Kopi TIMES

Cerdas Mengungkap Kasus KDRT Berbalut Ilmu Hitam

Kamis, 09 September 2021 - 11:46 | 73.64k
Ayu Dian Ningtyas, SH, MH, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Lamongan (Unisla).
Ayu Dian Ningtyas, SH, MH, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Lamongan (Unisla).

TIMESINDONESIA, LAMONGAN – Minggu ini, Publik  Indonesia dihebohkan dengan beredarnya video singkat di berbagai media sosial yang berisikan rekaman beberapa orang dewasa mengerumuni seorang anak perempuan. Dalam video tersebut sang anak menangis kesakitan lantaran mata kanannya luka akibat penganiayaan.

Belakangan diketahui, video tersebut direkam di salah satu rumah warga di Desa Gantarang, Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Dan anak perempuan yang ada dalam rekaman tersebut berinisial AP, umur 6 tahun, menjadi korban tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) karena menurut keterangan pihak kepolisian dari Polres Gowa, ada empat pelaku yang telah ditetapkan sebagai tersangka, yaitu Ibu, Ayah, Kakek dan salah seorang paman korban. Keempatnya memiliki peran masing-masing.

Lebih lanjut, pihak kepolisian menjelaskan, si Ibu dan tiga pelaku lainnya mengaku ada benda yang merasuki mata korban sehingga melakukan kekerasan. Para pelaku diduga mengikuti dan mempelajari ilmu hitam berupa pesugihan.

Hal mistik berupa pesugihan inilah yang kemudian menjadi “bumbu” dalam kasus kekerasan terhadap anak tersebut. Sehingga banyak bermunculan diskusi di berbagai media tentang pesugihan dengan tumbal anak. Tidak mengherankan, karena yang dijadikan “tumbal” adalah anak, yang seharusnya mendapatkan pengorbanan, justru harus berkorban untuk orang tuanya. Mungkin informasi inilah yang kemudian ingin digali oleh banyak pihak dengan menggelar berbagai diskusi.

Hanya saja, bumbu mistik dalam kasus tersebut, juga diskusi tentang pesugihan jangan sampai membutakan mata publik untuk melihat kasus tersebut sebagai kasus KDRT.  Seperti data yang diperoleh penulis, per tanggal 23 Juli 2021 saja, tercatat ada 5.463 kasus kekerasan terhadap anak. Dan dari total kasus kekerasan pada perempuan dan anak, sebanyak 5.198 kasus terjadi di lingkup rumah tangga.

Kasus tersebut kembali menggugah kewaspadaan kita, bahwa, kekerasan terhadap anak masih marak terjadi di masyarakat, bahkan di lingkungan keluarga sekalipun. Lingkungan yang seharusnya berfungsi untuk mendidik, mengayomi dan melindungi anak, justru menjadi lingkungan yang berbahaya bagi si anak.

Dalam pasal 26 poin 1 UU No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dijelaskan bahwa salah satu kewajiban orang tua mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak. Nyatanya, justeru  kedua orang tuanyalah yang menjadi pelaku tindak kekerasan terhadap anaknya sendiri.

Untuk itulah, diperlukan peran aktif dari berbagai pihak, masyarakat maupun lembaga Negara yang diberikan wewenang untuk melakukan pengawasan terkait penyelenggaraan pemenuhan Hak Anak, dalam hal ini Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang bersifat independen (pasal 74).

Di sisi lain, Negara juga sudah tampil sebagai organ superior yang memaksa warga Negara untuk tidak melakukan tindak kekerasan terhadap anak. Hal ini bisa dilihat dalam pasal Pasal 76E, bahwa  Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap anak.

Lebih lanjut, Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah) (pasal 80 ayat 1).

Penerapan pasal eksploitasi terhadap anak, karena, pesugihan dilakukan lewat pemanfaatan fisik anak untuk tujuan ekonomi, maka definisi eksploitasi secara ekonomi dalam UU Perlindungan Anak sudah terpenuhi. Ancaman pidananya paling lama 10 tahun penjara, selain itu  UU Penghapusan KDRT juga memuat sanksi pidana yang sama, yaitu penjara maksimal 10 tahun, bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Pidana eksploitasi memang lebih berat daripada pidana kekerasan terhadap anak (UU Perlindungan Anak). Juga setara dengan pidana kekerasan dalam UU Penghapusan KDRT. Tapi tetap belum sebanding dengan penderitaan anak korban pesugihan tersebut. (*)

***

* ) Penulis: Ayu Dian Ningtyas, SH, MH, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Lamongan (Unisla)

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ardiyanto
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES