorang atau komunitas merasa hidupnya dalam tekanan ekonomi yang hebat, maka bukan tidak mungkin akan lahir opsi kekerasan, ekstremitas atau kriminalitas berskala meluas dan memberatkan.

Boleh jadi “bahasa darah” atau aksi kekerasan yang dijadikan opsi orang miskin ketika bahasa keadilan, kejujuran, amanah kepemimpinan, dan kesungguhan mewujudkan pengabdian sedang lenyap dari nurani pemimpin bangsa ini. Mereka tidak mungkin akan bersabar atau mempertahankan ”silent stunami” terus menerus dalam menerima realitas ketidak-adilan dan ketidak-manusiawian mengebirinya, mengamputasinya, dan menghegemoninya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kita patut berterima kasih kepada kelompok aktifis yang masih bertahan melakukan demo (perlawanan kritis) atau mengingatkan komitmen kebangkitan nasional, pasalnya dengan perlawanan ini, sekurang-kurangnya menjadi interval bagi masyarakat miskin untuk menunda “bahasa darah” yang potensial digunakannya (diledakkannya). Apa yang dilakukan oleh aktifis layak dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah untuk memikirkan nilai keadaban  dan kemanusiaan atas kebijakan yang yang diproduknya.

Meski begitu, “diamnya” mereka harus disikapi oleh pemerintah, khususnya pemerintah daerah sebagai bentuk tangis merana dan eksplorasi derita, yang wajib diresponsinya secara maksimal, kecuali pemerintah bermaksud atau sengaja membiarkan berbagai bentuk pembalasan (kekerasan) orang miskin tumbuh subur di tengah masyarakat.

Pemerintah daerah harus benar-benar mendampingi wong alit ini dengan segala kemampuannya. Anggaran belanja daerah bukan hanya harus dihemat, namun juga obyektif difokuskan untuk ”mendampingi”  penderitaan masyarakat.  Kedekatan secara empirik lewat penggunaan anggaran berbasis riil kepentingan masyarakat, niscaya akan membuahkan harmonisasi sosial. ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

 *)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES