Ekonomi

Perajin Kain Tenun Sutra di Tasikmalaya Tetap Bertahan di Masa Pandemi

Kamis, 16 September 2021 - 17:02 | 90.70k
Seorang perajin tenun sutra yang tergabung dalam Kelompok Usaha Tenun Sutra Alam Mardian mitra mengoprasikan mesin tenun tradisional di rumah produksi Kabupaten Tasikmalaya, Rabu (15/9/21). (FOTO: Harniwan Obech/TIMES Indonesia)
Seorang perajin tenun sutra yang tergabung dalam Kelompok Usaha Tenun Sutra Alam Mardian mitra mengoprasikan mesin tenun tradisional di rumah produksi Kabupaten Tasikmalaya, Rabu (15/9/21). (FOTO: Harniwan Obech/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, TASIKMALAYA – Industri rumah tangga kerajinan kain tenun sutra tradisional di Kampung Karanganyar Desa Cipondok Kecamatan Sukaresik Kabupaten Tasikmalaya, kembali mulai goncang karena terhantam dampak pandemi Covid 19.

Para perajin tenun yang awalnya bersemangat kini kembali lesu pasalnya, selama pandemi Covid 19 pemasaran kain sutra tradisional yang diproduksi dengan alat tenun sangat sederhana itu mengalami penurunan drastis. Selain itu juga kebun murbai yang menjadi media pakan dilanda kekeringan sehingga produktivitas daun menurun pula. 

Padahal peluang pemasaran untuk kain sutra cukup terbuka lebar. Ketua Kelompok Usaha Tenun Sutra Alam Mardian Putera Holib (49) mengungkapkan, saat ini dari kebutuhan benang di Indonesia sekitar 95% masih berasal dari impor, terutama dari China dan Jepang. Padahal kata Holib, memperhatikan letak geografis dan geologisnya Tasikmalaya mempunyai iklim dan kondisi lahan yang sangat sesuai untuk dilakukannya budidaya ulat sutera. 

Perajin Kain Tenun 2Seorang perajin tenun sutra yang tergabung dalam Kelompok Usaha Tenun Sutra Alam Mardian mitra binaan Pertamina Geothermal Energy (PGE) Area Karahasedang memindahkan benang sutra dengan dari palet kecil untuk dioprasikan pada mesin tenun tradisional di rumah produksi di Kampung Karanganyar Desa Cipondok Kecamatan Sukaresik Kabupaten Tasikmalaya. Rabu (15/9/21) sore (FOTO: Harniwan Obech/TIMES Indonesia)

“Saat ini kami sendiri sedang melakukan budidaya ulat sutera di lahan seluas 3 hektar. Dan alhamdulillah dari apa yang kami lakukan hampir satu tahun belakangan ini, setidaknya kami sudah memiliki kemandirian untuk menghasilkan benang sutera produk kami sendiri,” Ungkap Holib kepada TIMES Indonesia Rabu (15/9/21) sore. 

Holib mengakui, memang tidak mudah dalam melakukan budidaya ulat sutera, meski hasilnya sangat menjanjikan. Misal, ada sekitar 25.000 butir telur dalam satu boks paket pemeliharaan ulat sutera. Dalam satu boks bisa menghasilkan sekitar 38-40 kg kokon (kepompong) ulat sutera dengan kebutuhan pakan sekitar 600 - 850 kg daun murbei.

Kokon ini yang kemudian akan diambil seratnya untuk dijadikan benang sutera oleh industri. Satu kilogram kokon sendiri dipasaran berkisar harga Rp50.000-Rp70.000. 
Holib menjelaskan, untuk siklus budidaya ulat sutera itu sendiri tidaklah panjang.

Hanya dibutuhkan waktu sekitar 27-30 hari terhitung sejak awal pemeliharaan hingga panen dengan modal awal Rp400.000 untuk satu kali siklus budidaya. “Dalam setahun bisa dilakukan 8-10 kali pemeliharaan,” jelasnya. 

Lebih jauh Holib menuturkan, dalam satu kali siklus pemeliharaan, omset yang bisa diperoleh petani sekitar Rp2.000.000,- Pendapatan total ni iakan jauh lebih besar dengan memperhitungkan panen dari komoditas lain yang dihasilkan di areal tumpangsari. Di Kelompok Usaha Tenun Sutera Alam Mardian Putera sendiri saat ini sedang dikembangkan usaha produksi teh daun Murbei. 

“Alhamdulillah meski baru bisa menjual dalam bentuk daunnya saja, namun bukan tidak mungkin ke depan, dengan sudah adanya bantuan alat produksi teh dari PGE Karaha kami akan mampu merealisasikannya. Saat ini kami masih dalam proses persiapan dan terus belajar,” tuturnya.

Perajin Kain Tenun 3Sekelompok ibu perajin tenun sutra yang tergabung dalam Kelompok Usaha Tenun Sutra Alam Mardian mitra binaan Pertamina Geothermal Energy (PGE) Area Karahasedang membersihkan dan merapihkan kain sutra motif bludru hasil produksi mesin tenun tradisional di rumah produksi di Kampung Karanganyar Desa Cipondok Kecamatan Sukaresik Kabupaten Tasikmalaya. Rabu (15/9/21) sore (FOTO: Harniwan Obech/TIMES Indonesia)

Sebab, ulat sutra butuh banyak makan sebelum melakukan proses metamorfosis menjadi kepompong. “Ulat sutera kecil tidak tahan terhadap bau-bauan, misalnya bau rokok dan parfum. Sehingga orang atau pekerja yang masuk kandang tidak boleh mengandung aroma tersebut. Dan ahamdulillah dari kebun murbei baik yang dimiliki anggota secara perorangan maupun kelompok, saat ini kami cukup mampu memenuhi kebutuhan pakan ulat,” katanya

Seperti diceritakan Holib, krisis moneter yang melanda Indonesia tahun 1998 telah memporak porandakan usaha yang digeluti hampir oleh seluruh warga desanya. 

Mayoritas pria desa kemudian mengadu nasib ke kota dan meninggalkan segelintir orang yang masih mencoba mempertahankan usaha tersebut dengan memproduksi kain tenun polos putihan yang menjadi bahan dasar batik. Lanjut Holib, salah satu cara mengembangkan tenun adalah dengan meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang tren atau perkembangan pasar bagi pelaku industri tenun.

Hal ini ditujukan agar pengrajin tenun dapat memenuhi kebutuhan dan selera konsumen yang semakin beragam.

“Kami sangat mengharapkan adanya dukungan Pemerintah terhadap perkembangan kain tradisional ini. Misal penggunaan dalam pertemuan kenegaraan atau acara acara penting, meski hanya sebagai aksesoris pelengkap. Termasuk kebijakan penggunaan kain tenun sebagai busana keseharian sebagai pakaian dinas pada hari tertentu seperti yang telah diterapkan pada batik,” ungkapnya. 

Menjawab tantangan besarnya kebutuhan benang sutera nasional, Pertamina Geothermal Energy (PGE) Area Karaha hadir menjadi mitra binaan dalam upaya mendorong melakukan budidaya ulat sutera di Kampung Karanganyar Desa Cipondok Kecamatan Sukaresik Kabupaten Tasikmalaya. Area Manager Pertamina Geothermal Energy (PGE) Karaha Andi Joko Nugroho pada kesempatan tempat terpisah  menyampaikan apresiasinya atas kerja keras yang telah dilakukan Kelompok dalam upayanya menyediakan bahan baku kain sutra.  

Menurut Andi Joko apa yang dilakukan anggota kelompok sejalan dengan upaya perusahaan dalam akselerasi pengembangannya menyediakan energi bagi negeri. 

“Kami sangat menyadari pentingnya keselarasan antara pencapaian tujuan dan tanggung jawab terhadap lingkungan operasi dan masyarakat sekitar. Melalui program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL / CSR) perusahaan senantiasa secara konsisten mengembangkan lingkungan dan masyarakat berdasarkan potensi sumber daya yang tersedia sesuai kearifan lokal,” tegas Andi kepada TIMES Indonesia 

Pembinaan yang dilakukan PGE Area Karaha kepada Usaha Tenun Sutera Alam Mardian Putera terintegrasi dari hulu hingga hilir. Di sektor hulu dilakukan pendampingan dalam budidaya ulat sutera termasuk penyiapan lahan, penyediaan bibit murbei unggulan, pemeliharaan rumah ulat sutera hingga peremajaan peralatan pengokon. 

“Di sektor hilir telah dilakukan pembinaan dalam bentuk peningkatan kapasitas kelembagaan kelompok, peremajaan peralatan untuk menenun kain tenun sutra, pelatihan teknik pewarnaan, dan branding produk. Selama masa pandemic berlangsung guna mempertahankan eksistensi usaha, kepada kelompok juga diberikan bantuan berupa bahan baku benang sutera dan berbagai kesempatan promosi produk,” pungkasnya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES