Kopi TIMES

Pandemi dan Perjuangan Difabel

Rabu, 15 September 2021 - 14:36 | 46.46k
Dyaloka Puspita Ningrum,S.I.Kom.,M.I.Kom; Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Widya Mataram Yogyakarta.
Dyaloka Puspita Ningrum,S.I.Kom.,M.I.Kom; Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Widya Mataram Yogyakarta.

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Aturan PPKM level 4 di Pulau Jawa-Bali yang masih konsisten diperpanjang hingga tanggal 23 Agustus 2021 mendatang, kembali diumumkan secara langsung oleh pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi. Tentu saja kebijakan tersebut harus disikapi dengan bijak meskipun pembatasan itu sendiri memberikan dampak kepada masyarakat termasuk pada kelompok difabel.

Dalam realitas sehari-hari, kerap kali kita menepikan keberadaan kelompok difabel sebagai bagian dari kelompok marginal atas keterbatasan yang dimilikinya. Kendati disisi lain, sebenarnya ada banyak juga dari mereka yang mempunyai potensi serta keterampilan yang dapat dikembangkan bahkan secara lebih mandiri. Berbagai permasalahan pun memang sangat sulit dihindari oleh kelompok difabel, terutama dalam melakukan fungsi sosial di masyarakat karena sampai saat ini fasilitas untuk para penyandang difabel masih relatief sangat terbatas. 

Padahal kelompok difabel juga menjadi bagian yang layak untuk mendapatkan kesetaraan, hak, kewajiban dan kedudukan yang sama sebagai Warga Negara Indonesia seperti informasi yang tertuang di dalam Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2016. Sama halnya dengan pendekatan psikologi humanistik Abraham Maslow (dalam Minderop, 2011: 49) secara sederhananya teori ini menjunjung tinggi nilai “Memanusiakan Manusia” yang tentu saja berpegang pada aspek kepantasan dan keadilan. 

Di masa pandemi, percepatan penggunaan teknologi sejatinya harus dikuasai oleh setiap orang, terutama juga bagi para penyandang difabel. Inovasi pemberdayaan terhadap kelompok difabel dapat saja dilakukan dengan cara yang tidak biasa, salah satunya melalui pemanfaatan digitalisasi yang harus diwujudkan sebagai cara signifikan untuk menghasilkan individu yang berkualitas, berdaya saing, dan mampu menciptakan lapangan kerja sendiri. Sehingga dapat meminimalisir berbagai stigma yang menghampiri kelompok difabel tersebut.

Kawasan Inklusif

Trend gagasan terhadap kawasan inklusif, baik desa inklusif maupun kota inklusif yang sudah mulai banyak diusung oleh setiap daerah, pada praktiknya pun belum begitu memadai dalam memenuhi kebutuhan para penyandang difabel, karena terlihat masih sangat minim sekali sarana, penataan, bantuan serta edukasi yang memudahkan kelompok difabel beraktifitas di ruang publik (misal di : transportasi umum, pom bensin, tempat ibadah / objek wisata). Padahal konsep inklusif di Indonesia lebih mengarah kepada isu-isu difabel berdasarkan instrumen penilaian Unesco (2017), sehingga menjadi tantangan terhadap regulasi penunjang yang perlu dioptimalkan dengan berbagai program terkait. Secara keseluruhan menciptakan layanan ramah difabel yang aman dan nyaman di tanah air, terutama dari aksesbilitas, mobilitas, dan fasilitas termasuk di era pandemi saat ini, yakni terkait percepatan Program Vaksinasi Covid-19 pada sasaran kelompok penyandang difabel harus dilaksanakan sesegera mungkin.

Pemberdayaan Difabel

Menyoroti beberapa sistem pemberdayaan khususnya terhadap segmentasi para penyandang difabel dengan latar belakang pendidikan rendah yang rutin diberikan oleh pemerintah setiap tahunnya seperti : program menjahit, memasak, ataupun beternak ternyata cukup menimbulkan dilematis “apakah kegiatan yang dilaksanakan sudah bersifat konstruktif dengan kebijakan yang ada untuk dapat mensejahterakan hidup kelompok difabel ? atau bahkan hanya menjadi sebuah kegiatan monoton yang belum membuat kelompok difabel itu sendiri keluar dari zonanya masing-masing. alih-alih justru diharapkan juga mereka dapat memberdayakan antar sesamanya”.

Selain itu muncul urgensi mengenai keberadaan difabel milenial di industri 4.0 yang memang sudah jarang tersentuh peran serta-nya. Atau justru sebaliknya, ternyata masih belum maksimal kontribusi dan pelayanan pemerintah yang dapat meregenerasi para penyandang difabel khususnya sebagai start-up yang sukses dan mandiri di era sekarang ini. Peningkatkan program pemberdayaan oleh pemerintah sudah seharusnya dapat dilakukan dengan mempusatkan kebutuhan sosial kelompok difabel tersebut yang juga merupakan sebagai bagian dari langkah keberhasilan akan kawasan inklusif. Sehingga prospek alternatif pekerjaan yang tetap mengedepankan nilai humanis tetap dapat dirasakan disamping dari beberapa keterbatasan yang dimiliki oleh para penyandang difabel itu sendiri.

***

*) Oleh : Dyaloka Puspita Ningrum,S.I.Kom.,M.I.Kom; Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Widya Mataram Yogyakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES