Kopi TIMES

Potret Epistemologi Simbiosis-Mutualis Pendidikan Pesantren di Masa Pandemi

Minggu, 12 September 2021 - 16:07 | 66.06k
M. Nur Fauzi S.H.I., M.H.  Dosen Institut Agama Islam (IAI) Darussalam Blokagung Banyuwangi dan Dewan Penasihat ISNU Bangorejo Banyuwangi.
M. Nur Fauzi S.H.I., M.H.  Dosen Institut Agama Islam (IAI) Darussalam Blokagung Banyuwangi dan Dewan Penasihat ISNU Bangorejo Banyuwangi.

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Wabah Covid-19 yang hingga kini masih melanda dunia berdampak besar di setiap lini kehidupan. Dampak tersebut dirasakan oleh masyarakat dunia di berbagai sektor kehidupan baik di bidang sosial-politik, budaya, ekonomi, maupun agama. Tak ketinggalan pula sektor pendidikan pesantren yang mengalami beberapa perubahan di tengah pandemi tersebut.

Benteng tradisi pemikiran Islam klasik ini mau tidak mau harus berbenah, dituntut responsif, dan peduli dengan situasi dan kondisi kekinian yang tengah dihadapi umat, terutama di bidang pendidikan.

Kepedulian ini pada awalnya ditunjukkan dengan mengikuti instruksi dan imbauan pemerintah untuk mendesentralisasikan pembelajaran pendidikan melalui metode daring atau online. Seluruh santri yang bermukim di pesantren dipulangkan demi mengantisipasi dan mencegah penularan dan penyebaran virus korona yang demikian cepat dan massif. 

Pada awal pandemi mulai merebak di negara ini, sistem pembelajaran di pesantren yang biasanya bertumpu pada metode klasikal, bandongan, dan sorogan secara muwajahah (tatap muka) tidak dapat diterapkan dan dilaksanakan. Berbagai lembaga pendidikan di bawah naungan yayasan pesantren pun terdampak Covid-19 ini terutama terkait dengan sistem dan metode pembelajaran. 

Dalam pandangan Zamakhsyari Dhofier (2015) sejak dulu pesantren dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam yang mampu beradaptasi dengan situasi dan semangat zaman yang terus berkembang dan berubah. Sebagaimana diketahui bersama, pesantren berpegang teguh pada motto “al-muhafazah ‘ala al-qadim al-salih wa al-akhz bi al-jadid al-aslah” atau memelihara dan menjaga tradisi yang lama yang baik dan menyerap/inovatif terhadap hal-hal baru yang lebih baik.

Bertolak dari motto tersebut dapat diambil dua kata kunci yang relevan dengan konteks pembelajaran pendidikan di era pandemi ini. Kata kunci (keywords) yang dimaksud adalah “al-muhafazah” dan “al-akhz”. Kata kunci ini merupakan basis epistemologis pesantren dalam rangka mengukuhkan eksistensinya di bumi nusantara. 

Al-muhafazah merupakan sebuah upaya atau cara kerja sistem pendidikan pesantren yang mengacu pada pelestarian tradisi dalam arti produk pemikiran para ulama klasik maupun pola pikir yang dinilai masih relevan untuk diterapkan. Tradisi dalam makna produk pemikiran bentuk konkritnya adalah berbagai kitab kuning (al-kutub al-safra’) yang kini masih dikaji secara mendalam di berbagai pesantren yang ada di nusantara.

Sementara itu tradisi dalam arti pola pikir adalah metodologi yang digunakan oleh para ulama klasik tersebut dalam merespons realitas sosio historis di zamannya. Dari sini sebenarnya bisa dipahami bahwa tradisi yang dikembangkan di pesantren adalah tradisi yang terus berproses dan berkembang mengikuti semangat zamannya. 

Dalam konteks ini, metodologi (manhaji) yang diadopsi oleh institusi pesantren bersifat sangat adaptif dan responsif dengan konteks kekinian. Hal ini terbukti misalnya dalam metode pembelajaran yang ada di pesantren sebagaimana disebutkan di atas. Dalam upaya tetap konsisten (istiqamah) melayani umat (santri dan masyarakat), pesantren (lembaga pendidikan yang ada di bawah naungannya) dapat dengan mudah menerapkan metode pembelajaran daring atau online. Model metode pembelajaran ini dapat dikatakan merupakan aktualisasi dan adaptasi terhadap nilai-nilai modernitas (al-akhz). 

Para Kiai pesantren di berbagai pelosok wilayah nusantara tetap konsisten mengaji dan mengkaji khazanah keislaman dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi melalui metode daring sehingga masyarakat luas dapat dengan mudah mengaksesnya. Pengajian daring ini dapat dinikmati secara luas oleh masyarakat di masa pandemi ini. 

Bahkan seakan tak mau kalah dengan institusi lain yang memanfaatkan kecanggihan teknologi di era digital, pesantren pun dengan aktifnya mengapresiasi kemajuan teknologi untuk mempublikasikan visi misinya dalam membentuk karakter pendidikan Islam yang berwawasan moderat, toleran, inklusif, dan rahmatan lil alamin. Ini merupakan kontribusi pesantren yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja dalam membangun pola keberagamaan umat yang toleran dan moderat di era kekinian.

Realitas tersebut menunjukkan bahwa secara epistemologis, pesantren mampu menerapkan motto atau kaidah yang selama ini dipegangi dan diyakini. Tradisi pembelajaran secara klasik (sorogan dan bandongan) tetap dilestarikan karena memang dirasa masih relevan, sementara metode pembelajaran secara daring pun diterima karena dinilai efektif di tengah kondisi pandemi yang mengglobal di mana model pembelajaran yang pertama tidak dimungkinkan.  

Dengan demikian, di satu sisi, pembelajaran klasik dengan metode sorogan dan bandongan adalah cermin dari tradisi (al-muhafazah al-qadim) yang baik dan masih relevan untuk diterapkan. Sementara itu, di sisi lain, metode daring merupakan model pembelajaran baru atau inovasi (al-akhz al-aslah) yang juga dapat dimanfaatkan. Keduanya, secara aksiologis sangat bermanfaat dan bernilai di mata umat. 

Teolog dan filsuf Islam kontemporer Mesir, Hassan Hanafi (2010) dalam bukunya Min al-Aqidah ila Tsaurah menyatakan bahwa tradisi dan modernitas haruslah digabungkan dan disatukan untuk menggenjot laju perkembangan peradaban Islam di era modern ini. Keduanya harus berjalan seiring dan tidak bisa menafikan satu sama lain. Islam haruslah tetap berpegang pada tradisi karena ia merupakan titik pijaknya. Dan sekaligus mengadopsi modernitas karena di situ terdapat nilai progresifitasnya. 

Fleksibilitas dan pola adaptif budaya pesantren inilah menurut Abdurrahman Wahid (2001) atau yang lebih dikenal dengan Gus Dur yang layak menjadikan lembaga pendidikan Islam ini sebagai subkultur dari keindonesiaan yang plural dan multikultural. Sebagai subkultur (small culture) dari keindonesiaan (big culture), pesantren memiliki keunikan budaya dan sistem pemikiran yang merefleksikan kebinekaan kita yang kaya, adaptif, dan mampu menyerap hal-hal baru yang dianggap relevan dengan kondisi kekinian. 

Dengan demikian menjadi jelas, pesantren mampu menerapkan dan melaksanakan secara konsisten epistemologi simbiosis-mutualis di masa pandemi. Tradisi dan modernitas telah “dikawinkan” sedemikian rupa sehingga melahirkan dan menumbuhkan kader-kader dan generasi yang mampu beradaptasi dengan temuan dan hal-hal baru yang bersifat inovatif dan kreatif. Dalam hal ini, pesantren sebagai salah satu institusi pendidikan tertua di nusantara telah membuktikan dan mampu menjawabnya.

***

*) Oleh: M. Nur Fauzi S.H.I., M.H.  Dosen Institut Agama Islam (IAI) Darussalam Blokagung Banyuwangi dan Dewan Penasihat ISNU Bangorejo Banyuwangi.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES