Kopi TIMES

JABAR (Juara) di Korupsi?

Rabu, 15 September 2021 - 16:44 | 76.44k
Dr. Asep Totoh,SE.,MM - Dosen Ma’soem University.
Dr. Asep Totoh,SE.,MM - Dosen Ma’soem University.

TIMESINDONESIA, BANDUNG – Beberapa hari yang lalu ramai diwartakan di sejumlah media massa, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mengatakan Jawa Barat merupakan wilayah dengan kasus korupsi tertinggi dibandingkan daerah lainnya. Hal itu dia ungkapkan ketika mengunjungi DPRD Jawa Barat pada Rabu (8/9/2021). Dari sepuluh besar kasus korupsi di daerah yang ditangani KPK, Jawa Barat di peringkat satu dengan jumlah 101 kasus.

Realitas dan praktek korupsi di Indonesia memang sudah sangat akut, maka masalah tidak bisa diselesaikan hanya melalui penegakan hukum saja, banyaknya jumlah orang yang dipenjarakan oleh penegak hukum karena kasus korupsi bukan menunjukkan bangsa tersebut antikorupsi.

Keberhasilan gerakan antikorupsi tidak diukur dari seberapa banyak orang yang ditangkap dan dipenjarakan, tetapi diukur dari ketiadaan orang yang menjalankan tindak pidana korupsi. Praktek korupsi bisa terjadi karena ada tiga faktor, seperti kebutuhan, keserakahan dan sistem yang telah mengakar.

Tidak elok memang jika posisi Jawa Barat disebut sebagai provinsi terkorup, akan tetapi catatan korupsi memang sudah berlangsung sejak beberapa tahun lalu. Tidak aneh jika hampir sebagian bupati atau walikota serta anggota DPRD di Jawa Barat pernah berhubungan dengan KPK.

Ironis hattrick Kabupaten Subang, tiga kali berturut-turut bupatinya tersandung korupsi. Terakhir kasus yang dibongkar KPK adalah adalah Kabupaten Bandung Barat, juga kasus oknum mantan anggota DPRD dengan jajarannya di kabupten Indramayu.

Jika melihat data yang dihimpun dari berbagai sumber, berdasarkan data dari tahun 2004-2020 sejak berdirinya KPK. Sekitar 73% Bupati atau Walikota di Jawa Barat pernah terlibat urusan korupsi. Misalnya saja di tahun 2020, di Jawa Barat tercatat sudah 19 kepala daerah di 26 kabupaten/kota yang terlibat korupsi.

Menjadi pertanyaan mendasar, “Mengapa Korupsi di Jawa Barat Begitu Tinggi? Apakah korupsi berhubungan dengan sikap, perilaku dan budaya di Jawa Barat yang terkenal dengan kesundaannya. Tentunya ini bertolak belakang dengan falsafah orang Sunda yang memiliki falsafah hidup yang menjungjung tinggi religius dan kejujuran.

Artinya, mungkinkah tingginya angka korupsi di Jawa Barat disebabkan oleh karakter budaya urang Sunda, jawabannya tidak mungkin kalau berbicara karakter orang Sunda yang sejak lama sudah berbudi luhur. Ada banyak pepatah yang menggambarkan karakter orang Sunda seperti “Kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mupakat ka balaréa” Yang artinya Harus mengacu kepada hukum, menjunjung negara dan mufakat untuk kebaikan bersama.

Karakter selanjutnya adalah “Tata titi duduga peryoga." yang artinya Menjaga etika dan sopan santun, ada "Ngeduk cikur kedah mitutur, nyokél jahé kedah micarék." yang artinya Jujur, tidak mengambil hak orang lain, tidak korupsi dan merugikan orang lain, kiranya menjadi bekal untuk menjalani kehidupan yang baik dan bahagia. 

Dan ketika akan melakukan suatu perbuatan orang Sunda selalu "Kudu seubeuh méméh dahar, kudu nepi méméh indit." yang artinya Harus melihat ke depan (berpikir) sebelum melakukan suatu perbuatan, pikirkan dampak atau risikonya sebelum bertindak. Dari semua itu bisa menggambarkan adanya budaya atau sifat antikorupsi orang Sunda.

Secara demografi Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk tertinggi dengan 40 juta juta jiwa. Tingginya jumlah penduduk tersebut bisa menjadikan Jawa Barat bisa memiliki kompleksitas berbagai masalah pada bidang ekonomi, sosial, budaya, politik juga keamanan dalam hal ini terkait masalah kriminalitas. 

Ada banyak faktor-faktor yang paling menarik dicermati yang menyebabkan angka korupsi di Jawa Barat tinggi misalnya Pertama, Rendahnya Integritas Pemimpin dan Pejabat. Pemimpin dengan kepemimpinannya kiranya dapat saja melahirkan, atau membiarkan terjadinya tindakan-tindakan korupsi. Kiranya relevan dari frasa tersebut di posisikan sebagai dua persoalan yang dapat saling mendukung dan bahkan saling memenuhi. 

Boleh jadi meluas dan merajalelanya korupsi bahkan sebagian kalangan menyebutnya telah menjadi budaya ditengah kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Indonesia ini merupakan simbiosis mutualisme dengan kepemimpinan yang ada. Tidak heran para pemimpin dna pejabat daerah menjadi mudah untuk tergoda iming-iming suap dan gratifikasi.

Kedua, Mengembalikan Biaya Politik. Mahalnya atau tingginya biaya politik untuk menjadi Kepala daerah menyebabkan setelah terpilih dan menjadi Kepala Daerah maka terbersit keinginan dan melakukan upaya untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan di saat pilkada. Alih-alih menjadi pemimpin daerah terbaik, maka praktek korupsi menjadi solusi cepat untuk mengembalikan modal pilkada tersebut.

Ketiga, Kesulitan dan Kerumitan Birokrasi. Masih sulitnya, terlalu lama, begitu panjangnya birokrasi misalnya dalam pengurusan adminitrasi publik salah satunya pengurusan ijin. Maka suap menjadi pilihan untuk bisa cepat menyelesaikan urusannya.

Keempat, Tradisi Balas Budi. Ada tradisi yang membiasakan untuk membalas kebaikan yang diberikan, namun salah kaprah dan menjadi penyelewengan falsafah Sunda “Mun dibere kudu mere, mun dibageuran kudu bageur”. Sesuatu tradisi balas budi yang salah dalam penempatannya, maka ketika diberikan surat ijin, maka harus memberi (uang), atau jika diberi tender maka harus ngasih komisi.

Kelima. Budaya Instan, Serba Cepat  atau Jalan Pintas. Bisa jadi praktek-praktek kebiasaan, praktek-praktek jalan pintas, tanpa prosedural dan mengakali peraturan perundang-undangan menjadi budaya yang lumrah dilakukan bersamaan dengan rendahnya kesabaran dan kedisplinan masyarakat. Tak ayal peluang untuk mempercepat atau ingin serba cepat dalam penyelesaian masalah dan pelayanan administrasi termasuk perizinan memungkinkan membuka ruang untuk melakukan suap dan gratifikasi. 

Pemimpin Berkualitas

Ke depan, ragam persoalan yang terjadi dalam kompleksitas masyarakat dan wilayahnya adalah ujian kualitas Kepala Daerah yang harus memiliki Karakter (Character) dan Kompetensi (Competence) yang melekat dalam kepempimpinannya (Leadership)  yang akan diuji dalam perjalanan karir mereka selama menjadi pemimpin daerah.

Pemimpin daerah yang berakhlak baik atau berkarakter dan memiliki kompetensi yang dimaksud adalah mengutif pendapat dosen Pascasarjana UIN Sumatera Utara Nispu Khoiri, bila dilihat dari teori politik Islam (fikih syiyasiy), misalnya, pemimpin (umara/ulil amri) merupakan amanah untuk mengurus kepentingan rakyat. Pemimpin juga disebut “khadimul ummah” pelayan umat, bukan pemimpin untuk dilayani. 

Hakikat seorang pemimpin tidak saja sekedar kontrak politik dengan konstituennya, tetapi juga terdapat ikatan perjanjian dengan Tuhan bahwa pimpinan yang dipegangnya merupakan amanah Tuhan, karena ia telah dipilih oleh Tuhan dan dipandang cakap menjalankan amanah. Tugas pokok dan fungsinya dipandang sebagai tugas mulia di hadapan rakyat dan juga di mata Tuhannya. Karena itu pada akhirnya, perilaku kepemimpinannya juga akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan YME.

Sejalan pendapat beberapa ahli yang kemudian menjadi rumusan persyaratan harus melekat pada calon pemimpin yakni: 1) Memiliki kejujuran, 2) Amanah, 3) Kecerdasan dalam berpikir, bersikap dan bertindak sehingga program kerja benar-benar terukur, dan 4) Memiliki akuntabilitas dan transparansi dalam menjalankan roda kepemimpinannya. 

Kemudian menurut pasal 2 ayat (3) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatnya pelayanan umum dan meningkatnya daya saing daerah. Ketiga tujuan tersebut diperlukan pemimpin yang berkualitas, yang mampu menggerakan seluruh elemen masyarakat untuk menggali semua potensi daerah, pemimpin daerah pengaruh besar terhadap kemajuan daerah dan kesejahteraan rakyat dengan cita-cita dan semangat visioner, kerja keras, pengalaman dan terutama anti korupsi menjadi kunci dalam memajukan daerah.

Sat ini dibutuhkan kerja keras, kolaborasi dan inovasi dari semua pihak seperti kata peribahasa Sunda, sekarang ini bukan waktunya lagi “kudu ngigelan jaman” melainkan “kudu ngigelkeun jaman. Artinya, jika Jawa Barat ingin selalu Juara perlu melakukan berbagai terobosan progresif. Tidak lagi ‘agul ku payung butut’ juga ‘adean ku kuda beureum’. 

Good Governance dan Good Government Jabar harus bisa menyelesaikan masalah korupsi, ke depan tidak ada lagi kasus Bupati/Walikota atau Kepala Daerah yang terjerat KPK. Sebuah keyakinan jika Jabar pasti Juara, Juara Lahir Bathin dan tentunya selalu dipandu oleh tuntunan ke arah kemajuan. Jabar Juara, Rahayu, Waluya Nagri Pasundan.

***

*) Oleh: Dr. Asep Totoh,SE.,MM - Dosen Ma’soem University.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES