Kopi TIMES

Pencerahan Gus Muhaimin: Part 2

Rabu, 15 September 2021 - 08:33 | 29.12k
Muhammad Yunus. Kepala Biro Administrasi Kemahasiswaan, Alumni, dan Keagamaan Universitas Islam Malang. Salah satu anggota Pengurus PW LP Ma’arif NU Jawa Timur.
Muhammad Yunus. Kepala Biro Administrasi Kemahasiswaan, Alumni, dan Keagamaan Universitas Islam Malang. Salah satu anggota Pengurus PW LP Ma’arif NU Jawa Timur.

TIMESINDONESIA, MALANG – Tulisan bagian satu sebelumnya telah mengulas tentang pencerahan yang disampaikan Gus Muhaimin (Wakil Ketua DPR RI sekaligus Ketua Partai Kebangkitan Bangsa). Gus Muhaimin menegaskan bahwa pendidikan yang berkualitas tidak lagi ada pada dikotomi negeri swasta, letak geografis tertentu, dan tidak lagi menjadi kaplingan daerah-daerah tertentu, melainkan keunggulan, kemajuan, daya saing yang dimiliki sebuah Perguruan Tinggi.

Meskipun kemudian Gus Muhaimin menyampaikan bahwa keunggulan, kemajuan, dan daya saing itu telah ada pada Universitas Islam Malang (Unisma) dengan capaian prestasi dan jejaring yang dimiliki oleh Unisma, penulis akan mencoba untuk tidak membahas itu secara spesifik dalam tulisan ini, bagaimana sepak terjang Unisma sampai pada titik saat ini, hal ini akan menjadi bagian dari tulisan kami sendiri. Namun saya sangat tergugah dengan pernyataan Gus Muhaimin pada narasi berikutnya yang mengapresiasi mahasiswa baru Unisma dengan pernyataan kurang lebih seperti ini; “Adik-adik (mahasiswa, red) saat ini harus bangga. Telah memasuki gerbang pendidikan tinggi. Kebanggaan adik-adik karena adik-adik sudah menjadi bagian dari keluarga besar masa depan Indonesia, keluarga besar Islam, dan keluarga besar Nahdlatul Ulama.”

Frase narasi diatas bisa diambil tiga kata kunci yang bisa dijadikan pijakan garis perjuangan, sambungan sanad keilmuan dan gerakan, dan mengenali identitas dengan sebaik-baiknya. Narasi tersebut adalah masa depan Indonesia, masa depan Islam, dan masa depan Nahdlatul Ulama’.

Menarik untuk dikaji, bahwa urutan ini bukan sekedar urutan tanpa ditata sebelumnya. Gus Muhaimin tentu telah mempertimbangkan dengan matang kenapa Indonesia diletakkan diawal, baru kemudian Islam, dan terakhir Nahdlatul Ulama. Jika mau Gus Muhaimini tentu bisa menyebut dulu Islam atau Nahdlatul Ulama misalnya karena identitas yang Beliau miliki. Namun primordial pemikiran itu tidak diambilnya. Hal ini menjadi penanda bahwa cinta tanah air harus diutamakan dalam kerangka dakwa kita untuk dapat melatakkan panji nilai-nilai KeIslaman dan ke-Nahdlatul Ulama-an. Kenapa?

Pertama, Indonesia adalah negara kita. Tempat lahir Beta. Kita semua warga Indonesia lahir disini. Bumi dimana kita dilahirkan oleh Allah bukanlah suatu kebetulan, tapi rencana Allah agar manusia yang lahir di bumi ini berkewajiban untuk melestarikan dan mengembangkan potensi alam yang ada didalamnya.

Bumi ini, negeri ini, harus aman, harus tenang, tidak boleh ada kekacauan, untuk kemaslahatan ummat manusia. Jika negeri ini kacau, tidak aman, bagaimana kita bisa bermuamalah, dan jauh penting dari itu bagaimana kita mensyiarkan agama Allah. Bagaimana bisa beribadah dengan baik, dengan tenang, jika masyarakatnya, negerinya tidak aman. Maka Indonesia harus diamankan dulu, menjadi prioritas, diatas segalanya, karena Indonesia menjadi landasan kita berpijak, berdakwa, dan menghamba, bahkan menjalankan tugas sebagai wakil Tuhan, khalifatul fil ardh. Inilah kecerdasan Gus Muhaimin, kematangan bernegara, dan hemat saya ini politik kebangsaan, pikiran besar yang harus kita apresiasi dan kumandangkan selalu untuk menjawa, merawat bangsa yang besar ini.

Kedua adalah Islam. Islam adalah identitas kita. Kita yang beragama. Ini harus kita teguhkan, harus kita nyatakan, sebagai manusia, tidak hanya sebagai label yang disandarkan pada setiap diri kita, tapi sebagai bentuk pertanggungjawaban kita masing-masing kepada Allah bahwa hidup ini harus benar, harus ada panduannya, harus mengikuti aturan yang telah ditentukan, telah disyariatkan, agar apa? Agar kita selamat di dunia sampai ke surga-Nya. Hal ini harus kita sadari, bukan berarti Indonesia lebih dari pada islam, tapi keislaman kita akan nyaman jika Indonesia ini nyaman, berdaulat, makmur, sejahtera, aman sentosa.

Ketiga adalah Nahdlatul Ulama (NU). NU merupakan bentuk organisasi, tapi NU juga gerakan amaliah dan pemikiran. Kenapa ini disebut oleh Gus Muhaimin karena peneguhan identitas selanjutnya setelah kita berislam adalah siapa kita. Mengapa, karena banyaknya cabang dalam Islam yang menafsirkan ayat-ayat Al Quran dan Al Hadits. Tafsir mana yang menjadi landasan haruslah dirumuskan sedemikian rupa sebagaimana Qonun Asasi yang disampaikan oleh Hadratus Syeih KH. Hasyim Asyari. Jadi kita harus punya identitas beragama, yakni identitas kita adalah NU. 

Apa yang disampaikan oleh Gus Muhaimin ini harus menjadi landasan berpikir kita. Tidak berlebihan jika yel-yel yang selalu dikumandangkan dalam acara OSHIKA MABA ini berbunyi, Siapa Kita? Indonesia, Siapa Kita? Nahdlatul Ulama. Inilah penegasan identitas itu, jangan sampai kabur. Karena kita sedang berjuang. Menata kehidupan. Sebagai langka ikhtiar untuk mewujudkan generasi emas Indonesia 2045.

Siapa Kita? Indonesia
Siapa Kita? Nahdlatul Ulama
Siapa Kita? Unisma
NKRI? Harga Mati
Pancasila? Jaya
Unisma? Dari NU untuk Indonesia dan Peradaban Dunia 

***

*)Oleh: Muhammad Yunus. Kepala Biro Administrasi Kemahasiswaan, Alumni, dan Keagamaan Universitas Islam Malang. Salah satu anggota Pengurus PW LP Ma’arif NU Jawa Timur.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES