Kopi TIMES

Ironi Glorifikasi Pelaku Pelecehan Seksual Pada Anak

Rabu, 15 September 2021 - 03:46 | 61.16k
Dr. Ike Herdiana, M.Psi.,Psikolog; Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya.
Dr. Ike Herdiana, M.Psi.,Psikolog; Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya.

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Kasus pelecehan seksual terhadap anak semakin meningkat dari waktu ke waktu. Ibarat gunung es, kasus yang terekspos bisa jadi tidak sebanyak kasus yang mengendap dan tidak terlapor, sehingga tidak ada tindaklanjut baik bagi korban anak maupun bagi pelaku.

WHO (1999) telah mendefinisikan tentang pelecehan seksual pada anak sebagai keterlibatan seorang anak dalam aktivitas seksual yang mana anak tersebut tidak sepenuhnya memahami, tidak dapat memberikan persetujuan atau tidak siap secara perkembangan dan hal tersebut merupakan sebuah pelanggaran hukum. Pelecehan seksual terhadap anak ditandai dengan adanya perlakuan secara seksual orang dewasa atau anak lain terhadap anak dengan maksud untuk memuaskan kebutuhan seksual mereka.

Individu pelaku pelecehan seksual pada anak memiliki orientasi melakukan hubungan seksual dengan anak-anak (pedofilia). Perlakukan pelecehan seksual terhadap anak memiliki format yang berbeda dengan orang dewasa. Pedofil biasanya melakukan pendekatan pada anak dengan cara yang lebih halus. Mereka memanipulasi kepercayaan anak sehingga dapat menyembunyikan motif sesungguhnya yaitu hendak melakukan pelecehan seksual.  Oleh sebab itu sebagian besar kasus pelecehan seksual pada anak tidak menggunakan kekerasan sebagai dasar anak melakukan apa yang diminta oleh pedofil.

Pelaku sangat terampil dalam melakukan pendekatan pada anak, sehingga anak mudah menaruh kepercayaan kepada pelaku. Tidak jarang pelaku memberikan barang-barang yang biasanya diinginkan anak-anak, berupa mainan, makanan, minuman kesukaan atau sekedar diajak jalan-jalan yang membuat anak senang. Tindakan-tindakan manipulatif tersebut menyasar kepercayaan dan rasa nyaman anak, sehingga tidak heran jika tindakan pelecehan seksual pada anak relatif akan terulang dan terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama.

Dampak Psikologis Pelecehan Seksual Pada Anak

Dampak psikologis tindakan pelecehan seksual pada anak sangat luar biasa. WHO (1999) menyebutkan dampak psikologis yang dialami anak meliputi : munculnya gejala depresi (hingga keinginan untuk mengakhiri hidup), kecemasan, harga diri yang rendah, trauma, meningkatkan perilaku seksual yang tidak normal, kehilangan kompetensi sosial, gangguan kognitif, dan memiliki masalah dengan citra tubuh. Anak korban pelecehan seksual akan mengalami ketakutan atau teror dalam waktu jangka panjang. Memori anak-anak tentang perlakuan seksual yang tidak dinginkan begitu kuat.

Seluruh informasi kejadian, pelaku, tempat kejadian, aktivitas seksual yang diterima, akan melekat kuat dalam memori anak yang sewaktu-waktu bisa cepat dipanggil kembali saat secara visual melihat objek yang relevan atau terkait dengan pengalaman tersebut. Anak tumbuh menjadi individu yang rentan, trauma berkepanjangan membuat anak mengalami PTSD (Post Traumatic Stress Disorders) yang dapat mengganggu fungsi adaptasi anak terhadap aspek-aspek kehidupannya. Oleh sebab itu pendampingan psikologis menjadi hal penting untuk dilakukan dan bisa dibutuhkan dalam waktu yang lama untuk mendukung pemulihan psikis anak.

Selain itu, dampak sosial juga bisa memperburuk kondisi psikologis dan menghambat pemulihan psikis anak, yakni ketika anak berada dalam lingkungan yang kurang ramah dan supportif, lingkungan yang menyalahkan anak, melekatkan stigma, bahkan mengisolasi anak. Ketika anak diharuskan terlibat dalam proses pemeriksaan, pelaporan, pemeriksaan medis, dan diminta untuk menceritakan atau mengenali pelaku, maka sebaiknya anak betul-betul disiapkan dan terus mendapatkan pendampingan psikologis secara intensif.

Peran keluarga juga sangat vital dimana keluarga harus mendampingi dan menciptakan atmosfir yang positif bagi anak, sehingga anak merasa aman dan nyaman menjalani hari-harinya setelah pengalaman tersebut.  Anak juga harus dipersiapkan dengan matang jika suatu saat ia akan bertemu dengan pelaku atau melihat pelaku melalui media apapun, dan sebaiknya terus mendapatkan pendampingan psikologis.

Meski tidak dapat menghapus 100 persen memori anak tentang pelecehan seksual yang diterima, namun pendampingan psikologis yang intensif dan lingkungan yang supportif akan membantu pemulihan mental dan mendukung persiapan diri anak untuk melanjutkan hidup meraih masa depan yang menjadi hak nya sebagai seorang manusia.

Ironi Glorifikasi Pelaku Pelecehan Seksual Pada Anak

Pelaku yang diproses secara hukum, biasanya menerima hukuman dengan pasal berlapis, karena akan dikenai juga oleh undang-undang atau peraturan khusus tentang Anak. Meski pelaku telah menyelesaikan masa hukumannya sesuai dengan aturan, namun kembalinya pelaku ke tengah masyarakat tentu harus dilakukan dengan cara yang bijaksana.  Euphoria atau glorifikasi pelaku pelecehan seksual karena telah menyelesaikan masa hukumannya, sebaiknya tidak dilakukan apalagi diekspos secara berlebihan.

Sikap empati semua pihak sangat diperlukan mengingat korban dan keluarganya masih berada pada fase yang belum pulih secara mental. Glorifikasi pelaku pelecehan seksual pada anak menunjukkan sebuah potret bahwa kita belum mampu membangun perspektif korban dalam melihat fenomena ini. Tentu ini menjadi sebuah ironi yang membutuhkan kontempelasi kolektif yang serius bagi kita semua. Penyederhanaan dan normalisasi isu seksualitas dikhawatirkan akan melanggengkan pelecehan seksual ini terjadi terus menerus. Tentunya kita tidak mengharapkan hal tersebut terjadi.

Oleh sebab itu, lebih penting bagi pelaku melakukan introspeksi, mengubah cara pandang, menyiapkan diri dengan perilaku yang lebih dapat diterima, beradaptasi secara perlahan dengan situasi dan tuntutan sosial, mengenali kembali nilai-nilai yang ada di masyarakat atau jika masih membutuhkan pendampingan, dapat mencari bantuan professional untuk memastikan saat ini memiliki orientasi seksual yang sudah tidak berpusat pada anak-anak. Peran media juga penting untuk terus mengedukasi masyarakat tentang isu kemanusiaan ini dan berpihak pada upaya-upaya menjadikan masyarakat Indonesia sehat mental tanpa ada lagi kekerasan seksual dalam format apapun.

Semoga mulai saat ini, kita tidak akan lagi mendengar anak-anak Indonesia menjadi korban kejahatan seksual. Marilah kita bersama-sama menciptakan lingkungan yang ramah dan respek terhadap anak, membantu mereka menjadi pribadi tangguh sehingga dapat meraih cita-cita dan masa depan yang gemilang. 

***

*) Oleh: Dr. Ike Herdiana, M.Psi.,Psikolog; Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES