Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Tangan-Tangan Gaib

Sabtu, 11 September 2021 - 08:35 | 47.46k
Abdul wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku.
Abdul wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANGAb honesto virum bonum nihil deterret  (Tak ada yang menakutkan (menggetarkan) orang baik yang melaksanakan kewajiban/tugasnya dengan jujur)

Kata mutiara itu diapresiasikan kepada setiap pegiat kejujuran dimanapun berada. Bagi orang yang berkomitmen memegang teguh kejujuran, maka jelas duri apapun yang bermaksud menghadang dan menjulang, tidak akan membuatnya menyerah dan kalah.

Pada saat Nabi Muhammad menorehkan hijrah ke Madinah, beliau sejatinya bukan semata memindahkan kekuatan fisik para sahabat (pejuang) ke zona geografis yang baru, tetapi mentransformasi dan mengonstruksi sikap teguhnya dalam menjalankan doktrin agama.

Salah satu doktrin yang dijadikan ruh dan kekuatan pembangun masyarakat adalah keadilan. Keadilan secara terus menerus disosialisasikan oleh Nabi untuk membangun masyarakat berkeadaban tinggi. Demikian gencarnya beliau membumikan keadilan, para generasi yang berelasi.

Sebagai contoh kasus: salah seorang gubernur menulis surat kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk meminta dana yang cukup besar guna membangun benteng di sekeliling ibukota. Khalifah membalas suratnya. Kata khalifah dalam suratnya “apa manfaatnya membangun benteng? Bentengilah ibukota dengan keadilan, dan bersihkan jalan-jalannya dari kezaliman.”

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Isi jawaban surat yang ditulis oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz sangat luar biasa. Khalifah memberikan peringatan keras kepada gubernur dalam soal manajemen kepemimpinan atau pola membangun pemerintahan yang berbasis kerakyatan (bases of society). Khalifah tidak membolehkan gubernurnya memperlakukan (mengalahkan) rakyat  dibawah kepentingan pembangunan fisik.

Khalifah Umar memang dikenal oleh dunia sebagai salah satu  khalifah Islam yang memimpin dengan “bahasa” keadilan dan keberpihakan pada kemasalahatan umat. Umat ditempatkan dalam status istimewa dan strategis dibandingkan kepentingan lainnya. Kepentingan fisik pembangunan tidak boleh mengalahkan atau menomorduakan kepentingan riil masyarakat. (Imam KH, 2007)

Proyek membangun benteng yang direncanakan oleh Gubernur  yang menyedot anggaran besar ditolak oleh gubernur. Penolakan ini tentulah sudah dipikirkan atau dikalkulasi dengan matang oleh khalifah, bahwa antara anggaran yang dikeluarkan dengan proyeksi kepentingannya masih lebih dominan memubadzirkan anggaran dibandingkan dengan keuntungannya kepada publik. Ini artinya keadilan merupakan benteng sejati dalam membangun pemerintahan yang kuat. Tanpa keadilan, berarti pemerintahan rapuh. Tanpa keadilan, kekerasan dan kekacauan tumbuh subur dimana-mana.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kalau alasannya, benteng dibangun untuk mencegah dan dan menghalangi penyakit dari luar, seperti ancaman ledakan bom atau ”tangan-tangan gaib” (the invisible hands) bermodus kriminalistik dari kekuatan asing, maka khalifah berpikiran lain, bahwa penyakit internal atau yang berasal dari diri, bangsa, atau negara sendiri jauh lebih berat, membahayakan, dan lebih destruktif dibandingkan serangan dari luar.  Secara organisatoris, penyakit dari dalam adalah pembunuh utama cita-cita luhur dibandingkan penyakit dari luar.

Jika dengan uang besar yang dikeluarkan untuk membangun benteng atau membiayayai pengamana  berlapis, justru menjadikan rakyat kekurangan sumber pendapatan, aspirasi tersumbat, demokrasi jadi ”merana”, dialektika mandul, berkurang hak kesejahteraan, atau  berbagai bentuk penyakit sosial seperti kemiskinan dan kefakiran tidak bisa ditanggulangi dan dieliminasi, maka hal inilah yang disebut pembenaran kebijakan yang tidak populis atau produk kebijakan yang lebih memihak kepentingan elit pembangunan, sementara kemaslahatan “wong alit” dipinggirkan.

Selain itu, khalifah menunjukkan kebijakan pembangunan yang bersentuhan langsung dengan realitas kebutuhan rakyat, yakni menolak pemborosan anggaran  untuk pembangunan yang curang membumi dalam jiwa kehidupan umat. Upaya membangun benteng dengan anggaran besar bisa dikategorikan menyakiti rakyat, manakala rakyat sedang menghadapi kesulitan lain yang sebenarnya kesulitan ini bisa dibebaskan dari anggaran dimaksud.

Khalifah memerintahkan gubernurnya untuk lebih melihat dan membaca realitas konkrit, bahwa  apa yang dibutuhkan oleh rakyat sebenarnya bukan pembangunan benteng, tetapi keadilan dan bebasnya rakyat dari berbagai bentuk penyakit yang mengidapnya. Kemiskinan dan kesulitan memperoleh sumber pendapatan cukup yang menimpa rakyat seharusnya menjadi tantangan utama yang wajib dijawab oleh setiap pemimpin pemerintahan. Setiap pemimpin ini dituntut untuk selalu membaca dan menerjemahkan  realitas konkrit kebutuhan umatnya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Benteng sejati di negeri ini pun bisa dibangun dan diberdayakan oleh, dari dan untuk umat, jika benteng ini bernama keadilan sosial, pembebasan umat dari kesulitan ekonomi, dan pemberdayaan kesejahteraan umat. Yang bisa melakukan ini tentu saja bukan ”wong alit”, pasalnya ”wong alit” tidak mempunyai modal memadai untuk memposisikan dirinya sebagai bemper. Hanya elit strategis seperti presiden yang bisa membangun benteng sejati, karena . di dalam diri presiden terkumpul dan bisa mengkristal berlaksa  amanat yang wajib ditunaikannya, yang jika ditunaikan akan mampu mengairi kegersangan hati rakyat.

Kalau umat hidupnya sejahtera, hak pangan, hak kesehatan, dan hak perumahannya terjamin, maka kondisi kehidupan umat demikian ini identik dengan benteng bermasyarakat dan bernegara. Mereka akan menjadi bangunan sosial yang kokoh jika unsur-unsur sosial  berhasil dirajut menjadi kekuatan yang memilarinya.

Bangunan sosial tersebut merupakan cermin rill kehidupan umat. Konstruksinya ini akan tetap kuat, menjadi lebih terjaga, dan berlanjut memberikan perlindungan yang mendamaikan jika setiap elemen strategisnya, khususnya pucuk pimpinan eksekutifnya merasa ”memiliki” masyarakat, bangsa, dan negaranya.

Para pejabat negara dengan teladan ”privilitas” dari presiden sebaiknya memposisikan dirinya menjadi benteng yang kokoh demi mewujudkan cita-cita besar bangsa, tidak mudah digoyahkan oleh keadaan semacam ”teror” atau godaan yang menawarkan kesenangan dan mengajak melupakan tanggungjawab bermasyarakat.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES