Peristiwa Daerah

Penyandang Disabilitas Berdikari dengan Digitalisasi

Minggu, 19 September 2021 - 14:32 | 67.14k
Founder Adi Gunawan Institute (AGI), Adi Gunawan, saat menghubungi anak didiknya lewat smartphone miliknya. (Foto: Naufal Ardiansyah/TIMES Indonesia)
Founder Adi Gunawan Institute (AGI), Adi Gunawan, saat menghubungi anak didiknya lewat smartphone miliknya. (Foto: Naufal Ardiansyah/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, MALANG – Menjadi kelompok penyandang disabilitas bukan berarti tak bisa mandiri, walau pandemi Covid-19 memukul mundur sektor kehidupan dan penghidupan masyarakat. Tak terkecuali para terapis pijat netra yang kehilangan ladang pekerjaannya.

Banyak faktor yang mempermulus hilangnya pendapatan para terapis pijat netra. Mulai peraturan pemerintah yang membatasi tempat pijat beroperasi, imbauan physical distancing, dilarang kontak fisik dan berkerumun.

Di satu sisi, pemerintah juga harus melakukan beberapa kebijakan untuk menekan laju curva kasus positif Covid-19. Bagaimana pun, pemerintah juga tidak ingin sektor ekonomi masyarakat tiarap dalam waktu berkepanjangan.

Dari data Ketua Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Kota Malang, dari sekian penyandang disabilitas netra, sebanyak 95 persen berprofesi sebagai terapis pijat. Sebagian kecil lainnya ada juga yang bergerak di bidang entertainment, bermain musik, menjual jamu dan mengajar sebagai guru bantu di Sekolah Luar Biasa.

Ketua Pertuni Kota Malang, Suratno, menyampaikan bahwa sebagian besar penyandang disabilitas netra memilih menjadi terapis pijat. Sebenarnya, kata dia, menjadi seorang terapis bukan satu-satunya pilihan.

Pembatik netraPembatik netra menunjukkan karyanya. Foto ini diambil di gallery AGI. (Foto: Naufal Ardiansyah/TIMES Indonesia)

“Ada juga penyandang disabilitas netra lainnya yang menjadi guru bantu, instruktur musik, dan jual jamu tradisional. Tapi itu tidak banyak,” ujarnya.

Adi Gunawan (35 tahun) mendirikan Adi Gunawan Institute (AGI) untuk wadah para penyandang disabilitas, terutama netra. Seorang disabiltas netra low vision tingkat berat ini membawa program digitalisasi khusus disabilitas. Pusat pelatihan kerja serta pemberdayaan disabilitas netra yang dikembangkan ini menjadi alternatif para terapis pijat netra yang terdampak pandemi Covid-19.

Pria asal Kota Malang ini memberikan honor melalui sharing profit  bagi para rekan kerja yang notabene penyandang disabilitas netra. Mereka dilatih membuat Batik Netra. Alhasil, sudah ada sekitar 200 kain batik hasil tangan kreatif disabilitas netra yang terjual.

“Ini bisa kami kembangkan ke depan karena pembuatan Batik Netra bisa merangkul semua jenis disabilitas. Disabilitas rungu bisa kerja di bagian jahit. Disabilitas netra total di bagian lipat dan ikat, yang low vision bisa melukis dan menghafal pola. Disabilitas fisik bisa bantu mengawasi dan finishing,” ujarnya.

Konsep pembuatan Batik Netra mengandalkan hafalan pola, perabaan, daya ingat serta kemampuan berimajinasi. Lahirnya konsep Batik Netra pada Juni 2020, dimana para terapis pijat netra kehilangan ladang pekerjaannya karena pandemi.

Terkini, pihaknya memiliki tujuh orang disabilitas netra dan satu disabilitas fisik. Sebagian besar mereka adalah terapis. Per produk, misalnya ukuran 115 x 200 cm, dibanderol dengan harga Rp120 ribu. Hasilnya dibagi sebagai honor kerja.

Aplikasi peta digital khusus penyandang disabilitas netra Aplikasi peta digital khusus penyandang disabilitas netra karya mahasiswa Filkom Universitas Brawijaya. (Foto: Dok. UB)

“Batik Netra ini sementara hanya bisa mengembangkan satu model batik. Semua hand made. Bisa dibilang kekurangan sekaligus kelebihan karena unik dan memiliki karakter,” katanya.

Adi akan mengembangkan konsep Batik Netra lebih luas lagi agar bisa menjangkau lebih banyak pekerja. Contohnya, kata dia, kain Batik Netra diolah ulang menjadi baju, sarung, gorden, tablak meja dan kary konveksi lainnya. Dengan demikian, disabilitas rungu dan wicara bisa bergabung sebagai tenaga penjahit.

“Peduli bukan sebatas memberi sembako, tapi membuka lapangan pekerjaan baru buat kami sesama penyandang disabilitas,” katanya menambahkan.

Dengan komputer para penyadang disabilitas netra ini bisa melakukan banyak hal. Apalagi saat ini ada alat teknologi pijat berbasis mesin yang dianggap mengancam masa depan profesi terapis pijat netra. Pilihannya, disabilitas netra harus berdikari dengan upaya digitalisasi.

“Apa bisa? Bisa. Pakai teknologi digital. Sekarang smarphone dan laptop bisa bicara untuk memudahkan akses disabilitas netra. Ini sebenarnya peluang kerja baru yang terbuka,” imbuh Adi.

Bernardus Suranto tak lama belajar membuat Batik Netra di AGI. Disabilitas netra asal Lampung yang kini resmi ber-KTP Kota Malang ini sebelumnya adalah terapis pijat netra. Suranto bersyukur dapat meraup keuntungan dari membuat batik.

“Bisa nambah income bagi kita. Bagus dan perlu dikembangkan. Ini hal baru dan mungkin masih asing,” kata Suranto yang bekerja di bagian lipat dan ikat.

Sementara rekannya, Pungky Wardhani (27 tahun) asal Mojokerto, belajar selama lima bulan. Berbeda dengan Suranto, Pungky lebih fokus kepada pelatihan pengembangan diri di bidang administrasi.

“Basic saya di Microsoft Office, terutama Ms Excel,” ujar lulusan Administrasi Publik Ilmu Perpustakaan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya ini.

Pungky yang baru lulus Maret 2021 lalu berharap diterima kerja di instansi pemerintahan. Jika boleh memilih, ia condong bekerja di bagian pengembangan perpustakaan.

Di sisi lain, mahasiswa Fakultas Ilmu Komputer (Filkom) Universitas Brawijaya membuat aplikasi peta digital yang dirancang khusus untuk penyandang disabilitas netra. Aplikasi ini diberi nama UB Blind Map. UB Blind Map merupakan aplikasi berbasis peta wilayah Universitas Brawijaya yang disiapkan di Google Play Store dan bisa diunduh oleh semua orang.

Mahasiswa Magister Ilmu Komputer, Muhammad Erwin Amrullah, menjelaskan aplikasi peta tersebut menggunakan suara dan getaran menyesuaikan cara komunikasi penyandang disabilitas netra yang membutuhkan indra peraba dan pendengaran.

Selain itu, fitur suara dan getaran ini berfungsi sebagai informasi saat diusap pada aplikasi. Kemudian   penyandang disabilitas netra akan mengetahui informasi pada aplikasi peta yang digunakan.

“Aplikasi ini dirancang berdasarkan peta kawasan wilayah Universitas Brawijaya, lalu ditransformasi menjadi sebuah peta dan mempunyai fitur suara dan getaran agar penyandang disabilitas netra bisa menggunakannya," kata Erwin.

Di bawah bimbingan Dr. Sc. Fatwa Ramdani, S.Si, M.Sc dan Dr. Eng. Herman Tolle, S.T., M.T, aplikasi peta disabilitas netra ini dapat diinstal di sebuah tablet berukuran 10 inch untuk kemudian menjadi alat fasilitas pengenalan wilayah di kawasan Universitas Brawijaya. Hadirnya aplikasi ini, memudahkan para mahasiswa maupun pengunjung yang disabilitas netra terbantu saat berada di wilayah Universitas Brawijaya.

"Aplikasi peta tunanetra UB Blind Map ini dibuat melalui aplikasi Unity dan Blender yang biasa digunakan untuk 3D modelling membuat sebuah game. Map dibuat berupa 3D juga untuk tunanetra yang low blind. Mereka ini kan ada kategori dari low vision sampai totally blind. Jadi semua bisa menggunakannya dan sudah diatur warna kecerahan bagi tunanetra kategori low blind," jelasnya.

"Saat ini UB Blind Map sudah dalam proses pengajuan ke HAKI dan juga pengguna iOS nantinya bisa mengunduh aplikasi ini," tutur Erwin.

Dengan adanya inovasi aplikasi peta ini diharapkan dapat membantu penyandang disabilitas netra dan juga sebagai fasilitas wajib di institusi kampus, sehingga kampus-kampus di Indonesia juga semakin ramah pada penyandang disabilitas netra.

"Semoga semakin banyak penemuan anak bangsa dalam membantu mengatasi masalah sehari-hari, agar penyandang disabilitas menjadi berdikari," katanya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES