Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Aksi Masifikasi Karitas Sosial

Sabtu, 18 September 2021 - 13:00 | 30.30k
Abdul Wahid, Dosen Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis Buku
Abdul Wahid, Dosen Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis Buku
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Dalam kondisi masyarakat sedang mengalami kompilasi keprihatinan akibat  pndemi Covid-19 ini, salah satu gerakan atau aksi yang mestinya banyak dan sering kita lakukan adalah masifikasi atau memperluas kariats sosial, yakni jiwa pengabdian atau pengorbanan diri untuk kepentingan kemanusiaan.

Itu juga mengandung konsekuensi, bahwa sudah saatnya kecenderungan kita yang lebih mencintai diri, harta, dan kerabat   dibandingkan dengan sesama dikalahkan oleh  watak adiluhung yang mengunggulkan komitmen kemanusiaan.

Kalau biasanya kita gampang terjerumus “menuhankan diri sendiri” atau menahbiskan kepentingan-kepentingan eksklusif sendiri, keluarga, atau kelompok, maka sekarang saatnya kita “menghidupkan” Tuhan dalam diri kita demi terjaganya dan kuatnya hububgan kemanusiaan (habluminannas). Kalau dalam diri kita selama ini sudah eksis jiwa kasih sayang atau puny kepedulian tidak membiarkan orang lain hidup dalam kesusahan atau multiragam penderitaan, maka sekaranglah saatnya melabuhkan mental ini untuk dan demi kemaslahatan rakyat.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Mau siapa lagi yang jadi agen pembebas di rimba yang ganas ini jika bukan kita yang  sedang hidup dalam kenyamanan, kedamaian, berpendidikan tinggi, berbalut kekuasaan mapan, kekayaan melimpah, dan keningratan status sosial-politik.

Nabi Muhammad SAW bersabda sutama-utamanya amal saleh, ialah memasukkan rasa bahagia di hati orang yang beriman, melepaskan rasa lapar, membebaskan kesulitan, atau membayarkan utang”,  yang menunjukkan derajat amaliah yang ditentukan melalui pengorbanan manusia berdimensi kemanusiaan, dan bukan mengorbankan manusia lain demi pengabsahan status sosial, politik, dan ekonomi

Doktrin itu pada prinsipnya mengajak manusia berlomba dan bersaing dalam saling mencintai atau menabur amal kebajikan di muka bumi ini, dan bukannya saling menjegal, menghabisi, dan menganibalisasi layaknya serigala. Kalau doktrin pengorbanan berbasis humanitas  seperti yang pernah diajarkan Nabi Ibrahim AS ini diikuti manusia di bumi, maka derajat sebagai ”manusia utama” akan melekat pada dirinya.

Status “manusia utama” hanya layak disandang oleh individu yang gaya hidupnya tidak serba eksklusif dan materialistik, dan steril dari praktik-praktik menerkam (menumbalkan) sesamanya.  Sosok berstatus ini giat menjadi penabur kebajikan, atau tidak menjadi arsitek di rimba homo homini lupus, atau apa yang dicintai dan diobsesikannya benar-benar demi kepentingan kesulitan masyarakat.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Nabi Ibrahim misalnya merupakan deskripsi kepribadian manusia atau elit sosial-ekonomi yang mengerahkan segala kemampuan yang dimilikinya untuk menjadi ”pemain” aktif yang mewarnai (merubah) realitas kehidupan masyarakat. 

Tanpa perlu menunggu  masyarakat menjalani kesulitan hidup, Ibrahim sudah lebih dulu mengemas diri jadi pilar ”produksi” kesalehan  sosial. Hal ini mengedukasikan paa kita tentang makna hidup berkepedulian tinggi terhadap apa yang akan atau sedang diderita oleh masyarakat. Tangan kita diminta untuk tidak berpangku, melainkan harus selalu mengulurkan untuk mengangkatt derajat kemanusiaan manusia lainnya.

Ibrahim AS tak menganggap kekayaannya yang berlimpah seperti hewan  ternaknya yang jumlahnya ribuan sebagai hak miliknya sendiri, tetapi Ibrahim AS memperlakukan kekayaannya ini juga sebagai kekayaan publik, yang konsekuensinya berarti tak layak dimanfaatkan dan dijadikan alat untuk mengenyangkan diri dan keluarganya semata. Sebagai “kekayaan umat”, Ibrahim telah menggunakannya untuk menyangga (mengentas) berbagai kesulitan yang diderita masyarakat, atau merehabilitasi dmasyarakat ke dalam derajat keagungannya.

Tingginya pengorbanan sosial Ibrahim AS itu pun mengajarkan, bahwa siapapun orangnya yang mau mengambil teladannya, pastilah akan mampu menjadi pengorban-pengorban suci di tengah masyarakat, apalagi jika yang bersedia mengambil pelajaran ini seorang pemimpin umat seperti pejabat-pejabat negara yang sering terjerumus dalam praktik-praktik pembenaran ”homo homini lupus”..

Kemasalahatan masyarakat merupakan kesejatian kewajiban pengorbanan hidup setiap warga bangsa dalam konstruksi kehidupan bermasyarakat, yang pengorbanan ini akan mampu menjawab masalah homo homini lupus.

Keberimanan seserong ditentukan lewat kemampuannya dalam memperjuangkan atau membebaskan kesulitan sesamanya, termasuk menjauhkan  dirinya dari kemungkinan menunjukkan tangan-tangan kotor (the dirty hands) yang menyakiti atau menzaliminya. Jiwa karitas sosial yang berhasil kita wujudkan adalah bagian dari pembuktian nyata bahwa kita lebih memilih dan menyukai hidup bersama dalam rajuran kemanusiaan dan keadaban dibandingkan saling ”menjegal” dan ”menjagal”, ynag  itomatis hanya memerkuat atmosfir kalau kehidupan ini laksana rimba ganas yang saling terkam. ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis Buku

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES